مقاربات في الخلاف السياسي في صدر الإسلام (1) - مقدمات في قراءة تاريخ الإسلام
1.652
****
Kami akan membahas bantahan tersebut bukan karena bantahan tersebut memang layak untuk ditanggapi tetapi karena permintaan saudara kami dan untuk menunjukkan kepada umat islam betapa lemahnya akal pengikut neonashibi
Penulis
buku Madina Syinasi (Mengenal Kota Madinah), terkait dengan letak
geografis Saqifah Bani Sa’idah, menulis, “Apa yang pasti, tempat Saqifah
Bani Sa’idah terletak di samping Masjid Bani Sa’idah dan dekat sumur
Budha’i (sumur milik Bani Saidah). Masjid Bani Sa’idah – sesuai riwayat
Ibnu Syubbah dan Imam Abu Ishaq Harbi dalam (al-Manasik wa Amakin Thuruq
al-Haj, hal. 399) Rasulullah Saw pernah menunaikan salat, lalu duduk
dan minum air – adalah tempat yang senantiasa mendapat perhatian
penduduk Madinah.
“
Tempat ini, berdasarkan literatur sejarah
yang berusia ribuan tahun, terletak di luar pintu Syam dan bersambung
dengan dinding kota Madinah yang di kemudian hari dibangun kubah Syaikh
al-Naml di dekat tempat itu. Pembangunan Saqifah Bani Sai’dah dilakukan
hingga sebelum tahun 1030 H. Kita tidak dapat menjumpai laporan-laporan
sejarah yang dapat diandalkan dalam hal ini. Sebatas ini semata-mata
namanya disebutkan dalam literatur-literatur klasik.
Pada tahun 1030 H, Ali Pasya membangun
sebuah bangunan di Saqifah untuk mengenang peristiwa baiat. Peninggalan
bangunan ini tetap ada hingga awal 1030. Dan Abdul Quddus Anshari dalam
(Atsar al-Madinah al-Munawwarah) mencetak sebuah gambar tentang bangunan
tersebut dan gambar yang terkait dengan tahun-tahun sebelum perusakan
dinding kota Madinah.
Setelah perusakan dinding kota Madinah dan
awal-awal rekonstruksi kota pada saat Dinasti Saudi mengambil tampuk
kekuasaan – wajah klasik kota Madinah sama sekali telah mengalami
perubahan sedemikian sehingga untuk menyelaraskan dokumen-dokumen
sejarah dengan situasi aktual kota Madinah mustahil atau sangat berat
untuk dapat dilakukan.
Dalam kondisi seperti ini, saya meminta
tolong kepada pejabat lama dan baru kota dan Waqaf kota Madinah dan
mereka dengan pengalaman-pengalaman yang mereka miliki sebelumnya,
membimbing saya untuk mengenal tempat Saqifah Bani Saidah dalam susunan
kota baru.
Tempat baru, pada sisi utara segitiga
bunderan Sultana. Bunderan Sultana yang berbentuk segitiga jalan Sultana
yang menghubungkan jalan Sahaimi dengan jalan Manakha yang terletak
pada barat laut masjid Nabawi. Jalan Sultana terletak pada bagian
selatan bunderan (maidan) dan jalan Sahaimi yang merupakan ujung barat
dua jalan yang disebutkan bersambung dan berujung dengan jalan Manakha.
Apa yang pasti letak Saqifah Bani Sa’idah berada pada bagian barat laut
segitiga Sultanah dan barat daya masjid Nabawi.[1]
Pada tahun 1383 Hijriah pemerintah kota
Madinah mengklaim tanah segitiga Sultana dan bunderan sekarang dijadikan
sebagai tempat parkir yang rindang dan sesuai dengan peta yang
diproyeksikan, Masjid Bani Sa’idah kembali dihidupkan dan tempat Saqifah
dibangun aula pertemuan masyarakat kota Madinah.”[2]
Referensi:
[1]. Posisi Saqifah tepatnya berada di sisi
Barat Daya Masjid Nabawi, berjarak sekitar 200-an meter. Berseberangan
jalan dengan Perpustakaan Raja Abdul Aziz. Bentuknya empat persegi,
sekitar 30 x 30 meter. Untuk melihat rekaman letak Saqifah silahkan klik
link berikut: http://www.youtube.com/watch?v=W29_jrVzW0c
[2]. Sayid Muhammad Baqir Najafi, Madinah Syinâsi, hal. 252-255, Tanpa Tahun, 1364 S (Disertai dengan editan).
The Garden Used To Be The Tsaqifah Bani Sa’adah.
Tragedi Hari Kamis Kelabu; “Sejarah Wafatnya Rasulullah Saaw”
Sebelum meninggal dunia, Rasulullah saw. melihat pentingnya memperkokoh baiat terhadap washî dan pintu kota ilmunya yang telah terlaksana di Ghadir Khum untuk menutup kesempatan bagi para pengkhianat. Ia saw. berkata: “Ambilkan secarik kertas dan pena untukku. Aku akan menulis untuk kalian sebuah wasiat agar kalian tidak tersesat untuk selamanya.”
Betapa besar nikmat tersebut bagi kaum muslimin. Karena hal itu adalah sebuah jaminan dari penghulu alam, Rasulullah saw. bahwa umat manusia tidak akan tersesat sepeninggalannya. Mereka senantiasa dapat berjalan di atas jalan lurus yang tidak tercerabuti oleh penyimpangan sedikit pun. Wasiat apakah yang dapat menjamin petunjuk dan kebaikan bagi umat Islam itu? Wasiat itu tidak lain adalah kepemimpinan Ali as. atas umat manusia sepeninggalnya.
Sebagian sahabat mengetahui bahwa Nabi Muhammad saw. bermaksud ingin menulis wasiat mengenai kekhalifahan Ali as. sepeninggalnya. Oleh karena itu, mereka menolak permintaannya itu sembari berteriak: “Cukup bagi kita kitab Allah!”
Setiap orang yang merenungkan penolakan tersebut pasti mengetahui apa maksud ucapan itu. Sahabat yang menolak itu merasa yakin bahwa Nabi saw. akan mengangkat Imam Ali as. sebagai khalifah sepeninggalnya melalui wasiat tersebut. Seandainya sahabat itu tahu bahwa ia hanya ingin berwasiat supaya perbatasan-perbatasan wilayah negara Islam dijaga atau ajaran-ajaran agama Islam diperhatikan, pasti ia tidak akan menolak permintaannya seberani itu.
