Selasa, 21 Juli 2015

Video: Kajian Hikmah al-Muta’aliyah (Transcendent Philosophy) Mulla Sadra by Dr. Haidar Bagir


Rumah tempat Uzlahnya Mulla Sadra di Desa Kahak Kota Kasyan Iran


STFI Sadra -Dr Haidar Bagir Hikmah Muta'aliyah Part 1-

568x tayang
Diterbitkan tanggal 28 Jan 2015
Di awal abad ke 11 terjadi perubahan besar dalam substansi pengkajian dan sistimatika pembahasan konsep-konsep ketuhanan dalam filsafat Islam. Empat aliran filsafat seperti filsafat Peripatetik, filsafat Iluminasi, irfan teoritis dan teologi Islam sebelum abad kesebelas bersifat mandiri, terpisah satu sama lain dan masing-masing berpijak pada teori dan gagasannya sendiri-sendiri, tapi di awal abad ke sebelas empat aliran tersebut.


Mulla Sadra

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Ṣadr ad-Din Muḥammad Shirazi (Mulla Sadra)
Lahir 1572
Shiraz
Meninggal 1640
Basrah
Era Filosof Islam Pasca Zaman Klasik
Minat utama Filsafat Illuminasionisme, Teosofi Transenden
 Safinah Mulla Sadra merupakan buku yang berisi kumpulan karya-karya Mulla Sadra
Mulla Sadra adalah seorang Filsuf Safawiyah yang terkemuka.[1] Nama aslinya adalah Sadr Ad-din Shirazi, seorang Syiah yang berhasil menambahkan ajaran-ajaran Imam Syiah Dua Belas ke dalam pencampuran Peripatetisisme, Akbarisme, dan Illuminasionisme.[1] Mulla Sadra lahir kira-kira tahun 980 H/1572 M dan meninggal pada tahun 1050 H/ 1640 M, dia merupakan filosof pertama yang membawa susunan dan keserasian lengkap ke dalam pembahasan-pembahasan mengenai masalah-masalah filsafat.[2] [3] Dia menyusun dan mengatur persoalan-persoalan itu sebagai persoalan matematika dan pada waktu yang sama dia memadukan ilmu filsafat dengan ilmu makrifat.[3] Mulla memberikan metode filsafat yang baru dalam membahas dan memecahkan ratusan persoalan, di mana persoalan tersebut tidak dapat diselesaikan dengan filsafat Peripatetika, yaitu sistem filsafat yang dikembangkan oleh Aristoteles.[3] Pendapat-pendapatnya yang dimilikinya lebih berpengaruh dalam pemikiran Islam dibandingkan dengan para ahli kalam, sekalipun dia bukanlah seorang ahli kalam.[4]

Latar Belakang Kehidupan

Mulla Sadra adalah seorang anak tunggal dari keluarga Iran. [5] Ayahnya sangat menaruh harapan besar padanya, untuk itu setelahayahnya meninggal dia pindah ke kota Isfahan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, terutama dalam bidang ilmu rasional(logika dan falsafah) dan tradisional (irfan, tafsir, dan hadits).[5] Di sana dia bertemu dengan gurunya yang pertama; yakni Syekh Baha’i, kemudian ada juga Mir Damad, guru kedua yang sekaligus sebagai teman dekat.[5]
Dia hidup pada masa kejayaan Dinasti Safawi yang ketika itu dipimpin oleh Syah Abbas I.[5] Zaman ini merupakan zaman kejayaan paham Syiah Dua Belas Imam karena paham ini dijadikan sebagai paham resmi negara.[6]. Saat itulah dia mulai mencurahkan perhatian pada ilmu-ilmu tekstual seperti hadits, tafsir, juga disiplin ilmu yang lain; selain itu dia juga mempelajari ilmu-ilmu rasional(al-‘ulum al-‘aqliyyah) kepada seorang filosof peripatetik yang bernama Abu al-Qasim Fendiriski.[7]
Tiga gurunya inilah ; Syekh Baha’i, Mir Damad, serta Fendiriski yang merupakan pelopor Madzhab Pemikiran Isfahan yang terkenal diIran telah berhasil melatar belakangi lahirnya falsafah Mulla Sadra.[5]

Karya-karya Mulla Sadra

Mulla Sadra adalah seorang filsuf yang telah menelurkan banyak karya, di antaranya adalah Kitab ”Asfar Al-Arba’ah” (Empat Perjalanan) yang meliputi bidang metafisika, teologi, juga jalan Sufi (thariqah).[1] Yang pertama, perjalanan penciptaan di mana di sini menceritakan perjalanan makhluk menuju kepada Pencipta Kebenaran (Al-Haqq); di dalamnya Mulla Sadra meletakkan dasar metafisikaeksistensialisnya yang mencerminkan tahapan dalam jalan Sufi (thariqah)di mana ia berusaha mengendalikan nafsu di bawah pengawasan seorang guru/ syekh.[1] Yang kedua, tahapan di mana sang Sufi mulai menarik wujud-wujud ilahi; yang ketiga, sang sufi meleburkan diri dengan Tuhan; dan yang keempat, tempat di mana sang Sufi mengalami keteguhan dalam peleburan diri.[1]
Dalam karya besarnya tersebut, Mulla Sadra juga menyatakan: “Teori-teori wacana hanya akan mempermainkan para pemegangnya dengan keraguan; dan kelompok yang datang kemudian akan melaknat kelompok yang datang sebelumnya, sehingga setiap suatu umat masuk (ke dalam neraka) akan melaknat umat sebelumnya (yang telah ikut menyesatkannya)”. [5]
Selain karya yang berbahasa Arab, Mulla Sadra juga mempunyai karya berbahasa Persia, yakni Sih Asl.[1] Selain di atas, karyanya yang berbahasa Arab juga adalah Kasr Al-Asnam Al-Jahiliyyah (Menghancurkan berhala-berhala jahiliyyah), dia mengkritik banyak Sufi karena meninggalkan pengetahuan dan amal saleh serta mengagungngkantakhayul dan patuh kepada setan.[1]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g (Inggris) Daftary, Farhad (2002).Tradisi-tradisi Intelektual Islam.Jakarta:Penerbit Erlangga. Terj. Fuad Jabali Hal 219-221
  2. ^ Nasution, Hasan Bakti(2006).Pengantar Filsafat Islam Kontemporer.Bandung:Cita Pusaka Media. Hal 12
  3. ^ a b c Muthahhari, Murtadha (2007).Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci.Bandung:PT Mizan Pustaka. Hal 181
  4. ^ Muthahhari, Murtadha (2002).Mengenal Ilmu Kalam.Jakarta:Pustaka Zahara. Hal 82
  5. ^ a b c d e f Sulaiman, Shaharom (2004).Buku Kekasih.Kuala Lumpur:Prin-AD SDN.BHD. Hal 115-117
  6. ^ Acikgence, Alparslan (2000).Sistem Pemikiran Filsafat : Sebuah Model yang Islami.Jakarta:Jurnal Ilmu-ilmu Islam al-Huda. Terj. Arif Mulyadi
  7. ^ Alawi, Hadi (1971).Nazhriyah al-Harakah al-Jauhariyah Ind al-Syirazi.Baghdad :Mathba’ah al-Irsyad
https://id.wikipedia.org/wiki/Mulla_Sadra


STFI Sadra -Dr Haidar Bagir Hikmah Muta'aliyah Part 2-
STFI Sadra -Dr Haidar Bagir Hikmah Muta'aliyah Part 3- 

STFI Sadra -Dr Haidar Bagir Hikmah Muta'aliyah Part 4-

MULLA SADRA DAN GAGASAN TEOSOFI TRANSENDEN


Oleh: Syafieh, M. Fil. I
A. Pendahuluan
Filsafat Islam merupakan suatu ilmu yang masih diperdebatkan pengertian dan cakupannya oleh para ahli. Akan tetapi di sini penulis cendenrung condong kepada pendapat yang mengatakan bahwa Filsafat Islam itu memang ada dan terbukti exis sampai sekarang. Dalam perjalanan sejarah peradaban Islam, orang sering beranggapan bahwa penyerbuan Mongol terhadap dunia islam yang telah menghancurkan khilafah Timur dan terusirnya orang Islam dari Spanyol telah menghilangkan khilafah Barat. Bersamaan dengan itu, umat Islam  pun tenggelam dalam tidur panjang. Dalam arti perkembangan pemikiran dari dunia Islam seakan-akan terhenti.

Dengan berdirinya kerajaan Safawi pada tahun 905 H/1499 M oleh Syah Ismail, mengawali warna mistis dan filosofis pada penguasa-penguasa Persia dari golongan Syiah. Perkembangan pemikiran  pada zaman Safawi ini mempunyai karakteristik yang khas, yang disebut sebagai mazhab Isfahan. Mazhab ini menampung perkembangan Peripatetik (Masya’i), Illuminasionis (Isyraqi), Gnostik (‘Irfani) dan Teologis (Kalam). Aliran-aliran ini berkembang pesat selama empat abad sebelum Mulla Shadra, yang merupakan jalan buat sintesis utama yang dilakukan oleh Mulla Shadra. Aliran filsafat yang digagas oleh Mulla Shadra ini biasa disebut Teosofi Transenden (al- hikmah al-muta’aliyah).

Meskipun sempat terlambat  dikenal dan dipahami, sehingga timbul keyakinan bahwa filsafat Islam telah mati setelah Ibn Rusyd, saat ini telah diterima secara luas bahwa Hikmah adalah suatu sistem filsafat yang koheren meskipun menggabungkan berbagai mazhab filosofis sebelumnya. Sifat-sifat sintetik pemikiran Shadra ini, dan inkorporasi Al-Qur’an dan hadits yang dilakukannya, telah menjadikan filsafatnya tidak hanya sebagai bukti masih-hidup dan dinamisnya filsafat Islam pasca Ibn Rusyd, tetapi juga menunjukkan bahwa-lebih dari Paripateisme dan Israqiyah-filsafat Hikmah layak dsebut filsafat Islam yang sesungguhnya.

B. Mulla Sadra

1. Biografi dan Pendidikannya
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ibrahim Yahya Qawami Syirazi, sering dipanggil dengan julukan Shadruddin Asy-Syirazi atau Mulla Shadra atau Shadra. Di kalangan muridnya, dia lebih dikenal sebagai Shadr Al-Muta’allihin. Ia dinamakan dengan julukan itu karena ketinggian pengetahuannya tentang Hikmah.[1] Ia dilahirkan di Syiraz yaitu sebuah kota yang paling terkenal di Iran, dikawasan sekitar Persepolis tahun 979/980 H atau 1571/1572 M). Ayahnya bernama Ibrahim bin Yahya, ayahnya adalah seorang bangsawan terhormat di kota tersebut.

Tidak lama di Syiraz, ia pindah ke Jisfahan, sebuah kota pusat kebudayaan yang penting pada masa itu, dan melanjutkan studinya pada Mir Damad Mir Abul Qasim Fendereksi (wafat 1640). Tetapi akhirnya ia kembali ke Syiraz sebagai guru pada sebuah Sekolah Agama (Madrasah) yang didirikan oleh Gubernur Propinsi Fars. Ia telah berziarah tujuh kali ke Mekkah dengan berjalan kaki dan iapun wafat di Basharah pada tengah perjalanannya sepulang naik haji yang ketujuh kalinya pada tahun 1641 M.[2]

Tradisi-tradisi intelektual, filosofis dan mistis Islam yang berkembang sebelumnya dan terus berlanjut dengan munculnya generasi-generasi baru yang meneruskan dan mengembangkan pemikiran tokoh-tokoh sebelumnya, telah memberikan jalan bagi perkembangan intelektual dan pemikiran Shadra. Di samping juga karena budaya tulis baca yang memungkinkan pemikiran-pemikiran tersebut dikodifikasikan sehingga memungkinkan bagi generasi setelahnya untuk mengakses, mengembangkan dan bahkan melakukan kritik terhadapnya. Kehidupan dan kontinuitas tradisi intelektual tersebut yang memberikan ruang bagisosok seperti Shadra untuk tidak tertinggal dalam mengakses karya-karya dan pemikiran-pemikiran, mengembangkan dan melakukan perbandingan dan sintesa terhadap pemikiran-pemikiran tersebut. Mazhab-mazhab pemikiran besar dalam Islam seperti masysya’i (paripatetik), isyraqi (iluminasi) dan mazhab wihdah al-wujud diambil dan dikembangkan menjadi satu bentuk formulasi intelektual baru dengan karakteristik yang juga baru dan unik. Dari karya-karya beliau dapat dilihat bahwa beliau berhasil mengakomudasi pemikiran-pemikiran sejak Yunani hingga pemikiran-pemikiran yang dikembangkan pada masanya.