Yang jelas, ketika itu terjadi keributan di antara orang-orang yang hadir di rumah Rasulullah saw. Sekelompok dari mereka berusaha agar permintaannya itu segera dilaksanakan. Sementara sekelompok yang lain berusaha menghalanginya menulis wasiat tersebut. Beberapa Ummul Mukminin dan para wanita yang lain melawan sikap para penentang yang telah berani menghalang-halanginya di saat-saat terakhir Hayâhnya itu. Mereka berkata dengan nada protes: “Tidakkah kalian mendengar ucapan Rasulullah saw.? Tidakkah kalian ingin melaksanakan keinginan Rasulullah saw.?”
Khalifah Umar, dalang dan otak penentangan itu, bangkit dan berteriak kepada para wanita itu. Ia berkata: “Sungguh kalian adalah wanita-wanita yusuf. Apabila ia sakit, kalian hanya bisa menangis. Dan Jika ia sehat, kalian senantiasa membebaninya”.
Mendengar teriakan itu, Rasulullah saw. berkata seraya membidikkan pandangan matanya yang tajam ke arah Umar: “Biarkan para wanita itu. Sungguh mereka lebih baik dibandingkan dengan kalian semua!”
Pertikaian di antara orang-orang yang hadir pun bertambah sengit. Hampir saja kelompok yang mendukung Nabi saw. untuk menulis wasiat itu memenangkan pertikaian. Tetapi seorang penentang segera bangkit dan membidikkan panahnya untuk menghancurkan taktiknya. Orang itu berkata: “Sesungguhnyanya sedang mengigau.”
Betapa lancangnya orang itu berkata demikian kepada Rasulullah saw. dan sungguh berani ia menentang poros kenabian. Dia berani mengatakan bahwa Rasulullah saw. sedang mengigau, padahal Al-Qur’an berfirman: “Sahabat kalian itu tidak tersesat dan juga tidak menyimpang. Dia tidak berbicara atas dasar hawa nafsu, melainkan atas dasar wahyu yang diturunkan kepadanya. Dia dididik oleh Dzat Yang Maha Perkasa.” (QS. An-Najm [53]:2-5).
Nabi Muhammad saw. mengigau? Padahal Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya itu adalah ucapan seorang rasul yang mulia, yang memiliki kekuatan di sisi ‘Arsy yang tersembunyi.” (QS. At-Takwîr [81]:19-20)
Kita harus melihat peristiwa tersebut secara obyektif dan dengan kesadaran yang bukan penuh, bukan dengan perasaan dan emosi. Karena hal itu berkaitan erat dengan realitas agama kita dan dapat mengungkap bagi kita suatu realitas yang menunjukkan tipu daya musuh terhadap Islam.
Ala kulli hal, taktkala Ibn Abbâs, panutan umat yang alim itu, menyebutkan peristiwa yang mengenaskan itu, hatinya pilu bak tersayat sembilu dan melinangkan air mata bagaikan butiran-butiran permata. Dia berkata: “Hari Kamis! Oh betapa memilukan tragedi hari Kamis. Pada hari Kamis itu Rasulullah saw. bersabda: ‘Ambilkan kertas dan pena untukku. Aku ingin menulis sebuah wasiat untuk kalian, agar kalian tidak akan tersesat selama-lamanya.’ Tetapi mereka berkata: ‘Sesungguhnya Rasulullah sedang mengigau.’”
Satu-satunya kemungkinan yang bisa kita ungkapkan berkenaan dengan masalah ini adalah sekiranya Rasulullah saw. sempat menulis wasiat berkenaan dengan hak Imam Ali as. itu, wasiat itu tidak akan bermanfaat sama sekali. Mereka akan menuduhnya saw. sedang mengigau dan tidak sadarkan diri. Padahal tuduhan semacam ini adalah sebuah tikaman yang sangat telak atas kesucian kenabian.
Rasulullah saw. Menghadap ke Haribaan Ilahi
Kini tiba saatnya manifestasi kelembutan Ilahi itu harus berangkat ke langit yang tinggi. Kini tiba saatnya cahaya yang menerangi alam semesta ini harus pindah ke haribaan suci Ilahi. Malaikat maut telah mendekat menghampirinya saw. untuk menerima roh yang agung itu. Pada saat itu, ia saw. menoleh ke washî dan pintu kota ilmunya. Ia saw. bersabda: “Letakkanlah kepalaku di atas pangkuanmu. Utusan Allah telah tiba. Apabila rohku telah keluar, maka raih roh itu dan usaplah wajahmu dengannya. Kemudian hadapkanlah aku ke arah kiblat, uruslah jenazahku, dan salatilah aku. Engkaulah orang pertama yang menyalatiku. Janganlah engkau tinggalkan aku hingga engkau kuburkan aku di dalam tanah, dan mintalah bantuan kepada Allah swt.”
Imam Ali as. segera meraih kepala Rasulullah saw. dan meletakkan kepala suci itu di atas pangkuannya, lalu ia meletakkan tangan kanannya di bawah dagunya. Tidak lama kemudian, roh Rasulullah saw. yang agung pun berangkat. Imam Ali mengusap wajahnya dengan rohnya itu.
Bumi bergoncang dan cahaya keadilan pun lenyap. Oh, betapa hari-hari yang panjang ini penuh dengan kesedihan, hari yang gelap gulita tidak ada tandingannya. Telah sirna mimpi-mimpi kaum muslimin. Kaum wanita Madinah pun keluar sambil menampar-nampar pipi mereka. Suara duka dan kesedihan mereka terdengar nyaring. Para Ummul Mukminin menghempaskan jilbab-jilbab dari atas kepala sembari memukul-mukul dada. Sementara tenggorokan kaum wanita Anshar parau karena berteriak histris.
Di antara keluarga Rasulullah saw. yang paling terpukul dan sedih adalah buah hati dan putri semata wayangnya, Sayyidah Az-Zahrâ’ as. Ia merebahkan diri ke atas jenazah ayahanda tercinta sembari berkata dengan suara yang pilu: “Oh, ayahku! Oh, nabi rahmatku! Kini wahyu tak ‘kan datang lagi. Kini terputuslah hubungan kami dengan Jibril. Ya Allah, susulkanlah rohku dengan rohnya. Berikanlah aku syafaat untuk dapat melihat wajahnya. Janganlah Engkau halangi aku untuk memperoleh pahala dan syafaatnya pada Hari Kiamat kelak.”
Az-Zahrâ’ as. berjalan mondar-mandir di seputar jenazah ayahandanya yang agung itu dengan duka yang mendalam. Peristiwa itu telah membungkam lidahnya. Ia hanya dapat berkata: “Oh, ayahku! Kepada Jibril aku menyampaikan bela sungkawa ini. Oh, ayahku! Surga Firdaus tempat ia berteduh. Oh, ayahku! Ia telah memenuhi panggilan Tuhan yang telah memanggilnya.”
Kewafatan ayahanda tercinta telah membuat Sayyidah Az-Zahrâ’ bisu bagaikan mayat yang tak bernyawa lagi. Betapa sedihnya Az-Zahra as., buah hati Rasulullah saw. itu.
Menangani Proses Pemakaman Jenazah yang Agung
Imam Ali as. menangani proses pemakaman jenazah saudara dan putra pamannya itu sambil mencucurkan air mata yang deras. Ali as. memandikan jasad yang suci itu sambil berkata dengan suara yang lirih: “Demi ayah dan ibuku, ya Rasulullah, dengan kepergianmu ini telah terputus kenabian dan berita langit yang tidak pernah terputus dengan kematian orang lain selainmu. Engkau dikhususkan (dengan kenabian) sehingga engkau senantiasa menjadi pelipur lara bagi orang lain, dan missimu bersifat umum sehingga seluruh manusia sama di hadapanmu. Sekiranya engkau tidak menyuruhku untuk bersabar dan tidak melarangku untuk berkeluh-kesah, niscaya telah kutumpahkan seluruh kesedihanku, problem pun berkepanjangan, dan kesedihan pun berkelanjutan.”
Setelah selesai memandikan jasad Rasulullah saw., Ali as. mengkafaninya dan meletakkan jazad mulia itu di atas keranda untuk dimakamkan.
Menyalati Jenazah Rasulullah saw.
Orang pertama yang menyalati jenazah Rasulullah saw. yang suci adalah Allah swt. di atas ‘Arsy-Nya, kemudian Jibril as., kemudian Israfil as., dan kemudian para malaikat serombongan demi serombongan. Setelah itu, kaum muslimin berbondong-bondong menyalati jenazah nabi mereka. Imam Ali as. berkata: “Tak seorang pun yang menjadi imam dalam salat ini. Ia adalah imam kalian, baik ketika hidup maupun setelah wafat.”
Mereka masuk ke dalam ruangan sekelompok demi sekelompok dan menyalati jenazahnya dengan berbaris tanpa imam. Salat tersebut dilakukan secara khusus. Imam Ali as. membacakan bacaan-bacaan salat, sementara mereka mengikuti bacaan terebut.
Bacaan itu adalah:
Sementara seluruh masyarakat yang menyalatinya itu mengucapkan: “Amîn.”
Kaum muslimin berjalan melalui jenazah nabi yang agung itu sembari menatapnya dengan kesedihan dan rasa duka yang sangat dalam. Mereka kini telah kehilangan penyelamat dan pembimbing. Pembangun negara dan peradAbân yang tinggi itu telah wafat meninggalkan mereka.
Menguburkan Jenazah Rasulullah saw.
Seusai kaum muslimin menyalati jenazah Rasulullah saw., Imam Ali as. menggali kuburan untuknya. Setelah itu, ia menguburkan jenazah saudaranya itu.
Kekuatan Ali telah melemah. Ia berdiri di pinggiran kubur sembari menutupi kuburan itu dengan tanah dengan disertai linangan air mata. Ia mengeluh: “Sesungguhnya sabar itu indah, kecuali terhadapmu. Sesungguhnya berkeluh-kesah itu buruk, kecuali atas dirimu. Sesungguhnya musibah atasmu sangat besar. Dan sesungguhnya sebelum dan sesudahmu terdapat peristiwa besar.”
Pada hari bersejarah itu, bendera keadilan telah terlipat di alam kesedihan, tonggak-tonggak kebenaran telah roboh, dan cahaya yang telah menyinari alam telah lenyap. Beliaulah yang telah berhasil mengubah perjalanan hidup umat manusia dari kezaliman yang gelap gulita kepada kehidupan sejahtera yang penuh dengan peradAbân dan keadilan. Dalam kehidupan ini, suara para tiran musnah dan jeritan orang-orang jelata mendapat perhatian. Seluruh karunia Allah terhampar luas untuk hamba-hamba-Nya dan tak seorang pun memiliki kesempatan untuk menimbun harta untuk kepentingannya sendiri
.
Sejarah Peristiwa Saqifah Bani Sa’idah
Dalam sejarah dunia Islam, muslimin tidak pernah menghadapi tragedi yang sangat berat sebagai cobaan dalam kehidupan mereka seberat peristiwa Tsaqîfah yang telah menyulut api fitnah di antara mereka dan membuka pintu kehancuran bagi kehidupan mereka.
Kaum Anshar telah melangsungkan muktamar di Tsaqîfah Bani Sâ’idah pada hari Rasulullah saw. wafat. Muktamar itu dihadiri oleh dua kubu, suku Aus dan Khazraj. Mereka berusaha mengatur siasat supaya kekhalifahan tidak keluar dari kalangan mereka. Mereka tidak ingin muktamar tersebut diikuti oleh kaum Muhajirin yang secara terus terang telah menolak untuk membaiat Imam Ali as. yang telah dikukuhkan oleh Rasulullah saw. sebagai khalifah dan pemimpin umat pada peristiwa Ghadir Khum.
Mereka tidak ingin bila kenabian dan kekhalifahan berkumpul di satu rumah, sebagaimana sebagian pembesar mereka juga pernah menentang Rasulullah saw. untuk menulis wasiat berkenaan dengan hak Ali as. Ketika itu mereka melontarkan tuduhan bahwa Rasulullah saw. sedang mengigau sehingga mereka pun berhasil melakukan makar tersebut.
Ala kulli hal, kaum Anshar merupakan tulang punggung bagi kekuatan bersenjata pasukan Rasulullah saw. dan mereka pernah menebarkan kesedihan dan duka di rumah-rumah kaum Quraisy yang kala itu hendak melakukan perlawanan terhadap Rasulullah saw. Ketika itu orang-orang Quraisy betul-betul merasa dengki terhadap kaum Anshar. Oleh karena itu, kaum Anshar segera mengadakan muktamar, karena khawatir terhadap kaum Muhajirin.