Setting sosial dimana beliau hidup turut mendukung perkembangan intelektual beliau. Dengan posisi dan status terhormat keluarga beliau jelas memberikan ruang bagi beliau untuk mendapatkan pendidikan dan kesempatan belajar yang memadai. Kota Syiraz, kota dimana beliau tumbuh dan berkembangsejak abad ke-8 H/12 M, menjadi pusat kegiatan filsafat dan intelektual, misalnya saja Jalal Ad-Din Ad-Dawwani (835-908/1431-1502) menyusun beberapa karya filosofis yang bercorak paripatetik dan iluminatif dan juga tentang logika dan Ilmu Kalam. Sementara keluarga Dasytaki melahirkan figur-figur cemerlang seperti Amir Ad-Din Shadr As-Din Muhammad Ad-Dasytaki (w. 903 H/1497-98 M) dan Giyas Ad-Din Manshur Ad-Dasytaki (w.948 H/1541-42 M). Mereka berdua adalah figur yang banyak mempengaruhi para pemikir dinasti Syafawi dan juga figur-figur intelektualMusli di anak benua India.[3]

Beliau tergolong seorang penulis yang produktif dan karya-karyanya mencapai sekita 40-an dalam bidang, baik dalam bentuk buku yang utuh ataupun risalah-risalah yang singkat. Di antara karya-karya beliau adalah: Al-Hikmah Al-Mu’ataliyah fi Al-Asfar Al-Aqliyah Al-Arba’ah, Al-Mabda’ wa Al-Ma’ad, Asy-Syawahid Ar-Rububiyah fi Al-Manahij As-Suluki, Mafatih Al-Gaib, Kitab Al-Masya’ir, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Asrar Al-Ayat wa Anwar Al-Bayyinat, Mutasyabihat Al-Qur’an, Al-Masa’il Al-Qudsiyah, Ajwibah Al-Masa’il, Ajwibah Masa’il Syams Ad-Din Muhammad Al-Jilani, Ajwibah Al-Masa’il An-Nashiriyah, Al-Hikmah Al-Arsyiyah, Al Waridah Al-Qalbiyah Fi Ma’arif Ar-Rububiyah, Al-Mazahir Al-Ilahiyah fi Asrar Al-Ulum Al-Kamaliyah, Iktsir Al-Arifin fi Ma’rifah Tariq Al-Haq wa Al-Yaqin, Katsr Al-Ashnam Al-Jahiliyah, Relase Se Ashl, Risalah Fi Ittishaf Al-Mahiyah bi Al-Wujud, Risalah fi Tasyakhkhus, Risalah fi Surayan Al-Wujud, Risalah fi Al-Qadla’ wa Al-Qadr, Risalah fi Al-Huduts Al-Alam, Risalah fi Al-Hasyr, Risalah fi Khalq Al-A’mal, Al-Lama’ah Al-Masyriqiyyah, Risalah fi At-Tasawwur wa At-Tashdiq, At-Tanqihat, Risalah fi Ittihad Al-‘Aqil wa Ma’qul, Tarh Al-Kaunaian, Diwan, Dibache Arsy Taqdis, Namayi Shadra bi Ustadi Khud Sayyid Mir Daman (I dan II), Syarh Al-Ushul Min Al-Kafi, Syarh Ilahiyat Asy-Syifa, Ta’liqah Syarh Hikmah Al-Isyraq dan Zad Al-Musafir. Di antara karya-karya yang disebutkan ini ada yang beberapa yang berbahasa Persia dan yang lainnya berbahasa Arab. Di samping itu masih banyak karya yang dinisbahkan kepada beliau, akan tetapi masih dalam perdebatan dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui orisinalitasnya.[4]

2. Karya-Karya Mulla Sadra
Mulla Shadra di kala itu, dikenal sebagai penerus aliran Isyraz dan penyempurna berbagai aliran filsafat Islam sebelumnya. Ia juga membuat banyak karya tulis, karya tulis yang dibuat oleh Mulla Shadra lebih dari 20 karya, antara lain sebagai berikut :

1. Al-Hikmah Al-Muta’aliyah fi Asfar Al-A’qliyah Al-Arba’ah
Kitab ini merupakan karya monumental karena menjadi dasar bagi karya pendeknya, juga menjadi risalah pemikiran pasca Avicennian pada umumnya. Kitab ini juga menjelaskan pengembaraan intelektual dan spritual manusia ke hadirat Tuhan. Selain itu, kitab ini juga memuat hampir semua persoalan yang berkaitan dengan wacana pemikiran dalam Islam; ilmu kalam, tasawuf, dan filsafat. Penyajian menggunakan pendekatan morfologis, metafisis, dan historis. Hingga saat ini, kitab Asfar digunakan sebagai teks-teks tertinggi dalam memahami hikmah.

2. Al-Hasyr (tentang kebangkitan).
Kitab ini terdiri atas delapan Bab yang menjelaskan hari kebangkitan dan semua ciptaan Tuhan, benda materi, manusia, dan tumbuhan aka kembali kepada-Nya.

3. Al Hikmah Al ’Arsyiyah (hikmah yang diturunkan dari ’Arsy Ilahi).
Kitab ini menjelaskan Tuhan dan kebangkitan (resurrection) dan kehidupan manusia setelah mati.

4. Huduts Al-’Alam (penciptaan alam).
Kitab ini membicarakan asal-muasal penciptaan alam dan kejadiaanya dalam waktu berlandaskan atas al-Harakah al-Jauhariyyah dan penolakan atas pemikiran Mir Damad.

5. Kasr Al-Ashnam Al-Jahiliyah fi Dhaimni al-Mutashawifin (pemusnahan berhala jahiliyah dalam mendebati mereka yang berpura-pura menjadi ahli sufi).
Mutashawifin dalam Kitab ini adalah mereka yang berpura-pura menjadi sufi dan meningkatkan syari’at.

6. Kalq Al-A’mal
Kitab ini membicarakan sifat kejadian perbuatan manusia, kebebasan atau ketentuan atas tindakan manusia.

7. Al-Lama’ah Al-Masyiriqiyyah Fi Al-Funun Al-Mantiqiyah (percikan cahaya Illuminasionis dalam seni logika).
Kitab ini terdiri atas sembilan Bab, dan merupakan modifikasi dari Hikmat Al-Isyraq-nya Suhrawardi.

8. Al-Mabda’wa Al-Ma’ad (permulaan dan pengembalian).
Kitab ini berisikan tentang metafisika, kosmologi, dan eskatologi

9. Mafatih Al-Ghaib (kunci alam ghaib)
Kitab ini tersusun setelah Mulla Shadra berhasil mencapai puncak kematangan ilmu, berisikan doktrin tentang metafisika, kosmologi, dan eskatologi yang berlandaskan atas dalil-dalil naqli.

10. Kitab Al-Masya’ir (kitab penembusan metafisika).
Kitab ini menjelaskan teori ontologi yang sangat ringkas

11. Al-Mizaj (tentang perilaku persaan)
Kitab ini membicarakan perilaku akibat dari bawaan, perangai, dan sifat sebagai cabang dari ilmu jiwa.

12. Mutasyabihat Al-Qur’an (ayat-ayat mutasyabihat dalam Al-Qur’an)
Kitab membicarakan ayat-ayat Qur’an yang sukar dipahami dan metaforis dari sudut gnosis.

13. Al-Qadha wa Al-Qadar fi Af’ali Al-Basyar (tentang masalah Qadha dan Qadar dalam perbuatan manusia).
Kitab ini membahas tentang ketetapan, kebebasan, dan bagaimana pemberian iIlahi dapat dilihat dari kacamata manusia.

14. Asy-Syawahid Ar-Rububiyah fi Al-Manahij As-Sulukiyah (penyaksian Ilahi akan jalan ke arah kesederhanaan rohani)
Kitab ringkasan doktrin-doktrin Mulla Shadra yang paling lengkap yang ditulis berdasarkan tinjauan gnosis.[5]

3. Pemikiran Filsafat Mulla Sadra
Mulla Shadra adalah tokoh yang dengan potensi pribadinya dan didukung oleh bentukan tradisi intelektual zamannya berhasil mengambil akumulasi tradisi-tradisi pengetahuan yang berkembang pada zamannya dan juga pada masa-masa sebelumnya. Ia sebagaimana disebutkan oleh para pengagumnya bukan semata-mata hanya mengadopsi dan mensintesakan pemikiran-pemikiran yang telah ada, melainkan ia telah melakukan yang lebih dari itu dengan memberikan nilai dan format baru sebuah kecenderungan intelektual.[6]

Menurut sumber-sumber yang otoritatif, pemikiran Shadra dipengaruhi oleh tiga mazhab besar filsafat dan teosofi yang pernah berkembang di dalam Islam. Mazhab-mazhab tersebut adalah masysyâ’iyah, isyrâqiyah dan wihdah al-wujud. Selain itu Shadra juga sangat mengenal dan menguasai teologi Islam baik yang sunni maupun syi’ah dan juga ajaran syariat secara umum. Semua itu mempengaruhi mazhab pemikiran dan teosofi Mulla Shadra yang dikenal dengan mazhab Al-Hikmah Al-Mutâ’aliyah (theosophy transcendental).

Untuk lebih jelasnya kita akan melihat masing-masing dari mazhab pemikiran tersebut secara sekilas agas bisa mengetahui bagaimana posisi Mulla Shadra dengan Al-Hikmah Al-Mutâ’liyah. Mazhab masysyâ’iyah dengan tokohnya yaitu Ibnu Sina dan juga toko-tokoh lain yang muncul belakangan seperti Nâshir Ad-Dîn Ah-Thûsî dan Atsîr Ad-Dîn Abharî telah dikenal dengan sangat akrab oleh Mulla Shadra. Bukti dari itu semua adalah bagaimana Mulla Shadra memberikan komentar terhadap kitab karangan Ibnu Sina yaitu Asy-Syifâ’ dan juga komentar terhadap Al-Hidâyah karya Atsîr Ad-Dîn Abharî.[7]

Sedangkan Asy-Syuhrawardi sebagai guru dari mazhab isyraqiyahnya tidak diragukan lagi demikian dominan mempengaruhi Shadra baik secara doktrin ataupun istilah-istilah yang digunakan. Banyak istilah-istilah kunci yang digunakan oleh Shadra dalam merumuskan pemikirannya yang diadopsi dari Asy-Syuhrawardi. Ini diperkuat oleh kenyataan bahwa para murid-murid dan pengagumnya memberikan gelar kepadanya dengan “Shadr Al-Muta’lihhin” yang nota benarnya adalah istilah dan konsep yang dikeluarkan oleh guru mazhab iluminasi ini. Asy-Syuhrawardi pernah mengatakan bahwa orang yang pada dirinya telah menyatu pengetahuan rasional dan pengetahuan intuitif-ilahiyah secara seimbang disebut sebagai Al-Hakim Al-Muta’allihin (filsuf yang dikaruniai sifat-sifat ilahi dan menyerupai Tuhan). Ini tentunya bukan secara kebetulan, akan tetapi karena memang kuatnya pengaruh mazhab iluminasi terhadap pemikiran Mulla Shadra dengan mazhab Al-Hakim Al Muta’aliyah.

Selain itu, Mulla Shadra juga terpengaruh oleh tokoh wihdah al-wujud yaitu Ibnu Arabi dan bahkan banyak mengambil pemikiran-pemikirannya yang kemudian dijadikan salah satu dasar untuk membangun mazhabnya. Jejak-jejak Ibnu Arabi sangat terlihat jelas dalam karya-karya dan pemikirannya terutama sekali dalam teori atau konsepnya mengenai masalah wihdah al-wujud dengan segala pembahasan-pembahasannya. Demikian juga dalam masalah eskatologi, Mulla Shadra banyak dipengaruhi oleh konsep-konsep Ibnu Arabi dan bahkan dalam kitab Asfar Al-Arba’ah ketika membahas masalah eskatologi dengan judul Al-Ma’ad ia banyak mengutip dari guru sufi Andulusia tersebut terutama dari karya besarnya Futuhat Al-Makiyyah.
Selain mengenal dan memahami secara mendalam mazhab-mazhab pemikiran tersebut, Shadra juga berhasil melakukan sintesis umum terhadap masalah epitemologis. Menurutnya ada tiga jalan untuk memperoleh pengetahuan yang sejati yang ketiga-tiganya tidak bisa dipisahkan jika ingin sampai kepada tujuan yang sebenarnya yaitu wahyu (wahy), demonstrasi (burhân, ta’aqqul), dan pengetahuan irfân melalui mukâsyafah dan musyâhadah. Tiga hal ini berhasil beliau sintesakan dan kemudian menciptakan pola dan sistem pengetahuan yang menggabungkan secara indah antara wahyu (al-Qur’an), burhan dan juga irfan.
Secara efistemologi, Mulla Shadra mengikuti Syuhrawardi dan mazhab iluminasi secara umum yang membedakan antara pengetahuan konseptual (ilm al-hushuli) dengan pengetahuan dengan kehadiran (ilm al-khuduri). Pengetahuan konseptual (‘ilm al-hushuli) adalah apa yang diperoleh dari konsep-konsep dalam pikiran mengenai “yang diketahui” sedangkan pengetahuan dengan kehadiran adalah pengetahuan yang mengimplikasikan kehadiran realitas yang diketahui dalam akal atau intelek tanpa melalui konsep-konsep mental.[8] Dua kategori pengetahuan ini secara sederhana bisa dijelaskan bahwa yang pertama adalah pengetahuan yang dimasyaratkan keaktifan rasio dan akal untuk mengetahui objek yang diketahui, sedangkan yang kedua adalah pengetahuan langsung yang sebaliknya mensyaratkan kepasifan akal untuk menerima pancaran langsung. Pengetahuan jenis kedua adalah pengetahuan iliminatif dan melampaui rasio, akan tetapi bukan berarti tidak mempunyai bobot intelektual. Bahkan bobot intelektualnya melampaui yang pertama karena diantara karakteristiknya adalah bersifat menyeluruh, totalitas sedangkan yang pertama dicirikan dengan keberadaannya yang besifat particular dan terfokus. Hal lain yang perlu dicatat mengenai pandangan Shadra hubungannya dengan sumber pengetahuan adalah bahwa ia menerima iluminasi sebagai pengetahuan dengan menambahkan wahyu sebagai sumber asasi bagi pengetahuan mengenai masalah filosofis dan teosofi.

a. “Theosophy Transenden” (Al-Hikmah Al-Muta’aliyah)
Sintesis pemikiran yang dilakukan oleh Shadra yang didasarkan atas tiga cara mengetahui sebagaimana telah disebutkan di atas yang kemudian membawanya kepada satu”pandangan dunia” dan menciptakan satu sudut pandangan intelektual baru yang dikenal dengan istilah Al-Hikmah Al-Muta’aliyah (Teosofi Transendental). Sekalipun istilah ini sebenarnya sudah ada dan disebutkan oleh tokoh-tokoh sebelum Shadra, akan tetapi ia dianggap sebagai tokoh yang merumuskan secara sistematis dan menjadikannya sebagai mazhab teosofi. Ia sangat setia menggunakan istilah tersebut sehingga buku yang membahas secara sistematis dasar-dasar filsafat mistisnya diberikan judul “Al-Hikmah Al-Muta’aliyah Fi Al-Asfar Al-Aqliyah Al-Arba’ah”.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya secara epistemologis Al-Hikmah Al-Muta’aliyah didasarkan atas tiga prinsip, yaitu: Intuisi Intelektual (dzauq atau isyraq), Pembuktian Rasional (‘aql dan istidlal), dan Syariat. Al-Hikmah Al-Muta’aliyah tidak mengabaikan salah satu dari dua bentuk pengetahuan yaitu rasional dan intuitif dan bahkan menggabungkan kedua-duanya dan ditambah dengan sumber yang ketiga yaitu wahyu. Dengan demikian filsafat Mulla Shadra berupaya memperoleh kebijaksanaan melalui pencerahan rohani dan disajikan secara rasional dengan menggunakan argumen-argumen rasional. Atau sebaliknya pengetahuan-pengetahuan rasional ditransendensikan agar bisa mencapai pencerahan spiritual. Adapun dasar ontologis dari Al-Hikmah Al-Muta’aliyah didasarkan pada beberapa hal, yaitu: Pengistimewaan Wujud (ashâlah al-wujud), Kesatuan Wujud (wihdah al-wujud), Hirarki atau Gradasi Wujud (tasykik al-wujud). Masing-masing dari tiga pondasi ini akan dijelaskan satu persatu.