Hubâb bin Munzdir berkata: “Kami betul-betul merasa khawatir bila kalian diperintah oleh orang-orang yang anak-anak, nenek moyang, dan saudara-saudara mereka telah kita bunuh.”.
Kekhawatiran Hubbâb itu ternyata menjadi kenyataan. Setelah usia pemerintahan para khalifah usai, dinasti Bani kaum Umayyah berkuasa. Mereka berusaha untuk merendahkan dan menghinakan mereka. Mu’âwiyah telah berbuat zalim dan kejam. Ketika Yazîd bin Mu’âwiyah memerintah, ia juga bertindak sewenang-wenang dan menghancurkan kehormatan mereka dengan berbagai macam siksa dan kejahatan. Yazîd menghalalkan harta, darah, dan kehormatan mereka pada tragedi Harrah. Sejarah tidak pernah menyaksikan kekejian dan kekezaman semacam itu.
Ala kulli hal, pada muktamar Tsaqîfah tersebut, kaum Anshar mencalonkan Sa’d sebagai khalifah, kecuali Khudhair bin Usaid, pemimpin suku Aus. Ia enggan berbaiat kepada Sa’d karena kedengkian yang telah tertanam antara sukunya dan suku Sa’d, Khazraj. Sudah sejak lama, memang hubungan antara kedua suku ini tegang.
‘Uwaim bin Sâ’idah bangkit bersama Ma’n bin ‘Adî, sekutu Anshar, untuk menjumpai Abu Bakar dan Umar. Mereka ingin memberitahukan kepada Abu Bakar dan Umar peristiwa yang sedang berlangsung di Tsaqîfah. Abu Bakar dan Umar terkejut. Mereka segera pergi menuju ke Tsaqîfah secara tiba-tiba. Musnahlah seluruh cita-cita yang telah dirajut oleh kaum Anshar. Wajah Sa’d berubah. Setelah terjadi pertikaian yang tajam antara Abu Bakar dan kaum Anshar, kelompok Abu Bakar segera bangkit untuk membaiatnya. Umar yang bertindak sebagai pahlawan dalam baiat itu telah memainkan peranannya yang aktif dalam ajang pertikaian kekuasaan itu.
Dia menggiring masyarakat untuk membaiat sahabatnya, Abu Bakar. Abu Bakar keluar dari Tsaqîfah diikuti oleh para pendukungnya menuju ke masjid Rasulullah saw. dengan diiringi oleh teriakan suara takbir dan tahlil. Dalam baiat ini, pendapat keluarga Nabi saw. tidak dihiraukan. Begitu pula pendapat para pemuka sahabatnya, seperti Ammâr bin Yâsir, Abu Dzar, Miqdâd, dan sahabat-sahabat yang lain.
Sikap Imam Ali as. Terhadap Pembaiatan Abu Bakar
Para sejarawan dan perawi hadis bersepakat bahwa Imam Ali as. menolak dan tidak menerima pembaiatan atas Abu Bakar. Ia lebih berhak untuk menjadi khalifah. Karena beliaulah orang yang paling dekat dengan Rasulullah saw. Kedudukan Ali as. di sisi Rasulullah saw. adalah seperti kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ as. Islam tegak karena perjuangan dan keberaniannya. Dia mengalami berbagai macam bencana dalam menegakkan Islam. Nabi saw. menjadikan Ali as. sebagai saudaranya. Rasulullah saw. pernah bersabda kepada kaum muslimin: “Barang siapa yang aku adalah pemimpinnya, maka Ali adalah juga pemimpinnya.”
Atas dasar ini, Ali as. menolak untuk membaiat Abu Bakar. Abu Bakar dan Umar telah bersepakat untuk menyeret Ali as. dan memaksanya berbaiat. Umar bin Khaththab bersama sekelompok pengikutnya mengepung rumah Ali as. Umar menakut-nakuti, mengancam, dan menggertak Ali as. dengan menggenggam api untuk membakar rumah wahyu itu.
Buah hati Rasulullah saw. dan penghulu para wanita semesta alam keluar dan bertanya dengan suara lantang: “Hai anak Khaththab, apa yang kamu bawa itu?” Umar menjawab dengan keras: “Yang aku bawa ini lebih hebat daripada yang telah dibawa oleh ayahmu.”
Sangat disayangkan dan menggoncang kalbu setiap muslim! Mereka telah berani bertindak keras seperti itu terhadap Az-Zahrâ’ as., buah hati Rasulullah saw.
Padahal Allah rida karena keridaan Az-Zahrâ’ dan murka karena kemurkaannya. Melihat kelancangan ini, tidak ada yang layak kita ucapkan selain innâ lillâh wa innâ ilaihi râji’ûn.
Akhirnya, mereka memaksa Imam Ali as. keluar dari rumahnya dengan paksa. Para pendukung Khalifah Abu Bakar menyeret Imam Ali as. untuk menghadap dengan pedang terhunus. Mereka berkata dengan lantang: “Baiatlah Abu Bakar! Baiatlah Abu Bakar!”
Imam Ali as. membela diri dengan hujah yang kokoh dan tanpa rasa takut sedikit pun terhadap kekerasan dan kekezaman mereka. Ia berkata: “Aku lebih berhak atas masalah ini daripada kalian. Aku tidak akan membaiat kalian, tetapi kalian sebenarnya yang harus membaiatku. Kalian telah merampas urusan ini dari kaum Anshar dengan alasan bahwa kalian memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi saw.
Tetapi kalian telah menggasab kekhalifahan itu dari kami Ahlul Bait secara paksa. Bukankah kamu telah mengaku di hadapan kaum Anshar bahwa kamu lebih utama dalam urusan ini daripada mereka karena Nabi Muhammad saw. berasal dari kalangan kalian, sehingga mereka rela memberikan dan menyerahkan kepemimpinan itu kepadamu? Kini aku juga ingin berdalih kepadamu seperti kamu berdalih kepada kaum Anshar.
Sesungguhnya aku adalah orang yang lebih utama dan lebih dekat dengan Rasulullah saw., baik Ketika ia masih hidup maupun setelah wafat. Camkanlah ucapanku ini, jika kamu beriman. Jika tidak, maka kamu telah berbuat zalim sedang kamu mengetahuinya.”