b. Filsafat Wujud
Untuk memahami “teosofi transenden” Mulla Shadra, harus dipahami bahwa yang menjadi landasannya dan juga keseluruhan bangunan metafisikanya adalah pengetahuan tentang wujud. Oleh sebab itulah filsafatnya secara umum bisa dikategorikan sebagai filsafat wujudiyah karena dasar-dasar pengetahuan intelektual dan mistisnya menjadikan kajian mengenai wujud sebagai titik tolaknya. Untuk lebih memahami bagaimana pemikiran Mulla Shadra kita akan membahas mengenai masalah ini dan akan memulai dari pembahasan pertama yaitu perbedaan antara “konsep wujud” (mafhum al-wujud) dengan “realitas wujud” (haqîqah al-wujud) dan kemudian mengupas konsepnya mengenai fundamentaslis wujud (ashâlah al-wujud) terkait dengan perdebatan mengenai status “wujud” dan “mahiyah”. Dan setelah itu juga akan dibahas mengenai pandangannya mengenai kesatuan wujud dan hirarki atau gradasi wujud sebagai konsep lain yang melengkapi filsafat wujudnya.

c. Perbedaaan Antara Wujud sebagai Konsep (mafhûm al-wujûd) dengan Wujud Sebagai Realitas (haqîqah al- wujûd).
Sebelum lebih jauh melihat bagaimana Shadra membedakan antara wujud sebagai konsep dan wujud sebagai realitas, perlu didiskusokan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan istilah wujud itu sendiri. Istilah ini adalah murni dari bahasa Arab yang sering diterjemahkan dengan eksistensi dalam terminologi filsafat secara umum. Dalam bahasa Arab, akar kata wujud ini terambil dari kata w-j-d yang makna dasarnya adalah “menemukan” atau “mengetahui sesuatu”.[9] Dalam diskusus filsafat, istilah ini telah menjadi terminologi khusus yang dipengaruhi oleh konsep filsafat Yunani. Untuk memahami istilah ini ada baiknya kita merujuk kepada terminologi lain yang sering diperbincangkan oleh para filsuf yaitu istilah mahiyah (kuiditas).
Sedangkan mahiyah atau kuiditas adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan apa? Seperti pertanyaan apakah manusia? Mahiyah atau kuiditas ini adalah sesuatu yang bersifat “ideal” pada diri sesuatu seperti manusia yang mahiyah atau kuiditasnya adalah “hewan yang berfikir” akan tetapi tanpa melihat keberadaannya secara eksternal. Adapun jika sesuatu yang ideal ini dilihat sebagai jika melihat aktualisasinya secara eksternal, maka ia dinamakan dengan realitas (haqiqat) dan jika melihatnya sebagai sesuatu yang membedakannya dengan yang lain maka ia dinamakan dengan identitas (huwayyah), dan jika melihatnya sesuatu yang diturunkan dari lafaz, maka ia dinamakan dengan makna (madlul) dan jika melihat sebagai tempat segala bentuk perubahan dan bentuk, maka dinamakan dengan istilah substansi (jauhar).[10]

Jadi secara sederhana bisa dikatakan bahwa mahiyah adalah kategori-kategori yang bersifat partikar dengan berbagai tingkatan-tingkatannya, baik yang ideal ataupu yang riil, sedangkan wujud adalah kategori paling umum dari semua itu dan melampaui kategori-kategori yang pertikular. Ada dua cara untuk menggambarkan istilah wujud sebagai kategori yang paling umum dan universal dengan mahiyah sebagai kategori-kategori yang partikular. Yang pertama adalah kenyataan bahwa Huzain secara identitas (huwayyah) dan realitas (haqiqah) berbeda dengan Syamsul, akan tetapi esensinya adalah sama yaitu sebagai “manusia”. Demikian juga manusia bisa dibedakan dengan binatang lain yang tidak berpikir sehingga ada esensi binatang, dan juga esensi manusia. Akan tetapi hal yang menyamakan Huzain dan Syamsul atau manusia dengan binatang dan juga yang lainnya adalah keberadaannya sebagai yang ada (wujud atau eksistensi).

Cara kedua untuk memahami wujud ini sebagai kategori yang paling umum adalah dengan membedakan antara Huzain sebagaimana alam realitasnya dengan Huzain sebagai yang ideal. Huzain yang nyata dan duduk manusia dihadapan kita adalah Huzain yang riil (nyata), sedangkan Huzain yang ada di pikiran ceweknya yang ada di Sulawesi adalah Huzain yang ideal. Kedua-duanya berbeda, karena yang satu adalah Huzain yang riil dan yang lainnya Huzain yang ideal. Akan tetapi yang menyamakan adalah keberadaan kedua-duanya sebagai “yang ada” atau keberadaannya sebagai wujud atau eksistensi. Ilustrasi lain adalah ketika Huzain sedang berkaca di cermin dan melihat bayangannya yang berewok di dalam cermin. Pada saat itu ada dua Huzain yaitu Huzain yang riil yang ada di depan cermin dan Huzain yang tidak nyata yaitu yang ada di dalam cermin. Kedua-duanya berbeda akan tetapi sama-sama ada (wujud).

Dengan keberadaannya sebagai kategori yang paling umum dan universal, wujud pada hakekatnya adalah satu yaitu wujud segala sesuatu. Wujud ini bersifat universal dan tidak terbatas dan dalam dirinya ada hirarki dan gradasi dari tingkatan yang paling rendah sampai yang paling tinggi, sebagaimana akan dijelaskan pada point ketiga dan keempat.

Namun demikian Shadra membedakan wujud sebagaimana dalam konsep (mafhûm al-wujûd) yang merupakan hasil abtraskis rasional denga wujud sebagai realitas yang hakiki. Bagi Shadra wujud dalam pengertian konseptual seperti di atas tidak sulit dan bisa dilakukan oleh siapapun. Berbeda dengan wujud hakiki (haqîqah al- wujûd) karena itu hanya bisa dicapai oleh pengalaman tingkat tinggi. Wujud yang hakiki bukanlah yang dihasilkan melalui penalaran rasional semata. Wujud sebagai realitas yang hakiki adalah sesuatu yang dialami secara langsung melalui jalan spiritual yang melampaui kategori-kategori rasional. Yang pertama mensyaratkan adanya keaktifan akal untuk bisa menginternalisasikan objek yang ada di luar, sedangkan yang kedua mensyaratkan adanya kesiapan mental dan penyucian jiwa agar intelek yang ada pada diri manusia tidak terhambat dengan tabir nafsu dan bisa mempersepsi secara langsung melalui musyâdah dan mukâsyafah. Inilah yang tergambar dalam prinsip “kesatuan antara yang mengetahui dan yang diketahui” (ittihad al-aqil wa al-ma’qul).

d. Ashalah al-Wujud (Pengistimewaan Wujud)
Untuk memahami ashâlah al-wujud ini, kita perlu melihat kembali kepada polemik filosofis yang berkembang dalam tradisi-tradisi filsafat sejak Yunani dan juga pada filsafat Islam secara khusus. Dalam filsafat Islam ada perbedaan antara wujud (eksistensi) dengan mahiyah (kuiditas). Segala sesuatu selalu tersusun dari dua komponen ini yaitu wujud dan mahiyah. Wujud sebagaimana telah disinggung adalah kategori paling umum dan universal yaitu keberadaan sesuatu sebagai yang ada, sedangkan mahiyah adalah bentuk yang membuat segala sesuatu berbeda dengan sesuatu yang lain. Perdebatan klasik di kalangan para filsuf muslim seputar pertanyaan: Manakah diantara dua hal ini yang pokok dan fundamental secara ontologis, wujud atau mahiyah?

Pemikiran Islam terpecah menjadi dua kelompok yaitu mereka yang mengatakan bahwa mahiyahlah yang pokok (ashalah al-mahiyah), sedangkan wujud adalah skunder dan merupakan hasil abstraksi pikiran atau konsep. Dan kelompok yang lain mengatakan bahwa wujudlah yang fundamental secara ontologi (ashalah al-wujud), sedangkan mahiyat adalah skunder dan merupakan hasil konseptualiasi atau abstraksi pikiran semata.

Kelompok pertama yaitu mereka yang mengutamakan mahiyah (ashalah al-mahiyah) antara lain adalah guru dari Shadra sendiri yaitu Mir Daman dan juga Syuhrawardi, sedangkan pandangan yang kedua yaitu “ashalah al-wujud” diwakili oleh Ibnu Sina dan para filsuf paripatetik lainnya. Adapun Shadra pada awal perjalanan intelektualnya mengikuti pandangan yang pertama[11] dan pada akhir perjalanannya setelah mencapai pencerahan spiritual ia cenderung kepada pandangan menganai ashalah al-wujud. Sekalipun demikian ia berbeda dengan pendukung guru filsafat paripatetik, Ibnu Sina, karena pada Shadra masalah ini telah diramu dengan nuansa irfan atau mistis dan dilengkapi dengan pengakuan mengenai wihdah al-wujud yang jelas-jelas mempunyai implikasi dan sangat jauh, sedangkan Ibnu Sina sama sekali tidak menerima pandangan mengenai wihdah al-wujud.

e. Kesatuan Wujud (Wihdah Al-Wujud)
Dalam sejarah Islam, aliran wihdah al-wujud ini sering diidentikkan kepada Muhyiddin Ibn ‘Arabi, filsuf-sufi dari Andalusia. Beliau dianggap sebagai orang pertama yang secara lengkap dan sistematis membicarakan mengenai masalah wihdah al-wujud ini, meskipun jejak-jejak pandangan ini sebenarnya sudah ada sebelum beliau. Mulla Shadra mengambil pandangan ini dan bahkan sangat mungkin ia menemukan visi spiritual mengenai wihdah wujud ini dari Ibnu Arabi, karena dalam karya-karyanya ia banyak mengutip pandangan-pandangan Ibnu ‘Arabi. Mulla Shadra mengambilnya dan menjadikannya sebagai dasar metafisik bagi filsafat atau hikmahnya secara keseluruhan dan menambahkannya kepada prinsip lain yang menjadi basis pemikirannya yaitu gradasi wujud (tasykik al-wujud).

Shadra melihat kesatuan wujud dalam pluralitas atau keragamannya. Hakikat dari wujud yang paling dalam adalah adanya satu kesatuan, sedangkan fenomena-fenomena yang nampak sebagai keragaman adalah penampakkan luar dan sesuai dengan cara manusia memandangnya. Akan tetapi dari kontemplasi filosofis dan mistik akan didapatkan kenyataan terdalam bahwa pada dasarnya wujud ini adalah satu yaitu Wujud Yang Universal dan Mutlak. Mulla Shadra dalam menjelaskan ini menggunakan ilustrasi dengan matahari dan cahaya-cahayanya, dimana cahaya-cahaya matahari bukanlah matahari akan tetapi pada saat yang sama mereka tidak lain dari matahari.[12]

f. Gradasi Wujud (Tasykîk Al-Wujûd)
Pengakuan terhadap kesatuan wujud dalam pandangan Shadra harus dipahami dalam satu gradasi atau hirarki. Ini karena dalam “kesatuan” tersebut terdapat “pluralitas (katsrah)” atau “sebaliknya” dalam keragaman terdapat “kesatuan”. Pengakuan terhadap adanya kesatuan pada dasarnya mengandalkan adanya bagian-bagian atau unsur-unsur yang ada di dalamnya saling menyatu sehingga dan terciptalah apa yang disebut sebagai “kesatuan” (wihdah). Kesatuan tidak bisa dibayangkan akan bisa terjadi jika hanya ada satu unsur secara mutlak karena pada saat itu tidak ada yang menyatu. Sebagai konsekwensi dari adanya pendangan mengenai wihdah al-wujud adalah pengakuan terhadap pluralitas atau keragaman wujud. Kesatuan dan pluralitas adalah dua yang berbeda akan tetapi tidak bisa dipisahkan. Ketika menekan pada kesatuan sedangkan tidak mengakui pluralitas, maka itu adalah omong kosong, demikian juga mengakui pluralitas dan tidak mengakui adanya kesatuan adakah pandangan yang persial dan sempit.

Prinsip kesatuan wujud menyiratkan pengertian bahwa di dalam wujud yang mempunyai kesatuan tersebut pada dasarnya ada hirarki dan tingkatan-tingkatan yang kemudian membentuk wujud secara keseluruhan. Hirarki atau gradasi ini menurut Shadra mulai dari tingkatan atau hirarki yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Dan masing-masing tingkatan yang lebih tinggi mencakup tingkatan yang lebih rendah darinya demikian seterusnya sehingga sampai kepada prinsip kesatuan secara mutlak.

Kecenderungan intelektual dan mistis Mulla Shadra dikenal dengan Al-Hikmah Al-Muta’aliyah (Teosofi Transendental) sekalipun pada dasarnya Mulla Shadra sendiri tidak pernah menjelaskan bahwa alirannya ia namakan dengan istilah tersebut. Akan tetapi karena kecenderungan intelektualnya secara sistematis mempunyai dasar ontologis atau metafisik dan juga dasar epistemologis yang sistematis, maka pengidentikkannya sebagai satu mazhab intelektual mempunyai dasar yang kuat.

Dasar metafisis dari keseluruhan kajian Shadra adalah pemahaman mengenai masalah wujud yang didasarkan pada tiga pandangan yaitu: Kesatuan Eksistensi (Wihdah Al-Wujud) yang diadopsi dari mazhab Ibnu Arabi, keaslian atau pengutamaan wujud dari kuiditas secara Ontologis (Ashalah Al-Wujud), dan yang ketiga adalah Gradasi atau Hirarki Wujud (Tasykik Al-Wujud). Tiga hal inilah yang menjadi dasar keseluruhan bangunan intelektual dan mistis Ibnu Arabi baik dalam masalah teologis, psikologi dan yang lainnya.