Betapa indah hujah dan dalil tersebut. Kaum Muhajirin dapat mengalahkan kaum Anshar lantaran hujah itu, karena mereka merasa memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan Nabi saw. Argumentasi Imam Ali as. lebih tepat, lantaran suku Quraisy yang terdiri dari banyak kabilah dan memiliki hubungan kekeluargaan dengan Nabi saw. itu bukan anak-anak paman atau bibinya. Sementara hubungan kekerabatan antara Nabi saw. dengan Imam Ali as. terjelma dalam bentuk yang paling sempurna. Karena Ali as. adalah sepupu Nabi saw., ayah dua orang cucunya, dan suami untuk putri semata wayangnya.
Walau demikian, Umar tetap memaksa Imam Ali as. Umar berkata: “Berbaiatlah!”
“Jika aku tidak melakukannya?”, tanya Imam Ali pendek.
“Demi Allah yang tiada tuhan selain Dia, jika engkau tidak membaiat, aku akan penggal lehermu”, jawab Umar pendek.
Imam Ali as. diam sejenak. Ia memandang ke arah kaum yang telah disesatkan oleh hawa nafsu dan dibutakan oleh cinta kekuasaan itu. Imam Ali as. melihat tidak ada orang yang akan menolong dan membelanya dari kejahatan mereka. Akhirnya ia menjawab dengan nada sedih: “Jika demikian, kamu telah membunuh hamba Allah dan saudara Rasulullah.”
Umar segera menimpali dengan berang: “Membunuh hamba Allah, ya. Tetapi saudara Rasulullah, tidak.”
Umar telah lupa dengan sabda Rasulullah saw. bahwa Imam Ali as. adalah saudaranya, pintu kota ilmunya, dan kedudukannya di sisinya adalah sama dengan kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ as. Ali as. adalah pejuang pertama Islam. Semua realita dan keutamaan itu telah dilupakan dan diingkari oleh Umar.
Kemudian Umar menoleh ke arah Abu Bakar seraya menyuruhnya untuk mengingkari hal itu. Umar berkata kepada Abu Bakar: “Mengapa engkau tidak menggunakan kekuasaanmu untuk memaksanya?”
Abu Bakar takut fitnah dan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Dia akhirnya menentukan sikap: “Aku tidak akan memaksanya, selama Fathimah berada di sisinya.”
khirnya mereka membebaskan Imam Ali as. Ia berlari-lari menuju ke makam saudaranya, Rasulullah saw. untuk mengadukan cobaan dan aral yang sedang menimpanya. Ia menangis tersedu-sedu seraya berkata: “Wahai putra ibuku, sesungguhnya kaum ini telah meremehkanku dan hampir saja mereka membunuhku.”
Mereka telah meremehkan Imam Ali as. dan mengingkari wasiat-wasiat Nabi saw. berkenaan dengan dirinya. Setelah itu ia kembali ke rumah dengan hati yang hancur luluh dan sedih. Benar telah terjadi apa yang telah diberitakan oleh Allah swt. akan terjadi pada umat Islam setelah Rasulullah saw. wafat. Mereka kembali kepada kekufuran. Allah swt. berfirman: “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul; sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.
Apakah jika ia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun ….” (QS. ?li ‘Imrân [3]:144).
Sungguh mereka telah kembali kepada kekufuran, kekufuran yang dapat menghancurkan iman dan harapan-harapan mereka. Innâ lillâh wa innâ ilaihi râji’ûn.
Kita tutup lembaran peristiwa-peristiwa yang mengenaskan dan segala kebijakan pemerintah Abu Bakar yang tiran terhadap keluarga Nabi saw. ini, seperti merampas tanah Fadak, menghapus khumus, dan kebijakan-kebijakan yang lain. Seluruh peristiwa ini telah kami jelaskan secara rinci dalam Mawsû’ah Al-Imam Amiril Mukminin as
.
Shohihkah Riwayat Sejarah Pembakaran Rumah Fathimah as?
[Studi Kritis Riwayat Ancaman Pembakaran Rumah Ahlul Bait: Membantah Para Nashibi]
Kebencian yang besar terhadap Syiah membuat mereka tidak bisa
berpikir dengan objektif bahkan siapapun orangnya yang membela Ahlul
Bait dan menyalahkan sahabat mereka tuduh sebagai Syiah. Orang seperti
mereka cukup untuk dikatakan sebagai nashibi atau neo nashibi.
Ada beberapa situs baik yang indo maupun English berusaha membuat bantahan terhadap riwayat ancaman pembakaran rumah Ahlul Bait. Bantahan mandul bergaya “pengacara urakan” mencari-cari pembelaan yang tidak ilmiah. Ada tiga situs yang akan kami bahas:
Lihat Perkataan Wahabi disini:
Peristiwa Tsaqîfah yang telah menyulut api fitnah di antara mereka dan membuka pintu kehancuran.
The Garden Used To Be The Tsaqifah Bani Sa’adah.
Tsaqifah Bani Saidah
.Tragedi Hari Kamis Kelabu; “Sejarah Wafatnya Rasulullah Saaw”
Sebelum meninggal dunia, Rasulullah saw. melihat pentingnya memperkokoh baiat terhadap washî dan pintu kota ilmunya yang telah terlaksana di Ghadir Khum untuk menutup kesempatan bagi para pengkhianat. Ia saw. berkata: “Ambilkan secarik kertas dan pena untukku. Aku akan menulis untuk kalian sebuah wasiat agar kalian tidak tersesat untuk selamanya.”
Betapa besar nikmat tersebut bagi kaum muslimin. Karena hal itu adalah sebuah jaminan dari penghulu alam, Rasulullah saw. bahwa umat manusia tidak akan tersesat sepeninggalannya. Mereka senantiasa dapat berjalan di atas jalan lurus yang tidak tercerabuti oleh penyimpangan sedikit pun. Wasiat apakah yang dapat menjamin petunjuk dan kebaikan bagi umat Islam itu? Wasiat itu tidak lain adalah kepemimpinan Ali as. atas umat manusia sepeninggalnya.
Sebagian sahabat mengetahui bahwa Nabi Muhammad saw. bermaksud ingin menulis wasiat mengenai kekhalifahan Ali as. sepeninggalnya. Oleh karena itu, mereka menolak permintaannya itu sembari berteriak: “Cukup bagi kita kitab Allah!”
Setiap orang yang merenungkan penolakan tersebut pasti mengetahui apa maksud ucapan itu. Sahabat yang menolak itu merasa yakin bahwa Nabi saw. akan mengangkat Imam Ali as. sebagai khalifah sepeninggalnya melalui wasiat tersebut. Seandainya sahabat itu tahu bahwa ia hanya ingin berwasiat supaya perbatasan-perbatasan wilayah negara Islam dijaga atau ajaran-ajaran agama Islam diperhatikan, pasti ia tidak akan menolak permintaannya seberani itu.
Yang jelas, ketika itu terjadi keributan di antara orang-orang yang hadir di rumah Rasulullah saw. Sekelompok dari mereka berusaha agar permintaannya itu segera dilaksanakan. Sementara sekelompok yang lain berusaha menghalanginya menulis wasiat tersebut. Beberapa Ummul Mukminin dan para wanita yang lain melawan sikap para penentang yang telah berani menghalang-halanginya di saat-saat terakhir Hayâhnya itu. Mereka berkata dengan nada protes: “Tidakkah kalian mendengar ucapan Rasulullah saw.? Tidakkah kalian ingin melaksanakan keinginan Rasulullah saw.?”
Khalifah Umar, dalang dan otak penentangan itu, bangkit dan berteriak kepada para wanita itu. Ia berkata: “Sungguh kalian adalah wanita-wanita yusuf. Apabila ia sakit, kalian hanya bisa menangis. Dan Jika ia sehat, kalian senantiasa membebaninya”.
Mendengar teriakan itu, Rasulullah saw. berkata seraya membidikkan pandangan matanya yang tajam ke arah Umar: “Biarkan para wanita itu. Sungguh mereka lebih baik dibandingkan dengan kalian semua!”
Pertikaian di antara orang-orang yang hadir pun bertambah sengit. Hampir saja kelompok yang mendukung Nabi saw. untuk menulis wasiat itu memenangkan pertikaian. Tetapi seorang penentang segera bangkit dan membidikkan panahnya untuk menghancurkan taktiknya. Orang itu berkata: “Sesungguhnyanya sedang mengigau.”
Betapa lancangnya orang itu berkata demikian kepada Rasulullah saw. dan sungguh berani ia menentang poros kenabian. Dia berani mengatakan bahwa Rasulullah saw. sedang mengigau, padahal Al-Qur’an berfirman: “Sahabat kalian itu tidak tersesat dan juga tidak menyimpang. Dia tidak berbicara atas dasar hawa nafsu, melainkan atas dasar wahyu yang diturunkan kepadanya. Dia dididik oleh Dzat Yang Maha Perkasa.” (QS. An-Najm [53]:2-5).
Nabi Muhammad saw. mengigau? Padahal Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya itu adalah ucapan seorang rasul yang mulia, yang memiliki kekuatan di sisi ‘Arsy yang tersembunyi.” (QS. At-Takwîr [81]:19-20)
Kita harus melihat peristiwa tersebut secara obyektif dan dengan kesadaran yang bukan penuh, bukan dengan perasaan dan emosi. Karena hal itu berkaitan erat dengan realitas agama kita dan dapat mengungkap bagi kita suatu realitas yang menunjukkan tipu daya musuh terhadap Islam.
Ala kulli hal, taktkala Ibn Abbâs, panutan umat yang alim itu, menyebutkan peristiwa yang mengenaskan itu, hatinya pilu bak tersayat sembilu dan melinangkan air mata bagaikan butiran-butiran permata. Dia berkata: “Hari Kamis! Oh betapa memilukan tragedi hari Kamis. Pada hari Kamis itu Rasulullah saw. bersabda: ‘Ambilkan kertas dan pena untukku. Aku ingin menulis sebuah wasiat untuk kalian, agar kalian tidak akan tersesat selama-lamanya.’ Tetapi mereka berkata: ‘Sesungguhnya Rasulullah sedang mengigau.’”
Satu-satunya kemungkinan yang bisa kita ungkapkan berkenaan dengan masalah ini adalah sekiranya Rasulullah saw. sempat menulis wasiat berkenaan dengan hak Imam Ali as. itu, wasiat itu tidak akan bermanfaat sama sekali. Mereka akan menuduhnya saw. sedang mengigau dan tidak sadarkan diri. Padahal tuduhan semacam ini adalah sebuah tikaman yang sangat telak atas kesucian kenabian.
Rasulullah saw. Menghadap ke Haribaan Ilahi
Kini tiba saatnya manifestasi kelembutan Ilahi itu harus berangkat ke langit yang tinggi. Kini tiba saatnya cahaya yang menerangi alam semesta ini harus pindah ke haribaan suci Ilahi. Malaikat maut telah mendekat menghampirinya saw. untuk menerima roh yang agung itu. Pada saat itu, ia saw. menoleh ke washî dan pintu kota ilmunya. Ia saw. bersabda: “Letakkanlah kepalaku di atas pangkuanmu. Utusan Allah telah tiba. Apabila rohku telah keluar, maka raih roh itu dan usaplah wajahmu dengannya. Kemudian hadapkanlah aku ke arah kiblat, uruslah jenazahku, dan salatilah aku. Engkaulah orang pertama yang menyalatiku. Janganlah engkau tinggalkan aku hingga engkau kuburkan aku di dalam tanah, dan mintalah bantuan kepada Allah swt.”
Imam Ali as. segera meraih kepala Rasulullah saw. dan meletakkan kepala suci itu di atas pangkuannya, lalu ia meletakkan tangan kanannya di bawah dagunya. Tidak lama kemudian, roh Rasulullah saw. yang agung pun berangkat. Imam Ali mengusap wajahnya dengan rohnya itu.
Bumi bergoncang dan cahaya keadilan pun lenyap. Oh, betapa hari-hari yang panjang ini penuh dengan kesedihan, hari yang gelap gulita tidak ada tandingannya. Telah sirna mimpi-mimpi kaum muslimin. Kaum wanita Madinah pun keluar sambil menampar-nampar pipi mereka. Suara duka dan kesedihan mereka terdengar nyaring. Para Ummul Mukminin menghempaskan jilbab-jilbab dari atas kepala sembari memukul-mukul dada. Sementara tenggorokan kaum wanita Anshar parau karena berteriak histris.