Doktrin Ashalah Al-Wujud pandangan yang mengatakan bahwa yang fundamental secara ontologis adalah wujud dan bukan mahiyah. Wujudlah yang sebenarnya riil atau nyata, sedangkan kuiditas atau mahiyah adalah hasil dari abstraksi pikiran. Dengan pengakuan terhadap fundamentalitas wujud, maka akan terbuka peluang untuk memahami wujud sebagai sesuatu yang ada secara hakiki. Akan tetapi wujud menurud Mulla Shadra harus dilihat sebagai satu kesatuan yang di dalamnya terdapat gradasi atau hirarki. Ini mengandaikan adanya pengakuan terhadap pluralitas atau keragaman wujud yang diikat oleh satu kesatuan. Keragamannya adalah karena adanya hirarki, akan tetapi hirarki dan keragaman tersebut harus dilihat sebagai satu kesatuan yaitu sebagai Wujud Yang Universal.

C. Kesimpulan
Filsafat Mulla Sadra dinilai mampu mempertemukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelum Mulla Sadra. Aliran paripatetik; iluminasionis; Irfan (mistisisme islam); dan kalam (teologi). filsafatnya sebagai Al-Hikmah Al Muta’aliyah (Filsafat Transendental) merupakan  suatu sistem filsafat yang koheren meskipun menggabungkan berbagai mazhab filosofis sebelumnya. Karena filsafat hikmah diperoleh lewat pencerahan spiritual atau intuisi intelektual dan disajikan daslam bentuk yang rasional. Dengan berlandaskan pada pokok utama kajian pemikiran Mulla Sadra yakni metafisika. Dengan demikian sifat-sifat sintetik pemikiran Shadra ini, dan inkorporasi Al-Qur’an dan hadits yang dilakukannya, telah menjadikan filsafatnya layak disebut filsafat Islam yang sesungguhnya.

DAFTAR  PUSTAKA
Mustofa, A. Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1999
Nur, Syaifan,  Filsafat Wujud Mulla Sadar, Yogyakarta: Pustaka Pelajat, 2001
—————-, Mulla Shadra: Pendiri Madzhab Al-Hikmah Al-Muta’aliyah, Jakarta: Teraju, 2003
Nur Mufidah, Luk Luk,  “Teosofi Transendental: Studi Pemikiran Mulla Shadra” dalam Episteme: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman, Tulungagung: Pascasarjana STAIN, 2006, volume I, nomor 1
Nashr, Seyyed Hosen, (edt), “Ensiklopedi Tematik Filsafat Islam” jilid II, Bandung: Mizan, 2004
Shaliba, Jamil, Mu’jam Al-Falsafi, jilid 2
Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filosof dan Ajarannya, Bandung: Pustaka Setia, 2009
Wehr, Hans, A Dictionary Of Modern Written Arabic, Beirut: Maktabah Du Leban, 1974

Referensi:
[1] Dalam Madzhab Isyraq (Shadra), ketinggian ilmu pengetahuan seseorang tentang hikmah akan diberi gelar hakim Al-Muta’allih yang berarti seorang filsuf atau ahli hikmah yang sudah menjadi “sperti Tuhan”, lihat, Syaifun Nur, Mulla Shadra: Pendiri Madzhab Al-Hikmah Al-Muta’aliyah, (Jakarta: Teraju, 2003), hal. 3
[2]  A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 336
[3] Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Sadar, (Yogyakarta: Pustaka Pelajat, 2001), hal. 34-35.
[4] Ibid, hlm. 58-72.
[5] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam … , hlm. 272, lihat juga, Luk Luk Nur Mufidah, “Teosofi Transendental: Studi Pemikiran Mulla Shadra” dalam Episteme: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman, (Tulungagung: Pascasarjana STAIN, 2006), volume I, nomor 1, hlm. 93-95
[6] Seyyed Hosen Nashr (edt), “Ensiklopedi Tematik Filsafat Islam” jilid II, (Bandung: Mizan, 2004), hal. 913.
[7] Ibid, hal. 192.
[8] Ibid, hal. 913.
[9] Hans Wehr, A Dictionary Of Modern Written Arabic, (Beirut: Maktabah Du Leban, 1974), hal. 1049.
[10] Jamil Shaliba, Mu’jam Al-Falsafi, jilid 2, hal. 315.
[11] Seyyed Hosen Nashr (edt), “Ensiklopedi Tematik …, hlm. 917-918
[12] Ibid,. hal. 916

*****

Teologi Transendental Mulla Sadra

Oleh: Mohammad Adlany

Dalam sejarah peradaban Yunani, tercatat bahwa pengkajian dan kontemplasi tentang eksistensi Tuhan menempati tempat yang khusus dalam bidang pemikiran filsafat. Contoh yang paling nyata dari usaha kajian filosofis tentang eksistensi Tuhan dapat dilihat bagaimana filosof Aristoteles menggunakan gerak-gerak yang nampak di alam dalam membuktikan adanya penggerak  yang tak terlihat (baca: Tuhan).

Tradisi argumentasi filosofis tentang eksistensi Tuhan, sifat dan perbuatan-Nya ini kemudian secara berangsur-angsur masuk dan berpengaruh ke dalam dunia keimanan Islam. Tapi tradisi ini, mewujudkan semangat baru di bawah pengaruh doktrin-doktrin suci Islam dan kemudian secara spektakuler melahirkan filosof-filosof seperti Al Farabi dan Ibnu Sina, dan secara riil, tradisi ini juga mempengaruhi warna pemikiran teologi dan tasawuf (irfan) dalam penafsiran Islam.

Perkara tentang Tuhan secara mendasar merupakan subyek permasalahan filsafat. Ketika kita membahas tentang hakikat alam maka sesungguhnya kita pun membahas tentang eksistensi Tuhan. Secara hakiki, wujud Tuhan tak terpisahkan dari eksistensi alam, begitu pula sebaliknya, wujud alam mustahil terpisah dari keberadaan Tuhan. Filsafat tidak mengkaji suatu realitas yang dibatasi oleh ruang dan waktu atau salah satu faktor dari ribuan faktor yang berpengaruh atas alam. Pencarian kita tentang Tuhan dalam koridor filsafat bukan seperti penelitian terhadap satu fenomena khusus yang dipengaruhi oleh faktor tertentu.

Menempatkan Tuhan sejajar dengan salah satu sebab dan faktor alami sama dengan memposisikan Dia setara dengan komunitas wujud-wujud di alam atau makhluk-Nya; ini berarti bahwa Dia itu bukan Tuhan, bahkan sebagai salah satu makhluk dari makhluk-makhluk-Nya. Ungkapan lain yang senada dengan ini adalah memandang alam ini adalah realitas terbatas yang dibatasi oleh ruang dan waktu dan kemudian menempatkan Tuhan di awal atau di akhir ruang yang membatasi alam ini atau memposisikan-Nya di awal waktu terwujudnya alam. Semuanya ini, merupakan gambaran yang sangat awam tentang Tuhan. Persepsi yang keliru ini menyebabkan perkara-perkara tentang ketuhanan terpaparkan jauh dari hakikat kebenaran dan untuk selamanya kita tak sanggup mencari jalan keluarnya.

Tuhan yang hakiki adalah Tuhan yang disampaikan oleh para Nabi dan Rasul serta yang dicerap secara benar oleh filosof-filosof Ilahi; Tuhan hakiki itu bukan di langit dan di bumi, bukan di atas langit, bukan di alam, tetapi Dia meliputi semua tempat dan segala realitas wujud.

Perspektif Teologis Mulla Sadra

Mulla Sadra, dalam tulisan-tulisan filsafatnya, merumuskan berbagai argumen-argumen yang berbeda dalam menegaskan wujud Tuhan. Argumennya yang terkenal adalah burhan shiddiqin, inti argumen ini adalah menempatkan semua realitas wujud (baca: makhluk) secara mutlak bergantung kepada Tuhan, semua realitas di alam sebagai hubungan dan kebergantungan kepada-Nya itu sendiri dan sama sekali tak memiliki wujud yang mandiri dan bebas. Dalam hal ini, berbeda dengan wujud Tuhan yang mandiri dan tak bergantung kepada wujud lain.

Burhan shiddiqin yang dibangun oleh Mulla Sadra berpijak pada prinsip-prinsip metafisika yang sangat dalam. Sebenarnya apa yang dibuktikan oleh Mulla Sadra dalam argumen tersebut bukan menegaskan bahwa Tuhan itu berwujud, tetapi menegaskan persepsi yang benar bahwa secara hakiki Tuhan sebagai satu-satunya wujud yang mengadakan segala makhluk dan menghadirkan semua maujud, Dia meliputi segala sesuatu, Tuhanlah satu-satunya wujud yang hakiki dan setiap realitas selain-Nya merupakan manifestasi dan tajalli wujud-Nya.

Gambaran Mulla Sadra tentang Tuhan yang sangat dalam ini beserta argumen shiddiqinnya merupakan hasil dari perjalanan panjang peradaban makrifat Ilahi manusia dan evolusi pemikiran filosofis dalam dunia Islam. Puncak kulminasi pemikiran filsafat ini, secara sempurna mempertemukan tiga unsur, yakni wahyu sebagai teks suci Tuhan, pemikiran filsafat, dan teologi (ilmu kalam).

Dalam mazhab pemikiran Mulla Sadra, wujud makhluk, jika dibandingkan dengan wujud Tuhan bukanlah wujud yang hakiki. Makhluk disebut sebagai bayangan, citra dan manifestasi. Makhluk ini secara hakiki tak menampakkan dirinya sendiri tapi menampakkan Tuhan. Makhluk adalah citra Tuhan, bayangan Tuhan dan manifestasi Tuhan. Makhluk bukanlah sesuatu wujud mandiri   dimana dengan perantaraannya Tuhan tercitrai dan terbayangkan, tetapi dia adalah citra dan tajalli Tuhan itu sendiri.

Dalam aliran filsafat, secara umum dikatakan bahwa wujud terbagi atas dua yaitu wujud Tuhan dan wujud makhluk, dengan perbedaan bahwa wujud Tuhan meniscaya dengan sendirinya (swa-wujud), tak terbatas, azali dan abadi, dan sementara wujud makhluk bergantung kepada-Nya, terbatas dan baru tercipta (hadits). Cara penjabaran seperti ini, juga digunakan oleh Mulla Sadra di awal pembahasannya tentang wujud, tapi secara perlahan-lahan dan sistimatis – setelah kajiannya tentang prinsip kausalitas, wujud hubungan, kebergantungan hakiki wujud kuiditas dan kehakikian wujud – dia kemudian mewarnai kajian-kajian filosofisnya dengan warna yang berbeda dari filsafat umum dan mengubah pandangannya secara ekstrim tentang hubungan Tuhan dan selain-Nya.

Konstruksi argumen Mulla Sadra tentang Tuhan berbeda dengan konstruksi yang dibangun oleh Ibnu Sina Dan Al-Farabi. Dalam pemikiran Al-Farabi, wujud “awal” dan “esa” adalah Wâjib al-Wujud. Oleh karena itu, Dia tak membutuhkan yang lain dalam perwujudan dan keabadian-Nya. Dia adalah Sebab Pertama untuk semua realitas wujud, Dia sempurna, tak bergantung, abadi, bukan materi dan tak mengalami perubahan. Tuhan juga secara esensial memiliki ilmu dan mengetahui segala realitas yang terjadi di alam. Tak satupun yang menyamai dan menyerupai-Nya.

Al-Farabi untuk pertama kalinya dalam sejarah filsafat, membagi secara rasional wujud-wujud kontingen ke dalam dua bagian yaitu wujud dan kuiditas, dan kuiditas itu dibagi lagi menjadi sepuluh kategori dari substansi dan aksiden. Pembagian ini, berefek pada terpecahkannya banyak masalah yang prinsipil dalam filsafat Islam, dan karya ini kita tidak saksikan dalam filsafat Yunani. Pengaruh universal dari pemikiran Al-Farabi tersebut adalah munculnya pengertian baru dalam konsep hakikat dan hubungan sebab-akibat. Sebagaimana Al-Farabi berkata, “hakikat adalah Tuhan”, dan makna lain tentang wujud dalam tulisan-tulisannya berpijak pada makna tersebut. Ketika dia menyatakan bahwa “hakikat” itu adalah kesesuaian ilmu dengan ” realitas sesuatu”, maka pandangannya adalah bahwa segala realitas yang berwujud di alam secara hakiki hadir dalam ilmu Tuhan dan apa yang ada di sisi Tuhan termanifestasikan dalam batasan-batasannya.Tuhan yang diyakini Al-Farabi sebagai seorang muslim sama dengan Tuhan digambarankannya sebagai seorang filosof, Tuhan  sebagai “Sebab Tertinggi” untuk semua realitas eksistensi, “Sebab” seperti itu sama dengan konsep “Tunggal”nya Plato atau “Akal Ilahi”nya Aristoteles. Selain itu, dia juga menganggap Tuhan sebagai Pencipta alam dan Sebab Pengada segala realitas. Dalam hal ini, pandangan dia tak sama dengan Plato dan Aristoteles, karena Plato berpendapat bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu berdasarkan “alam ide” (‘âlam mutsul)(1), dan berlainan pula dengan Aristoteles yang memperkenalkan Tuhan sebagai “Tujuan Akhir” alam dan segala realitas wujud. Dalam pandangan Plato, Tuhan tidak mewujudkan makhluk dari “alam ketiadaan”. Aristoteles beranggapan bahwa Tuhan bukan Pencipta alam dan Sebab Pengada segala realitas.

Kaum muslimin secara umum mempersepsikan Tuhan sebagai: “Sesuatu yang mencipta alam ini”, mereka memperkenalkan Tuhan sebagai Pencipta dan terkadang juga sebagai Pengatur dan Yang disembah. Filosof Islam, dengan memperhatikan fenomena lahirnya persepsi tentang Tuhan yang bersumber dari perbuatan-Nya dan realitas prilaku makhluk-Nya yang terjadi di tengah masyarakat teisme, berusaha mengaplikasikan satu istilah yang terbias langsung dari wujud suci Tuhan dan mewakili persepsi secara universal tentang-Nya, istilah ini tanpa mesti berasal dari perbuatan-perbuatan Tuhan dan makhluk-Nya, istilah yang digunakan para filosof tersebut adalah Wâjib al-Wujud (baca: Tuhan) yang berarti bahwa sesuatu yang niscaya berwujud dan mustahil tiada. Dari sini, menjadi jelaslah bahwa Tuhan Yang Maha Pencipta adalah Tuhan para Nabi dan Rasul secara aktual, tetapi Tuhan mereka bukanlah Tuhan yang hanya sebagai Pencipta, Tuhan mereka adalah Tuhan yang jika berkehendak Dia bisa mencipta, Tuhan dengan kriteria seperti ini meniscayakan Maha Kaya, sempurna, tak terbatas dan tak bergantung kepada yang lain.
Al-Farabi dan Ibnu Sina yang merumuskan perbedaan metafisik antara kuiditas dan wujud ke dalam filsafat Islam, menjadikan filsafat ini berbeda secara mendasar dengan kontruksi filsafat Aristoteles. Al-Farabi menegaskan bahwa “keberwujudan” merupakan keniscayaan dari hakikat wujud dan kuiditas sebagai sesuatu yang “tercipta” tak memiliki wujud hakiki dan hanya sebagai bayangan wujud. Persepsi kuiditas – yang bersifat universal itu dan bisa terterapkan pada individu-individu yang berbeda – mustahil terwujud dan mengaktual secara hakiki.