Di antara keluarga Rasulullah saw. yang paling terpukul dan sedih adalah buah hati dan putri semata wayangnya, Sayyidah Az-Zahrâ’ as. Ia merebahkan diri ke atas jenazah ayahanda tercinta sembari berkata dengan suara yang pilu: “Oh, ayahku! Oh, nabi rahmatku! Kini wahyu tak ‘kan datang lagi. Kini terputuslah hubungan kami dengan Jibril. Ya Allah, susulkanlah rohku dengan rohnya. Berikanlah aku syafaat untuk dapat melihat wajahnya. Janganlah Engkau halangi aku untuk memperoleh pahala dan syafaatnya pada Hari Kiamat kelak.”
Az-Zahrâ’ as. berjalan mondar-mandir di seputar jenazah ayahandanya yang agung itu dengan duka yang mendalam. Peristiwa itu telah membungkam lidahnya. Ia hanya dapat berkata: “Oh, ayahku! Kepada Jibril aku menyampaikan bela sungkawa ini. Oh, ayahku! Surga Firdaus tempat ia berteduh. Oh, ayahku! Ia telah memenuhi panggilan Tuhan yang telah memanggilnya.”
Kewafatan ayahanda tercinta telah membuat Sayyidah Az-Zahrâ’ bisu bagaikan mayat yang tak bernyawa lagi. Betapa sedihnya Az-Zahra as., buah hati Rasulullah saw. itu.
Menangani Proses Pemakaman Jenazah yang Agung
Imam Ali as. menangani proses pemakaman jenazah saudara dan putra pamannya itu sambil mencucurkan air mata yang deras. Ali as. memandikan jasad yang suci itu sambil berkata dengan suara yang lirih: “Demi ayah dan ibuku, ya Rasulullah, dengan kepergianmu ini telah terputus kenabian dan berita langit yang tidak pernah terputus dengan kematian orang lain selainmu. Engkau dikhususkan (dengan kenabian) sehingga engkau senantiasa menjadi pelipur lara bagi orang lain, dan missimu bersifat umum sehingga seluruh manusia sama di hadapanmu. Sekiranya engkau tidak menyuruhku untuk bersabar dan tidak melarangku untuk berkeluh-kesah, niscaya telah kutumpahkan seluruh kesedihanku, problem pun berkepanjangan, dan kesedihan pun berkelanjutan.”
Setelah selesai memandikan jasad Rasulullah saw., Ali as. mengkafaninya dan meletakkan jazad mulia itu di atas keranda untuk dimakamkan.
Menyalati Jenazah Rasulullah saw.
Orang pertama yang menyalati jenazah Rasulullah saw. yang suci adalah Allah swt. di atas ‘Arsy-Nya, kemudian Jibril as., kemudian Israfil as., dan kemudian para malaikat serombongan demi serombongan. Setelah itu, kaum muslimin berbondong-bondong menyalati jenazah nabi mereka. Imam Ali as. berkata: “Tak seorang pun yang menjadi imam dalam salat ini. Ia adalah imam kalian, baik ketika hidup maupun setelah wafat.”
Mereka masuk ke dalam ruangan sekelompok demi sekelompok dan menyalati jenazahnya dengan berbaris tanpa imam. Salat tersebut dilakukan secara khusus. Imam Ali as. membacakan bacaan-bacaan salat, sementara mereka mengikuti bacaan terebut.
Bacaan itu adalah:
?لسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَشْهَدُ أَنَّهُ قَدْ بَلَّغَ مَا
أُنْزِلَ إِلَيْهِ، وَ نَصَحَ لِأُمَّتِهِ، وَ جَاهَدَ فِي سَبِيْلِ اللهِ حَتىَّ أَعَزَّ اللهُ دِيْنَهُ وَ تَمَّتْ كَلِمَتُهُ،
اللَّهُمَّ فَاجْعَلْنَا مِمَّنْ يَتَّبِعُ مَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ، وَ ثَبِّتْنَا بَعْدَهُ وَ اجْمَعْ بَيْنَنَا وَ بَيْنَهُ
Salam sejahtera, juga rahmat, dan seluruh berkah Allah untukmu, wahai nabi Allah. Ya Allah, kami bersaksi bahwa ia telah menyampaikan apa yang telah diturunkan kepadanya, telah menasihati umatnya, dan telah berjuang di jalan Allah sehingga Allah memuliakan agama-Nya dan menyempurnakan kalimat-Nya. Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang mengikuti apa yang telah diturunkan kepadanya. Teguhkanlah kami sepeninggalnya dan himpunlah kami dengannya.Sementara seluruh masyarakat yang menyalatinya itu mengucapkan: “Amîn.”
Kaum muslimin berjalan melalui jenazah nabi yang agung itu sembari menatapnya dengan kesedihan dan rasa duka yang sangat dalam. Mereka kini telah kehilangan penyelamat dan pembimbing. Pembangun negara dan peradAbân yang tinggi itu telah wafat meninggalkan mereka.
Menguburkan Jenazah Rasulullah saw.
Seusai kaum muslimin menyalati jenazah Rasulullah saw., Imam Ali as. menggali kuburan untuknya. Setelah itu, ia menguburkan jenazah saudaranya itu.
Kekuatan Ali telah melemah. Ia berdiri di pinggiran kubur sembari menutupi kuburan itu dengan tanah dengan disertai linangan air mata. Ia mengeluh: “Sesungguhnya sabar itu indah, kecuali terhadapmu. Sesungguhnya berkeluh-kesah itu buruk, kecuali atas dirimu. Sesungguhnya musibah atasmu sangat besar. Dan sesungguhnya sebelum dan sesudahmu terdapat peristiwa besar.”
Pada hari bersejarah itu, bendera keadilan telah terlipat di alam kesedihan, tonggak-tonggak kebenaran telah roboh, dan cahaya yang telah menyinari alam telah lenyap. Beliaulah yang telah berhasil mengubah perjalanan hidup umat manusia dari kezaliman yang gelap gulita kepada kehidupan sejahtera yang penuh dengan peradAbân dan keadilan. Dalam kehidupan ini, suara para tiran musnah dan jeritan orang-orang jelata mendapat perhatian. Seluruh karunia Allah terhampar luas untuk hamba-hamba-Nya dan tak seorang pun memiliki kesempatan untuk menimbun harta untuk kepentingannya sendiri
.