Oleh karena itu, tolok ukur “keberwujudan” mustahil didapatkan dari kuiditas-kuiditas yang digandengkan bersama, bahkan kuiditas yang nampak di alam luar tersebut secara esensial mustahil terterapkan pada individu yang lain, satu kuiditas secara esensial hanya terterapkan bagi dirinya sendiri. Maka dari itu, hanya wujud yang secara esensial terwujud (tercipta) dan setiap kuiditas partikular yang tercipta itu karena “berpijak” kepada wujud. Tanpa “keberpijakan” ini kuiditas mustahil tercipta.

Gagasan besar Al-Farabi ini tercatat dalam sejarah filsafat karena secara prinsipil mengubah substansi kajian-kajian filsafat dan cara pandang kaum filosof. Sebelum lahirnya gagasan ini, kajian filsafat dalam mengenal hakikat realitas wujud didasarkan pada pengenalan kuiditas, kuiditas sebagai tema sentral dan penting dalam observasi filsafat. Sekarang ini, para filosof menjadikan wujud sebagai prinsip dasar dalam menggali dan mengenal hakikat realitas. Semua pengkajian filsafat diawali pembahasan wujud dan ontologi.
Berdasarkan gagasan tersebut, jelaslah bahwa terdapat perbedaan yang substansial antara filsafat Aristoteles dengan filsafat Islam, karena alam dalam pemikiran Aristoteles bersifat abadi dan azali, Tuhan tidak menciptakan alam kita ini. Alam dalam ide-nya adalah suatu alam yang berwujud secara aktual dan mustahil menjadi tiada.

Argumentasi Al-Farabi dalam menegaskan wujud Tuhan dikatakan argumen imkan dan wujud, burhan ini berpijak pada perbedaan antara Wajibul Wujud dan wujud kontingen (mumkinul wujud, makhluk). Dalam argumen tersebut, secara mendasar dan hakiki mengakui adanya realitas wujud-wujud kontingen dan kemudian, berdasarkan watak kebergantungan wujud-wujud kontingen secara esensial, maka terbuktilah “Wajibul Wujud” atau Wâjib al-Wujud. Lebih lanjut dia berkata bahwa segala sesuatu yang berpisah antara wujud dan kuiditasnya, maka dia mustahil menjadi wujud yang mandiri, karenanya dia pasti memperoleh wujudnya dari yang lain, mata rantai “pemberi wujud” ini harus berujung pada “Pemberi Wujud” yang hakiki dimana wujud-Nya menyatu dengan “kuiditas” dan tak ada lagi pemisahan antara keduanya. Kuiditas adalah wujud-Nya sendiri. Argumentasi Al-Farabi tentang penegasan eksistensi Tuhan, disamping menegaskan keniscayaan dan keaktualitasan murni wujud Tuhan juga membuktikan bahwa Tuhan sebagai Sebab Hakiki perwujudan semua makhluk dari “alam ketiadaan” atau hadits(2) (lawan dari qadim, azali).

Kesimpulan lain yang dapat ditarik dari argumentasi Al-Farabi di atas adalah alam, dalam semua realitas wujudnya, secara esensial bergantung kepada Tuhan dan jika Tuhan sedetik saja tak “memancarkan” wujud kepadanya maka alam niscaya tiada. Jadi, wujud kontingen “sebelum” dan “sesudah” penciptaan secara mutlak butuh kepada Tuhan. Alam ini dalam huduts dan “keabadian” wujudnya bergantung kepada Tuhan.
Ibnu Sina menyebut salah satu argumennya dengan nama burhan shiddiqin, ini secara terperinci dimuat dalam kitabnya yang bernama al-Isyarat wa al- Tanbihat(3). Penamaan argumen ini dengan nama shiddiqin karena berlatar pada keagungan dan kekuatannya dalam penegasan dan pembuktian wujud Tuhan. Ibnu Sina, dalam argumentasinya, berusaha memaparkan secara rasional penegasan wujud Tuhan tanpa menggunakan perantaraan wujud kontingen dan makhluk. Oleh karena itu, dia mengagungkan burhan ini atas argumen lainnya. Bentuk penguraian filosofis yang dilakukannya itu, tak dilakukan oleh para filosof sebelumnya. Dia pantas bangga dan terharu atas anugrah Tuhan padanya. Burhan ini, diterima oleh banyak filosof dan teolog setelahnya, dan mereka bahkan menjabarkan burhan tersebut dalam tulisan-tulisan mereka dan terkadang hanya mencukupkan argumen itu dalam pembuktian wujud-Nya. Ini juga merupakan bukti nyata keagungan dan kekuatan burhan tersebut.

Setelah Ibnu Sina, burhan tersebut muncul dalam bentuk yang beraneka ragam dan dalam mazhab filsafat Mulla Sadra, dengan perantaraan filosof Mulla Hadi Sabzewari hingga Allamah Thabathabai, burhan ini termanifestasikan dalam suatu konstruksi yang semakin efektif dan efisien dalam penegasan eksistensi Tuhan.
Tak ada keraguan bahwa burhan shiddiqin ini bukan merupakan warisan dari filsafat Yunani, dia sebagai karya otentik filosof muslim dan sekaligus kebanggaan bersejarah dari evolusi rasionalitas filsafat Islam. Tak bisa dibayangkan, kalau filosof seperti Plato dan Aristoteles memiliki gagasan bahwa Tuhan adalah wujud itu sendiri lantas mengkonstruksi bentuk burhan seperti itu. Berbeda dengan filosof agung Ibnu Sina yang menggagas bahwa Tuhan adalah wujud itu sendiri dan mustahil realitas selain-Nya memiliki esensi tersebut. Burhan ini secara langsung, tanpa perantara realitas selain-Nya, menegaskan wujud Tuhan, ini tidak sebagaimana kaum teolog membuktikan Tuhan dari sisi ke-huduts-an makhluk dan juga tidak seperti Aristoteles menetapkan Tuhan dari dimensi gerak alam.

Burhan shiddiqin versi Ibnu Sina ini, berpijak pada prinsip kehakikian realitas wujud yang merupakan lawan dari penolakan mutlak atas kehakikian eksistensi. Setelah kita yakin pada kehakikian wujud eksternal, maka kita lanjut pada pembagian logis bahwa eksistensi eksternal itu hanya terbagi ke dalam dua bagian yaitu Wajibul Wujud atau wujud kontingen, kemudian kita letakkan kebutuhan esensial wujud kontingen kepada sebab pengada itu sebagai alur utama argumen, dengan bersandar pada kemustahilan daur dan tasalsul, disimpulkan bahwa wujud kontingen mutlak bergantung pada Wajibul Wujud. Yang harus diperhatikan dalam burhan tersebut adalah tak ada keharusan menerima realitas wujud kontingen, karena kalaupun wujud kontingen itu tiada maka yang ada “alam luar” niscaya Wajibul Wujud, jadi jangan dipahami bahwa wujud kontingen itu sebagai perantara dalam argumentasi tersebut. Karena yang bisa kita saksikan di luar adalah wujud kontingen, maka burhan berawal darinya, tapi kalau kita bisa “saksikan” secara langsung dan hudhuri maka wujud Tuhan otomatis terbukti dengan sendirinya. Dia adalah swa-bukti sebagaimana Dia juga swa-ada.

Ibnu Sina, dalam pasal keempat kitab al-Isyarat wa at-Tanbihat setelah menjelaskan burhan ini dalam menegaskan wujud Tuhan dan burhan-burhan lain yang bersandar pada silogisme burhan tersebut dalam membuktikan keesaan dan sifat-sifat Tuhan, berkata, “Saksikanlah bagaimana argumen kami tentang penegasan Wujud Pertama dan ketunggalan-Nya yang tak membutuhkan selain wujud itu sendiri dan bagaimana penjabaran kami tak lagi berpijak pada perbuatan-Nya dan makhluk. Walaupun semuanya itu adalah dalil atas keberadaan-Nya, tetapi metode tersebut (baca: burhan shiddiqin) lebih kuat dan lebih sempurna karena pijakannya pada realitas wujud itu sendiri, kesimpulannya adalah kesaksian atas Wajibul Wujud dan kesaksian bahwa wujud-Nya terletak sebelum realitas wujud-wujud lainnya. Kandungan burhan tersebut sesuai dengan ayat al-Quran yang berbunyi, “Segera akan tampak tanda-tanda kami di alam dan jiwa-jiwa mereka hingga menjadi jelaslah kebenaran bagi mereka”. Saya berkata, “kandungan ayat ini untuk kaum tertentu”. Dan setelah itu Tuhan berfirman, “Apakah tak cukup dengan Tuhanmu bahwa sesungguhnya Dia saksi atas segala sesuatu”. Saya berkata, “kandungan ayat ini untuk shiddiqin dimana mereka menjadikan wujud Tuhan itu sendiri sebagai saksi atas-Nya dan bukan segala realitas wujud bersaksi atas wujud Tuhan, Dialah saksi atas segala realitas bukan sebaliknya.”

Nampak dalam argumentasi Ibnu Sina di atas bahwa burhan tersebut mengantarkan kita pada satu kesimpulan yang pasti tentang eksistensi Tuhan tanpa menggunakan makhluk sebagai perantara dan murni menggunakan perhitungan rasionalitas dalam penegasan-Nya. Negasi wujud Tuhan merupakan hal yang tak terbayangkan, karena Ibnu Sina dan sebagaian filosof muslim berpandangan bahwa Tuhan adalah wujud itu sendiri. Kaum ateis yang tak mampu secara rasional menegaskan wujud Tuhan pada akhirnya hanya berpikir tentang kemungkinan ketiadaan-Nya dan menolak eksistensi-Nya.

Dengan burhan tersebut, Ibnu Sina membuka bab baru tentang pembuktian wujud Tuhan dalam filsafat Islam dan sekaligus membuka peluang munculnya teori yang mendasar dalam pembahasan tentang Tuhan dalam teologi Kristen setelah Thomas Aquinas. Ibnu Sina dalam burhan tersebut menggunakan satu cara yang disebut dengan “kemestian rasionalitas”  menetapkan wujud Tuhan  dan juga tentang ilmu Tuhan yang mendahului dan meliputi segala realitas, burhan itu juga menegaskan bahwa semua realitas alam secara esensial bersifat mungkin berwujud dan karena wujud Tuhan dia bersifat mesti berwujud.

Dari sudut pandang metafisika, gagasan inti Ibnu Sina itu adalah mencoba menyempurnakan pendapat Aristoteles yang mendasarkan bahwa setiap realitas wujud terbentuk dari dua bagian yaitu materi (al-mâdda) dan forma (al-shurah). Ibnu Sina yakin bahwa mustahil terwujudnya realitas luar hanya didasarkan oleh salah satu dari materi dan forma. Dalam kitabnya al-Syifa(4) dia juga menganalisa hubungan antara materi dan forma, yang akhirnya berkesimpulan bahwa materi dan forma berhubungan dan bergantung kepada akal fa’âl (active intellect)(5).

Lebih lanjut dia berkata bahwa wujud gabungan (composite existence) tak terwujud hanya dengan perantaraan materi dan forma, tetapi harus dipengaruhi juga oleh “sesuatu yang lain”. Dia berkata, “Segala sesuatu yang tunggal (tak bercampur) berwujud, maka wujudnya terambil dari sesuatu yang lain dan secara esensial “meminta”  ketiadaan. Bukan Cuma wujud tunggal itu, yang hanya materi atau hanya forma, yang “meminta” ketiadaan, tetapi keseluruhan wujud sesuatu (yaitu gabungan materi dan forma)”. Walaupun di beberapa tempat Ibnu Sina membahas bahwa materi sebagai “sumber” kejamakan forma atau kuiditas, tetapi dia tak menyatakan bahwa materi dan forma merupakan sumber terwujudnya sebuah realitas eksternal. Dalam pandangannya, Tuhan merupakan satu-satunya sumber lahirnya segala realitas wujud di alam.

Rumusan burhan dan argumen Mulla Sadra dalam penegasan wujud Tuhan berbeda dengan burhan Al-Farabi dan Ibnu Sina. Mulla Sadra juga mengkritik burhan milik Ibnu Sina dan menganggapnya bahwa burhan tersebut tak tergolong sebagai burhan shiddiqin(6). Menurut Mulla Sadra, walaupun dalam burhan tersebut tak meletakkan wujud makhluk sebagai perantara, tetapi sebagaimana para teolog dan ilmuwan alam, menggunakan kebergantungan (al-imkan) yang merupakan watak asli kuiditas sebagai perantara dalam burhan tersebut.

Mulla Sadra yang berbeda dengan Ibnu Sina, ketika mengkaji perbedaan antara Tuhan dan realitas alam dan kemudian menyebut Tuhan sebagai Wajibul Wujud (necessary existence) dan selain-Nya sebagai wujud mumkin (contingent existence), maksud dari “Wajibul Wujud” adalah wujud murni atau tak berangkap (bercampur) dimana memiliki intensitas wujud yang tak terbatas, dan maksud dari wujud mumkin adalah “wujud” hubungan atau bergantung dimana dalam “perwujudan” dan kesempurnaan “wujud”nya bergantung secara mutlak kepada Wajibul Wujud(7).

Mulla Sadra, dalam burhannya, pertama-tama menegaskan hakikat wujud (baca: Wajibul Wujud) dan setelah itu, membuktikan wujud kontingen. Dengan demikian Wajibul Wujud sebagai perantara untuk membuktikan wujud kontingen, dalam pandangannya wujud kontingen itu bukan wujud kedua setelah Wajibul Wujud tapi merupakan manifestasi, citra dan tajalli Wajibul Wujud. Jadi, “wujud” kontingen tidak berada dalam satu tingkatan dengan Wajibul Wujud, tapi Dia meliputi “wujud” kontingen secara hakiki.
Dalam burhan shiddiqin Mulla Sadra hanya berbicara tentang wujud hakiki dan wujud eksternal, dan perbedaan antara wujud-wujud eksternal tersebut pada dataran intensitasnya yang bersifat berjenjang dan bertingkat; sementara dalam burhannya Ibnu Sina berangkat dari persepsi wujud dimana wujud dibagi atas dua bagian yaitu Wajibul Wujud dan wujud kontingen, wujud kontingen terbentuk dari wujud dan kuiditas sementara Wajibul Wujud adalah murni wujud dan suci dari kuiditas.

Secara umum, diantara para filosof muslim dalam penegasan wujud Tuhan, terdapat dua aliran pemikiran:

Pertama, aliran pemikiran semisal Ibnu Sina;

Kedua, aliran pemikiran seperti Mulla Sadra.
Aliran pemikiran Ibnu sina, langkah pertama burhan mereka adalah membagi dua wujud eksternal tersebut menjadi Wajibul Wujud dan wujud kontingen, dan langkah kedua argumen ini adalah menetapkan bahwa wujud kontingen mustahil terwujud, dengan berpijak pada kemustahilan daur dan tasalsul, tanpa Wajibul Wujud.

Dalam aliran pemikiran Mulla Sadra, sistimatika burhannya pertama-tama dimulai dari penegasan tentang realitas wujud eksternal dan pengkajian atas kehakikian kuiditas atau wujud. Dia mengecam kaum yang ragu atas realitas eksistensi, langkah yang dilakukan oleh filosof eksistensialis ini yang kemudian membedakannya dengan kelompok Sophis. Dalam pahamannya, realitas wujud eksternal itu hanya satu yang hakiki dan lainnya bersifat majasi.

Langkah berikutnya, dia menegaskan bahwa yang hakiki itu adalah wujud dan kuiditas bersifat majasi. Langkah ketiga adalah menetapkan bahwa hakikat wujud hanya satu dan tak lebih, kejamakan dan pluralitas hanya terpancar pada dataran manifestasi wujud. Langkah keempat, hakikat wujud yang bersifat hakiki dan tunggal adalah Wajibul Wujud dan bukan milik “wujud” kontingen; karena kalau milik “wujud” kontingen maka dia harus bergantung kepada selainnya, sementara tiada yang lain selain hakikat wujud dimana hakikat wujud itu bergantung kepadanya. Dengan demikian, hakikat wujud identik dan setara dengan Wajibul Wujud yang mustahil meniada. Di sisi lain, kita melihat bahwa realitas alam senantiasa mengalami perubahan dan akan punah, maka dari itu kita menghukumi bahwa realitas alam ini bukan hakikat wujud, tapi bayangan dan citra wujud.

Mulla Sadra dalam kitab Masyâ’ir juga meletakkan hakikat wujud tersebut sebagai inti argumentasinya dan bukan persepsi wujud. Dalam uraiannya dia berkata, “Tuhan memiliki intensitas wujud tak terbatas dan keterbatasan itu adalah kemestian dari manifestasi-Nya”(8). Dari alur pemikiran ini, terlontar pertanyaan bahwa kenapa Wajibul Wujud senantiasa menjadi Wajibul Wujud dan mengapa Sebab Pertama terus menjadi Sebab Pertama, jawabannya adalah karena hakikat wujud itu merupakan satu-satunya hakikat untuk realitas alam, hakikat wujud secara esensial adalah ketakbergantungan kepada yang lain, keniscayaan itu sendiri, awal dan akhir itu sendiri, dan sebab dan sumber segala keberadaan.

Jadi, pertanyaan tentang-Nya yang zat-Nya merupakan Sebab Pertama itu sendiri, sama sekali tak berdasar. Oleh karena itu, menurut aliran pemikiran Mulla Sadra, pertanyaan yang muncul dalam benak kita tak semestinya berbentuk, “kenapa Sebab Pertama terus sebagai Sebab Pertama”? tetapi berbunyi, “kenapa sesuatu yang bukan sebagai sebab pertama adalah akibat dan tak sempurna, dan akibat itu senantiasa terbatas, hadir terbelakang dan bergantung”? Jawabannya,karena kesempurnaan, keaktualan, ketakbergantungan dan ketakterbatasan merupakan konsekuensi dari hakikat wujud tersebut, sedangkan manifestasi dan tajalli konsekuensinya adalah kekurangan, keterbatasan dan kebutuhan, semuanya sifat ini identik dengan ke-akibat-an.

Gagasan Tentang Tuhan
Berdasarkan alur pemikiran di atas, gagasan Mulla Sadra tentang Tuhan berbeda dengan gagasan ke-Tuhan-an yang dimiliki oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina. Gagasan mereka atas Tuhan berpijak pada persepsi tentang “keniscayaan wujud” dan menurut mereka juga memperkenalkan Tuhan tak cukup dengan mematok pengertian tentang ke-qadim-an dan tolok ukur ketakbutuhan dan kesempurnaan esensial Tuhan. Dalam pandangan mereka perbedaan antara Wajibul Wujud dan wujud kontingen adalah bahwa wujud kontingen terangkap dan tersusun dari kuiditas dan wujud, sementara Wajibul Wujud merupakan wujud murni dan tak tersusun dari kuiditas. Karena wujud itu sendiri berada pada tingkatan esensi Tuhan dan bukan bersifat tambahan pada esensi-Nya, maka zat-Nya pada tingkatan tersebut tak terpisah dari wujud sehingga mesti butuh pada wujud tersebut. Mulla Sadra berpendapat bahwa ketakbutuhan dan kesempurnaan esensi Tuhan  tak cukup dengan menegaskan ke-qadim-an dan kemanunggalan esensi Tuhan dan wujud. Dalam pandangannya, teori bahwa Tuhan yang merupakan wujud murni dan basith bukan dalil atas keniscayaan dan ketakbutuhan mutlak Tuhan, teori ini tak lain menegaskan bahwa maujud yang terasumsi(9) merupakan maujud hakiki dan bukan maujud majasi. Syarat keniscayaan suatu wujud adalah kehakikian dan ketakbutuhan kepada sebab. Jadi, pengenalan sempurna tentang esensi Tuhan harus mengikut sertakan kedua syarat keniscayaan tersebut.

Dalam sistem metafisika hikmah muta’aliyah, dengan berpijak pada teori kehakikian wujud dan prinsipalitas wujud (al-ashâlah al-wujud), wujud Tuhan ditegaskan sebagai wujud berintensitas tinggi yang tak terbatas dan makhluk merupakan sesuatu wujud yang berintensitas rendah, membutuhkan dan mustahil menjadi sebab kehadiran bagi dirinya sendiri, oleh karena itu dia harus bergantug kepada Wujud Mutlak (Tuhan).
Keberadaan hakiki hanya milik Tuhan. Wujud Tuhan tak terbatas dan memiliki kemandirian secara esensi. Kemandirian Tuhan dalam dimensi zat dan sifat-Nya, ini berarti bahwa Dia tak bergantung kepada realitas lain, Dia tak tercipta dari realitas lain dan tak satupun selain-Nya yang dapat membinasakan-Nya. Hanya Tuhan yang berwujud, Maha Kaya, Sempurna dan tak terbatas. Wujud-Nya tak bersyarat dan Dia merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya realitas lain.

Dengan demikian, simplisitas (al-besâthat) memiliki pengertian yang mendalam terhadap wujud Tuhan dimana mustahil menegasikan salah satu kesempurnaan yang mesti dimiliki-Nya. Mulla Sadra beranggapan bahwa Tuhan secara mutlak memiliki kesempurnaan dan juga zat-Nya menyatu secara hakiki dengan sifat-Nya.
Perbedaan Tuhan dan makhluk tak dipahami sebagai dua realitas yang memiliki batasan dan garis pemisah tapi perbedaan keduanya terletak pada kesempurnaan Tuhan dan kekurangan makhluk, kekuatan-Nya dan kelemahannya. Maka dari itu, perbedan antara keduanya bukan perbedaan yang saling berhadap-hadapan tapi perbedaan yang bersifat “mencakupi” dan “meliputi”.

Dengan ungkapan lain, segala wujud-wujud selain-Nya merupakan suatu rangkaian gradasi dari menifestasi cahaya zat dan sifat-Nya dan bukan sebagai realitas-realitas yang mandiri dan berpisah secara hakiki dari wujud-Nya. Kesatuan wujud dan maujud secara menyeluruh dan hakiki dalam realitas kemajemukan keduanya. Menurut Mulla Sadra, pemahaman tauhid seperti itu adalah tingkatan tertinggi dari tauhid yang dimiliki oleh para monoteis sejati dari kaum urafa dan para filosof muta’aliyah.

Kesatuan Wujud
Kesatuan Tuhan bukan kesatuan yang bersifat bilangan matematis. Gagasan ini merupakan pemikiran cemerlang dari filsafat Islam yang tidak dimiliki oleh mazhab filsafat manapun. Teori cemerlang itu tak lepas dari pengaruh timbal balik antara doktrin-doktrin ajaran suci Islam dan kajian kontemplatif filsafat Islam.  Mulla Sadra berpendapat bahwa Tuhan merupakan kesatuan hakiki. Persepsi ini sebagai azas yang paling mendasar dalam hikmah muta’aliyah dan juga dasar pijakan pemikiran filsafat pasca Mulla Sadra.
Gagasan tersebut kita tidak temukan dalam pemikiran filosof Islam sebelum Mulla Sadra seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina. Para filosof yang memasukkan gagasan tersebut dalam filsafatnya lantas menamakan kesatuan itu sebagai al-hakkah al-hakikiyyah, dan dalam tasawuf (irfan) kesatuan itu disebut al-wahdah al-wujud (kesatuan wujud). Kesatuan ini berarti bahwa Tuhan merupakan wujud mutlak dan mutlak wujud-Nya.
Kesatuan Tuhan bukanlah bersifat bilangan. Dia adalah Yang Pertama, ini bukan berarti bahwa ada Yang Kedua setelah-Nya. Bilangan merupakan kerakteristik alam materi. Bilangan merupakan “kuantitas terpisah” (kam al-munfashil) dari golongan aksiden, dan aksiden itu termasuk dalam kategori kuiditas (al-mahiyah). Wujud Tuhan, karena tak memiliki kuditas, tak termasuk dalam aksiden atau substansi dimana keduanya merupakan kategori kuiditas. Selain Tuhan, kesatuan dalam wujud-wujud abstrak (nonmateri) tak termasuk dalam kategori bilangan, karena wujud  mereka bersifat substansial. Wujud Tuhan tak terbatas, karena itu tak terbayangkan adanya sesuatu yang kedua setelah-Nya. Wujud Tuhan yang sedemikian tak berhingga itu tak menyisakan lagi kemungkinan hadirnya wujud selain-Nya, karena kalau ada yang kedua setelah-Nya berarti bahwa wujud Tuhan terbatas.

Tuhan dalam konteks di atas mustahil dapat dikenal dengan indera lahiriah, tak bisa diserupakan dengan apapun, mata tak dapat melihat-Nya, pikiran tak dapat meliputi-Nya dan tak bisa dikhayalkan dan digambarkan dalam bentuk apapun, karena kalau bisa diserupakan dan diliputi oleh akal dan pikiran maka berarti wujud-Nya terbatas. Bagaimanapun, sesuatu yang terbatas mustahil meliputi yang tak terbatas karena yang terpancar dari sesuatu yang terbatas adalah keterbatasan itu sendiri, sedangkan Tuhan adalah sesuatu yang tak terbatas. Maka dari itu, pengenalan hakikat Tuhan merupakan hal yang mustahil. Dalam hal ini, Mulla Sadra dalam kitab Asfar berkata, “Para filosof Muta’allihin mengenal Tuhan dan bersaksi atas keberadaannya tapi tak mengenal hakikat-Nya karena kekuatan intensitas pancaran dan cahaya-Nya serta kelemahan substansi wujud kita yang menghalangi penyaksian hakikat Tuhan, sebagaimana kekuatan intensitas pancaran dan cahaya matahari yang menyebabkan mata kita tak mampu menyaksikan secara langsung wujud matahari. Kita tak sanggup menyaksikan hakikat Tuhan karena terhijabi oleh intensitas pancaran dan cahaya-Nya, kita memiliki pengetahuan dan ilmu tentang-Nya tapi bukan bermakna “meliputi” dan “mencakupi” realitas wujud-Nya.”(10)

Keazalian dan Keabadian Tuhan

Dalam pandangan Mulla Sadra, wujud tunggal yang hakiki (wahid hakiki) mesti memiliki dua sifat dasar, yang pertama adalah harus azali. Yang dimaksud dengan azali adalah sesuatu yang tak pernah tiada dan tak ada sesuatu yang lain mendahuluinya. Ruang dan dan waktu tak berpengaruh atas sesuatu yang azali. Sifat yang kedua adalah zatnya berpijak pada esensinya sendiri yakni wujud dan sifatnya tidak bersandar pada realitas lain, dia tak dicipta oleh wujud yang lain dan juga tak ada satu realitaspun yang dapat membinasakannya.
Zat Tuhan hadir lebih dahulu atas waktu, atas segala keberadaan dan atas segala permulaan, konsep ini merupakan salah satu pemikiran yang cermat dan jitu dalam filsafat Ilahi, dan pengertian keazalian Tuhan bukan hanya bermakna bahwa Dia senantiasa berada bahkan keazalian Tuhan diatas ke-senantiasa-an keberadaan tersebut, karena ke-senantiasa-an itu mengharuskan adanya waktu sementara Tuhan, disamping bersama dengan segala realitas waktu, juga mendahului segala sesuatu termasuk waktu itu sendiri. Inilah pengertian yang benar tentang keazalian Tuhan. Tuhan adalah wujud murni dan semata-mata aktual serta tak dibatasi oleh ruang dan waktu. Wujud-Nya tersembunyi dihadapan panca indera kita, tapi secara riil Dia adalah wujud yang paling jelas, paling terang dan paling bercahaya, bahkan Dia adalah cahaya itu sendiri. Kesempurnaan Tuhan justru terletak diantara lahir dan batin atau jelas dan tersembunyi.