Sejarah Peristiwa Saqifah Bani Sa’idah
Dalam sejarah dunia Islam, muslimin tidak pernah menghadapi tragedi yang sangat berat sebagai cobaan dalam kehidupan mereka seberat peristiwa Tsaqîfah yang telah menyulut api fitnah di antara mereka dan membuka pintu kehancuran bagi kehidupan mereka.
Kaum Anshar telah melangsungkan muktamar di Tsaqîfah Bani Sâ’idah pada hari Rasulullah saw. wafat. Muktamar itu dihadiri oleh dua kubu, suku Aus dan Khazraj. Mereka berusaha mengatur siasat supaya kekhalifahan tidak keluar dari kalangan mereka. Mereka tidak ingin muktamar tersebut diikuti oleh kaum Muhajirin yang secara terus terang telah menolak untuk membaiat Imam Ali as. yang telah dikukuhkan oleh Rasulullah saw. sebagai khalifah dan pemimpin umat pada peristiwa Ghadir Khum.
Mereka tidak ingin bila kenabian dan kekhalifahan berkumpul di satu rumah, sebagaimana sebagian pembesar mereka juga pernah menentang Rasulullah saw. untuk menulis wasiat berkenaan dengan hak Ali as. Ketika itu mereka melontarkan tuduhan bahwa Rasulullah saw. sedang mengigau sehingga mereka pun berhasil melakukan makar tersebut.
Ala kulli hal, kaum Anshar merupakan tulang punggung bagi kekuatan bersenjata pasukan Rasulullah saw. dan mereka pernah menebarkan kesedihan dan duka di rumah-rumah kaum Quraisy yang kala itu hendak melakukan perlawanan terhadap Rasulullah saw. Ketika itu orang-orang Quraisy betul-betul merasa dengki terhadap kaum Anshar. Oleh karena itu, kaum Anshar segera mengadakan muktamar, karena khawatir terhadap kaum Muhajirin.
Hubâb bin Munzdir berkata: “Kami betul-betul merasa khawatir bila kalian diperintah oleh orang-orang yang anak-anak, nenek moyang, dan saudara-saudara mereka telah kita bunuh.”.
Kekhawatiran Hubbâb itu ternyata menjadi kenyataan. Setelah usia pemerintahan para khalifah usai, dinasti Bani kaum Umayyah berkuasa. Mereka berusaha untuk merendahkan dan menghinakan mereka. Mu’âwiyah telah berbuat zalim dan kejam. Ketika Yazîd bin Mu’âwiyah memerintah, ia juga bertindak sewenang-wenang dan menghancurkan kehormatan mereka dengan berbagai macam siksa dan kejahatan. Yazîd menghalalkan harta, darah, dan kehormatan mereka pada tragedi Harrah. Sejarah tidak pernah menyaksikan kekejian dan kekezaman semacam itu.
Ala kulli hal, pada muktamar Tsaqîfah tersebut, kaum Anshar mencalonkan Sa’d sebagai khalifah, kecuali Khudhair bin Usaid, pemimpin suku Aus. Ia enggan berbaiat kepada Sa’d karena kedengkian yang telah tertanam antara sukunya dan suku Sa’d, Khazraj. Sudah sejak lama, memang hubungan antara kedua suku ini tegang.
‘Uwaim bin Sâ’idah bangkit bersama Ma’n bin ‘Adî, sekutu Anshar, untuk menjumpai Abu Bakar dan Umar. Mereka ingin memberitahukan kepada Abu Bakar dan Umar peristiwa yang sedang berlangsung di Tsaqîfah. Abu Bakar dan Umar terkejut. Mereka segera pergi menuju ke Tsaqîfah secara tiba-tiba. Musnahlah seluruh cita-cita yang telah dirajut oleh kaum Anshar. Wajah Sa’d berubah. Setelah terjadi pertikaian yang tajam antara Abu Bakar dan kaum Anshar, kelompok Abu Bakar segera bangkit untuk membaiatnya. Umar yang bertindak sebagai pahlawan dalam baiat itu telah memainkan peranannya yang aktif dalam ajang pertikaian kekuasaan itu.
Dia menggiring masyarakat untuk membaiat sahabatnya, Abu Bakar. Abu Bakar keluar dari Tsaqîfah diikuti oleh para pendukungnya menuju ke masjid Rasulullah saw. dengan diiringi oleh teriakan suara takbir dan tahlil. Dalam baiat ini, pendapat keluarga Nabi saw. tidak dihiraukan. Begitu pula pendapat para pemuka sahabatnya, seperti Ammâr bin Yâsir, Abu Dzar, Miqdâd, dan sahabat-sahabat yang lain.
Sikap Imam Ali as. Terhadap Pembaiatan Abu Bakar
Para sejarawan dan perawi hadis bersepakat bahwa Imam Ali as. menolak dan tidak menerima pembaiatan atas Abu Bakar. Ia lebih berhak untuk menjadi khalifah. Karena beliaulah orang yang paling dekat dengan Rasulullah saw. Kedudukan Ali as. di sisi Rasulullah saw. adalah seperti kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ as. Islam tegak karena perjuangan dan keberaniannya. Dia mengalami berbagai macam bencana dalam menegakkan Islam. Nabi saw. menjadikan Ali as. sebagai saudaranya. Rasulullah saw. pernah bersabda kepada kaum muslimin: “Barang siapa yang aku adalah pemimpinnya, maka Ali adalah juga pemimpinnya.”
Atas dasar ini, Ali as. menolak untuk membaiat Abu Bakar. Abu Bakar dan Umar telah bersepakat untuk menyeret Ali as. dan memaksanya berbaiat. Umar bin Khaththab bersama sekelompok pengikutnya mengepung rumah Ali as. Umar menakut-nakuti, mengancam, dan menggertak Ali as. dengan menggenggam api untuk membakar rumah wahyu itu.
Buah hati Rasulullah saw. dan penghulu para wanita semesta alam keluar dan bertanya dengan suara lantang: “Hai anak Khaththab, apa yang kamu bawa itu?” Umar menjawab dengan keras: “Yang aku bawa ini lebih hebat daripada yang telah dibawa oleh ayahmu.”
Sangat disayangkan dan menggoncang kalbu setiap muslim! Mereka telah berani bertindak keras seperti itu terhadap Az-Zahrâ’ as., buah hati Rasulullah saw.
Padahal Allah rida karena keridaan Az-Zahrâ’ dan