Berdasar pada kenyataan di atas, Mulla Sadra menarik kesimpulan bahwa al-Wahid al-Hakiki adalah suatu wujud yang tak butuh kepada sebab dan berpijak pada zat-Nya sendiri, disamping itu dia juga menetapkan simplisitas wujud-Nya (al-besâthat), ke-esa-an, ke-tunggal-an dan kesucian wujud-Nya dari segala bentuk kebercampuran, kejamakan, perubahan dan gerak serta keserupaan-Nya dengan makhluk-makhluk. Tuhan disebut Wâjib al-Wujud dari sisi bahwa wujud-Nya berdiri sendiri dan mutlak yakni memiliki kemandirian esensi dan zat serta tak butuh kepada wujud yang lain, Dia adalah Maha Kaya dalam semua dimensi dan aspek, oleh karena itu Dia mesti azali dan abadi.

Di sini Al-Farabi juga beranggapan tentang Tuhan bahwa disamping Dia Yang Pertama juga Yang Terakhir; Pelaku dan juga Puncak Tujuan, Pelaku dan Puncak Tujuan ini memiliki kesatuan yang sempurna yakni Dia Pelaku mutlak dan juga Tujuan mutlak. Secara hakiki, tak ada perbedaan antara azali dan abadi jika dihubungkan dengan wujud Tuhan, karena keabadian Dia adalah keazalian-Nya itu sendiri begitu pula sebaliknya, Tuhan sejak dahulu berada dan juga sekarang berada serta tak sesuatupun bersama-Nya; berdasarkan ini, Mulla Sadra menyebut Tuhan sebagai Wujud Mutlak.

Sebagaimana yang telah kami katakan bahwa keazalian dan keabadian Tuhan bisa juga dipahami dengan makna bahwa Tuhan adalah suatu wujud di atas ruang dan waktu. Makna ini bukan berarti bahwa Tuhan itu, dari dimensi waktu, kita pahami sebagai sesuatu yang tak berawal dan juga tak berakhir. Dia secara mutlak keluar dari ruang dan waktu, Dia tidak diliputi oleh ruang dan waktu, karena kemarin dan hari ini masuk dalam kategori waktu. Dia tidak di dalam waktu dan tidak dalam suatu ruang, Dia juga tak dibatasi oleh ruang dan waktu. Tak satupun realitas yang meliputi dan mencakup-Nya, bahkan Dia yang meliputi segala realitas dan semua realitas itu di bawah pengaruh dan cakupan-Nya serta tak ada yang lepas dari kekuasaan-Nya. Tak bisa kita katakan bahwa Tuhan itu pernah tiada kemudian terwujud (hâdits) atau setelah Dia berada pada waktu tertentu akan menjadi binasa dan punah (fana).

Secara berurut, akan tertegaskan sifat lain untuk Wâjib al-Wujud yaitu tak satupun wujud atau realitas materi yang dapat menjadi Tuhan; karena wujud-wujud materi adalah sesuatu yang pernah tiada dan lantas terwujud kemudian (hâdits), begitu pula realitas wujud-wujud materi tak bisa kita katakan bahwa mereka itu senantiasa ada atau mustahil menjadi tiada.

Dalam doktrin-doktrin suci agama, keabadian dan keazalian Tuhan memiliki tiga pengertian, pertama adalah bahwa Tuhan itu abadi dalam waktu dan tak berakhir, yang kedua adalah Dia tak berwaktu, dan yang ketiga adalah Dia memiliki segala kesempurnaan wujud. Tapi dalam doktrin suci Islam, Tuhan diperkenalkan sebagai wujud yang suci dari segala bentuk kefakiran dan kebutuhan, sifat ini meniscayakan bahwa Tuhan tidak dalam ruang dan waktu; karena suatu realitas wujud yang berada dalam ruang pasti membutuhkan dan memerlukan ruang dan tempat, begitupula suatu wujud yang berada dalam waktu mesti memerlukan syarat-syarat tertentu agar dapat tetap berada dalam waktu.

Nama dan Sifat Tuhan

Tak satupun dari makhluk dalam semua aspek yang serupa dengan Tuhan. Pada sisi lain, setiap sifat dari sifat-sifat yang kita kenal adalah sifat makhluk dan bukan sifat Khâlik. Kalau Dia itu kita sifatkan dengan sifat-sifat yang kita ketahui tersebut, maka kita meletakkan makhluk serupa dan setara dengan Tuhan dalam sifat-sifat itu. Maka dari itu, kita harus memilih jalan agar kita tak terjebak dalam penafian makrifat tentang sifat Tuhan dan juga menghindar dari penyerupaan makhluk dengan Tuhan.

Kelihatannya jalan yang logis dalam pengenalan manusia tentang sifat-sifat Tuhan adalah beranggapan bahwa akal manusia memiliki keterbatasan dalam kemampuannya menjelajahi secara rasional ketakterbatasan sifat-sifat Tuhan. Jadi bukan berarti bahwa akan manusia secara mutlak tak mampu mengenal beberapa sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Sebagaian aliran teologis beranggapan bahwa akal manusia tak bisa menetapkan sifat-sifat Tuhan secara mendetail dan menegaskan batasan-batasan sifat-Nya. Walaupun aliran ini, kenyataannya tak menolak beberapa pengetahuan dan pengenalan kepada sifat Tuhan yang perlu dan urgen bagi manusia, ini berarti bahwa mereka tak memberikan batasan antara kemampuan pengenalan akal manusia dan “urgensi kebutuhan pengetahuan manusia terhadap Tuhan”.

Maka jelaslah bahwa, dalam keadaan ketidakmampuan akal manusia mencapai secara sempurna pengetahuan hakiki tentang Tuhan, manusia sangat urgen memiliki pengetahuan tentang Tuhan walaupun sedikit dimana pengetahuan “yang sedikit” itu bukan hanya tak “dilarang” atau akal tak mampu menjangkaunya bahkan sangat perlu dan mesti bagi manusia dalam meraih keyakinan tentang-Nya. Pengetahuan “yang sedikit” tentang Tuhan sangat berpengaruh dalam semua bentuk peribadatan manusia kepada-Nya, tanpa pengetahuan itu mustahil manusia merasakan kelezatan dalam mengingat dan berzikir kepada-Nya.

Manusia dapat mensifatkan Tuhan dengan suatu sifat yang menggambarkan kebaikan dan kesempurnaan-Nya dan hal itu tidak menunjukkan kekurangan dan keterbatasan-Nya. Memang benar bahwa Tuhan tak serupa dengan makhluk-makhluk dan begitu juga sebaliknya semua makhluk tak sama dengan Tuhan dalam semua dimensi. Tapi penafian keserupaan dan kesamaan (al-tasybih) tersebut bukan berarti menegaskan perlawanan dan pertentangan makhluk dengan Tuhan. Bentuk pensucian (al-tanzih) seperti tersebut di atas dapat dikatakan dalam suatu ungkapan, “Apa saja yang ada pada makhluk berbeda dengan apa yang ada pada Khalik”. Perbedan tersebut bukanlah bentuk perlawanan dan pertentangan, makhluk bukanlah lawan dari Tuhan, makhluk adalah pancaran, ayat, bayangan, citra, tajalli dan manifestasi Tuhan. Kalau konsekuensi dari pensucian Tuhan tersebut adalah bahwa setiap makna yang sesuai dengan makhluk pasti tidak bersesuaian dengan Tuhan, lantas bagaimana dengan pengertian dan makna “keberadaan, eksistensi” dan “kesatuan” yang terterapkan dan teraplikasikan pada Tuhan dan makhluk? Jelaslah bahwa pemikiran tersebut bukan hanya meniadakan Tuhan dari sifat-sifat bahkan memustahilkan akal manusia mencapai pengeahuan dan makrifat tentang ketuhanan dimana hal ini berujung kepada pengingkaran dan penolakan eksistensi Tuhan.

Mulla Sadra, dalam masalah pengenalan sifat-sifat Tuhan, juga menggunakan metode yang berpijak pada gagasan burhan shiddiqin dimana burhan ini digunakan untuk menetapkan eksistensi dan kesatuan Tuhan. Ketika dalam hikmah muta’aliyah ditegaskan bahwa wujud itulah yang hakiki bukan kuiditas, dan zat Tuhan adalah wujud itu sendiri (wujud murni) yang tak memiliki keterbatasan, maka semua karakteristik wujud dan kesempurnaan wujud secara mutlak dan sempurna terdapat pada zat Tuhan.

Semua sifat-sifat dan keadaan-keadaan yang disaksikan secara riil dan mendetail di alam ini, dari sisi bahwa hal itu menunjukkan keterbatasan mereka dan keterbatasan itu bersumber dari penafian dan ketiadaan kesempurnaan, dalam masalah Tuhan dimana zat-Nya adalah murni wujud niscaya secara mutlak menolak ketiadaan, segala bentuk ketiadaan tak sesuai dengan kesucian wujud-Nya, dan karena secara umum sifat-sifat yang tersaksikan tersebut berhubungan dengan ketiadaan dan keterbatasan maka secara pasti harus dinafikan dari zat suci Tuhan dan penegasan secara mutlak ketiadaan keterbatasan wujud dan sifat-Nya. Eksistensi Tuhan secara mutlak lepas dari segala syarat-syarat dan jauh dari semua bentuk keterbatasan, dari sisi ini, wujud Tuhan mustahil dibatasi dan diliputi oleh sebuah persepsi yang secara sempurna menceritakan tentang realitas wujud Tuhan.

Segala sifat-sifat yang mengesankan atau menceritakan suatu bentuk keterbatasan dan ketidaksempurnaan mesti dinafikan dari sifat-sifat Ilahi dan pada saat yang sama kesempurnaan eksistensial dari sifat-sifat tersebut ada pada zat Tuhan. Dengan ungkapan lain, kesempurnaan kuiditas tak ada pada zat Tuhan dan yang ada hanyalah kesempurnaan wujud. Tuhan Maha Mengetahui tapi bukan dengan perantaraan alat-alat keilmuan, Tuhan Maha Melihat tapi tidak dengan perantaraan mata, Tuhan Maha Mendengar tapi idak dengan telinga, Tuhan Maha Berkehendak tapi bukan dengan berpikir sebelumnya, Dia meliputi segala sesuatu tapi tidak dengan peliputan jasmani, Dia bersama dengan semua realitas tapi tidak dengan persatuan, Dia terpisah dan jauh dari segala sesuatu tapi tak berjarak.

Dalam pandangan Mulla Sadra, wujud Tuhan adalah wujud yang paling sempurna, dari sisi ini, Dia berada di atas dari semua penginderaan kita. Penginderaan kita yang terbatas ini mustahil menjangkau suatu realitas wujud yang tak terbatas. Tuhan adalah puncak kesempurnaan dan kesempurnaan-Nya yang tak terbatas itu membuat heran dan kagum akal manusia. Manusia yang merupakan wujud yang terbatas dan berkekurangan bagaimana mungkin bisa meraih dan meliputi sesuatu yang wujudnya tak terbatas dan kesempurnaannya tak berujung. Oleh karena itu, menurut Mulla Sadra Tuhan yang memiliki wujud yang maha sempurna dan di atas ruang dan waktu mustahil berada dalam jangkauan indera dan akal manusia.

Lebih lanjut, Mulla Sadra menekankan bahwa pengenalan Tuhan adalah merupakan tujuan filsafat dan manusia berkewajiban mengenal dan mengetahui Tuhan berdasarkan kemampuan dan “keluasan wujudnya” masing-masing serta berusaha mengikuti segala perbuatan Tuhan dan meneladani sunnah-Nya dalam semua dimensi. Mulla Sadra memustahilkan pengetahuan sempurna atas wujud Tuhan sebagaimana ada-Nya, pengetahuan manusia tentang Tuhan diperoleh dari jenis pengenalan rasionalitas yang berangkat dari analisa-analisa tajam dan teliti atas persepsi-persepsi yang ada.

Mulla Sadra menegaskan masalah sifat-sifat Tuhan dalam usaha dan jalur rasionalitas. Dia tidak sama dengan golongan orang-orang yang menyandarkan dan menisbahkan sifat dan perbuatan makhluk kepada Tuhan, dan diapun tidak sejalan dengan golongan orang-orang yang menafikan segala bentuk pengenalan manusia atas zat dan sifat-sifat Tuhan. Mulla Sadra, pada saat yang sama mengakui kemustahilan pengetahuan hakikat zat Tuhan juga menegaskan bahwa pengenalan Tuhan diperoleh lewat pengetahuan tentang nama dan sifat-sifat Tuhan.

Berkaitan dengan nama-nama dan sifat-sifat agung Tuhan, Mulla Sadra berkeyakinan bahwa setiap nama – yang menceritakan hubungan Tuhan dan makhluk – bisa disandarkan dan dilekatkan kepada Tuhan, dan nama-nama tersebut bukanlah sesuatu yang berada di luar dari zat Tuhan. Dalam perspektif Mulla Sadra, satu-satunya jalan mencapai hakikat wujud Tuhan adalah dengan ma’rifat syuhudi dimana sesuai dengan potensi wujud masing-masing manusia, ma’rifat ini bukan pengetahuan tentang nama dan sifat Tuhan.

Mulla Sadra, tidak sama dengan kaum Asy’ariah yang memandang sifat-sifat Tuhan tersebut berada di luar dari zat Tuhan dan pada saat yang sama sifat-sifat itu merupakan sesuatu yang tak tercipta, dan dia juga tak sepaham dengan kelompok Mu’tazilah yang menafikan sifat-sifat Tuhan dan penisbahan sifat-sifat itu kepada Tuhan bersifat majasi. Mulla Sadra mensifatkan Tuhan dengan suatu sifat tetapi bukan sifat yang berada di luar dari zat-Nya, sifat dan zat Tuhan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, perbedaan sifat dan zat-Nya hanya pada dataran persepsi (al-mafhum) bukan pada dimensi contoh luar (extensi, al-mishdaq), berbeda dalam persepsi dan satu dalam extensi. Menurutnya, akal ketika memahami satu kesempurnaan dari kesempurnaan-kesempurnaan wujud Tuhan seperti ilmu dan kekuatan maka secara langsung diapun menegaskan kesempurnaan-kesempurnaan lain yang mesti dimiliki oleh Tuhan, karena wujud Tuhan merupakan suatu realitas yang basith dan satu kesatuan mutlak, segala kesempurnaan tak terbatas dimiliki-Nya dan tak satupun bentuk kesempurnaan yang dapat dinafikan dari wujud-Nya.

Mulla Sadra dalam kitab Asfar secara mendetail membahas tentang asma dan sifat Tuhan serta sekaligus menetapkan suatu sifat untuk Tuhan. Dia berkata, “Karena Tuhan merupakan wujud mutlak dan secara esensi Wâjib al-Wujud maka tersucikan dari segala bentuk kekurangan dan keterbatasan, oleh karena itu Dia adalah kebaikan dan kehidupan mutlak dan wujud seperti ini merupakan kesatuan antara subyek, obyek, dan ilmu.

Dalam gagasannya, Tuhan mengetahui semua makhluk. Ilmu-Nya tentang zat-Nya menyatu dengan zat-Nya dan ilmu kepada makhluk-Nya adalah ilmu huduri yang juga menyatu dengan zat-Nya. Mulla Sadra berbeda dengan Aristoteles yang memungkiri ilmu Tuhan kepada makhluk-makhluk-Nya. Mulla Sadra beranggapan bahwa Tuhan mengetahui segala realitas makhluk secara partikularitas, Dia mengatur segala maujud serta ilmu dan kehendak-Nya meliputi segala sesuatu. Tak satupun keluar dari pengetahuan-Nya dan segala sesuatu yang ada di alam diatur dan diarahkan dalam sebaik dan sesempurnanya sistem.

Ilmu Tuhan dalam masalah-masalah yang bersifat partikular tidak sama dengan ilmu kita terhadap masalah tersebut. Ilmu-Nya tentangnya tidak berasal dari masalah tersebut dan tidak dipengaruhi oleh waktu dan zaman, jika demikian maka Dia harus berjarak dengannya dan berpengaruh pada-Nya, sementara hal in merupakan sesuatu yang mustahil. Ilmu Tuhan tidak berubah seiring perubahan yang terjadi pada wujud-wujud partikular, ilmunya tidak hadir secara aksiden dalam zat-Nya hingga Dia mesti “menunggu”.

Sifat-Sifat Perbuatan Tuhan dan Masalah Penciptaan
Tak diragukan lagi bahwa seluruh alam dan segala kejadian yang terjadi di dalamnya, dari sisi wujud dan eksistensinya, memiliki hubungan dengan Tuhan, semuanya itu adalah perbuatan dan pancaran dari-Nya, pancaran dari sifat-sifat seperti, sifat Rahmat, Rahim, Pemberi Rezki, Keagungan, Kekayaan, Kemuliaan, dan lain sebagainya. Tuhan disifatkan dengan suatu sifat yang terambil dari tingkatan perbuatan itu sendiri, sifat ini disebut dengan sifat perbuatan dan lebih rendah dari sifat zat.

Kehendak (iradah), Kemurahan dan Kebaikan (ihsan) Tuhan adalah wujud eksternal itu sendiri (baca: alam dengan segala realitasnya) dimana terwujud dengan penciptaan Tuhan dengan perantaraan nama Al-Murid, Al-Karim dan Al-Muhsin. Penciptaan Tuhan tiada lain adalah realitas alam itu sendiri secara menyeluruh dan wujud-wujud partikular merupakan manifestasi langsung dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya.

Makhluk-makhluk dengan wujudnya yang beraneka ragam dan sifatnya yang bermacam-macam mengisyaratkan kepada kita bahwa realitas itu merupakan tanda kesempurnaan zat dan sifat Tuhan, yakni realitas ini bersumber dari suatu perbuatan pada tingkatan zat Tuhan. Secara lahiriah, perbuatan Ilahi itu memiliki banyak perbedaan tapi pada hakikatnya semua kembali kepada satu perbuatan umum yang disebut dengan penciptaan. Yang dimaksud dengan penciptaan bukan berarti bahwa ada “bahan baku” atau “materi awal” sebelumnya dimana Tuhan menggunakan “bahan baku” tersebut sebagai bahan dasar dalam penciptaan, karena jika demikian maka wujud Tuhan tidaklah azali bila dibandingkan dengan “materi awal” tersebut dan juga wujud-Nya menjadi terbatas dan keterbatasan wujud-Nya ini tidak sesuai dengan kesempurnaan mutlak yang dimiliki-Nya.

Disamping itu, dari sisi perbuatan, Tuhan akan butuh kepada “materi awal” tersebut, dan kebutuhan Tuhan ini bertentangan Maha Kaya dan kesempurnaan mutlak-Nya. Iradah dan kehendak Tuhan adalah perbuatan dan penciptaan itu sendiri, karena segala bentuk pikiran, gambaran,khayalan, gerak dan kondisi serta faktor internal dan eksternal tidaklah sesuai dengan zat Tuhan. Tuhan mencipta tidak dari sesuatu.

Dalam filsafat Ilahi, kehendak Tuhan berhubungan dengan satu sistem keteraturan sempurna dimana memiliki kemaslahatan dan tujuan tertentu, kemaslahatan ini tidaklah membatasi kehendak Tuhan tersebut. Mulla sadra dalam hal ini menekankan bahwa sifat kebaikan harus dihubungkan kepada kekuatan dan ilmu Tuhan secara mutlak, ketika Tuhan dikatakan sebagai sumber segala kebaikan yakni perbuatan Tuhan dan eksistensi-Nya merupakan syarat dasar kebaikan dan paling tingginya kesempurnaan wujud dalam tatanan sempurna kewujudan.

Oleh karena itu, Tuhan mustahil berbuat sesuatu yang bertentangan dengan hikmah dan tujuan universal, gagasan ini tidaklah bertentangan dengan kekuatan mutlak Tuhan. Segala perbuatan Ilahi memiliki kesesuaian dan keharmonisan satu sama lainnya. Menurut Mulla Sadra, Tuhan, disamping memiliki ilmu dan kekuatan mutlak juga sebagai Yang Maha Bijaksana (Al-Hakim).

Mulla Sadra beranggapan bahwa Tuhan bukan hanya sebagai Pencipta (Al-Khaliq), bahkan juga sebagai Hakim yang memiliki kemurahan, keadilan dan sumber segala kebaikan dan rahmat. Biasanya kebaikan dan kecintaan digunakan sebagai dua sifat dari sifat-sifat Tuhan. Sumber kebaikan Tuhan adalah kecintaan dan rahmat-Nya, semua sifat-sifat ini digunakan dalam satu makna; tetapi yang terpenting diantara mereka adalah cinta dan mahabbah Tuhan. Menurutnya, Tuhan itu kesempurnaan, cinta dan kebaikan mutlak dimana pada satu sisi semua kebaikan berasal dari-Nya dan pada sisi lain kecintaan-Nya meliputi segala realitas wujud dan makhluk.

Tak ada keburukan mutlak yang merupakan lawan dari kebaikan mutlak di dalam tatanan alam ini, yang ada hanyalah keburukan aksidental yang bersifat nisbi, “keburukan” ini sebenarnya merupakan kebaikan pada tingkatan yang rendah, karena jika keburukan mutlak itu secara hakiki berwujud, maka bertentangan dengan wujud, ilmu dan hikmah Ilahi yang tak terbatas.

Sebagaimana wujud itu hakiki dan bergradasi, kebaikan dan kesempurnaan mutlak adalah wujud itu sendiri, maka kebaikan dan kesempurnaan juga bergradasi dan berjenjang. Karena tatanan segala realitas alam bersumber dari ilmu, kekuatan dan kecintaan kepada kesempurnaan dan kebaikan, maka segala realitas alam tersebut senantiasa berwujud dalam kondisi yang paling sempurna. Tak ada lagi tatanan dan sistem yang lebih sempurna dari tatanan yang universal ini, apa yang ada ini adalah yang terbaik dan paling sempurna, karena kalau ada yang terbaik yang tak tercipta oleh Tuhan, maka ilmu, kekuatan dan kesempurnaan-Nya pasti terbatas.

Mulla Sadra menyatakan bahwa Tuhan adalah satu-satunya Pelaku atau Sebab hakiki di alam. Alam dalam pandangannya memiliki kesatuan dan keharmonisan serta mempunyai hubungan kausalitas antara tingkatan-tingkatan wujud. Gagasannya tentang ketunggalan Pelaku alam tak bertentangan dengan konsep keniscayaan sebab-akibat yang digagas oleh para filosof lain.

Awal Dan Akhir Penciptaan Alam
Masalah yang senantiasa menjadi pokok perhatian para pemikir dan filosof adalah hubungan antara Tuhan dan alam. Tuhan, dalam pandangan Mulla Sadra, adalah suatu wujud yang nonmateri (al-mujarrad), lantas bagaimana hubungan Dia dengan alam yang bersifat materi ini? Bagaimana bisa alam materi tercipta atau terpancar dari suatu realitas yang non materi? Apakah penciptaan alam “sezaman” dengan ke-qadim-an Tuhan?

Mulla Sadra berpegang pada konsep “manifestasi” dalam menetapkan bentuk hubungan antara satu dan jamak, antara kesatuan dan kejamakan. Dalam pandangannya, Tuhan adalah kesatuan yang hakiki dan wujud mutlak yang merupakan sumber segala kesempurnaan, berdasarkan rahmat-Nya yang luas maka terpancar dari-Nya suatu wujud yang oleh filosof disebut dengan akal pertama, akal pertama ini memiliki semua karakteristik yang ada pada wujud Tuhan, perbedaannya dengan Tuhan hanyalah bersifat tingkatan saja. Akal pertama berada satu tingkatan di bawah Tuhan.

Alam yang bersentuhan langsung dengan kita adalah alam materi, alam ini bersifat hâdits zamani(11) yakni wujudnya didahului oleh “ketiadaan” dan ketiadaannya didahului oleh wujud. Alam materi ini dipengaruhi oleh ruang, waktu dan gerak. Perubahan adalah substansi alam materi. Dengan semua karakteristik ini, alam materi tak lepas dari peliputan dan pencakupan Tuhan, awal dan akhir alam materi berhubungan dengan Tuhan.

Alam lain yang telah dibuktikan dan ditegaskan keberadaannya adalah alam non materi. Alam ini memiliki sifat konstan (tetap), tak bergerak, tak reaktif, tak berubah, tak berwaktu, dan tak berpotensi. Alam ini tetap memiliki sifat butuh dan bergantung kepada Tuhan sebagaimana alam materi, karena walaupun alam non materi tersebut memiliki memiliki banyak “persamaan dan keserupaan” dengan Tuhan tapi dari sisi wujudnya tetap memiliki keterbatasan. Kekhususan lain yang dimiliki oleh alam ini adalah setiap kesempurnaan yang secara mungkin dimilikinya niscaya ada padanya dan dia tak lagi menyempurna karena tak satupun sifatnya yang bersifat potensi. Semua manifestasi Tuhan secara sempurna diserapnya, hal ini seperti sebuah cermin yang menyerap dan memantulkan secara sempurna obyek yang berada dihadapannya.

Tuhan “bertajalli dan bermanifestasi” pertama kali di alam nonmateri tersebut, alam ini akan menyerap tajalli Tuhan itu dan secara sempurna memantulkannya secara bergradasi ke alam mitsal(12) lantas ke alam materi yang merupakan alam yang terendah. Tuhan tak lansung menciptkan alam materi ini, tapi Dia mencipta alam non materi dimana konsekuensi alam ini melahirkan alam-alam lain secara bergradasi hingga ke alam materi.
Demikianlah sepintas pembahasan tentang wujud, nama dan sifat-sifat Tuhan yang diramu dari gagasan-gagasan seorang filosof Ilahi yang agung, Mulla Sadra, pendiri Hikmah Muta’aliyah. Pembahasan ini sangatlah ringkas dan tidak semua gagasannya dituangkan secara sempurna dalam makalah ini karena keterbatasan penulis sendiri, makalah ini hanyalah secara global memperkenalkan konsep dan gagasan dari seorang filosf muslim yang terkenal dengan teori-teori transendentalnya tentang ke-Tuhan-an dan kami berharap suatu waktu, secara terperinci dan sistimatis, akan menjabarkan pemikiran-pemikirannya.

Catatan Kaki :
1. Alam ide Plato adalah suatu bentuk yang non materi dan juga hakikat persepsi akal. Alam ini bersifat, azali, konstan dan mandiri. Jadi, setiap realitas memiliki “bentuk non materi”nya di alam Ilahi, “bentuk non materi” itu dinamakan mutsul. Karena mutsui ini dikonsepsi pertama kali oleh Plato, maka kemudian para filosof menamakan mutsul Aflatun atau mutsul Plato, yang kita terjemahkan dengan alam ide Plato..
2. Istilah ini telah kami jelaskan secara terperinci dalam makalah kami yang berjudul “Tuhan dalam filsafat”.
3. Ibnu Sina, al-Isyarat wa al-Tanbihat, jilid 3, hal. 18-27. Dan dalam kitab an-Najâh, hal. 66.
4. Ibnu Sina, asy-Syifa, makalah kedua, pasal keempat.
5. Para filosof peripatetik beranggapan bahwa di alam eksistensi ini terdapat sepuluh akal yang berjenjang dan bertingkat. Akal yang paling rendah tingkatannya disebut dengan akal fa’âl, akal ini disamping berfungsi untuk mengaktualkan segala potensi yang dimiliki oleh jiwa-jiwa juga berfungsi “mencipta” jiwa-jiwa dan akal-akal partikular (akal yang terdapat dalam diri manusia) di alam semesta ini.
6. Mulla Sadra, al-Asfar, jilid 6, hal. 15 dan 16.
7. Mulla Sadra, al-Asfar, jilid  6, bab penegasan tauhid.
8. Mulla Sadra, al-Masyâ’ir, hal. 69.
9.Maujud yang akan ditegaskan dan dibuktikan hakikat keberadaannya, misalnya dalam pengasumsian bahwa Tuhan itu berada kemudian dengan pendekatan dalil-dalil filosofis terbukti bahwa Tuhan benar-benar berwujud secara hakiki.
10. Mulla Sadra, Asfar, jilid 1, hal. 115.
11. Adalah baru tercipta dalam waktu, alam ini pernah tiada – dalam waktu – dan sekarang baru tercipta dan hadir  – juga dalam waktu -, jadi alam materi ini diliputi oleh waktu, bahkan waktu merupakan salah satu faktor hakiki terwujudnya alam, waktu adalah salah satu faktor pembangun alam.
12. Alam yang berada diantara alam akal dan alam materi.

(Islamalternatif/al-shia/syafieh/stfi sadra/ahmadsamantho/ABNS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar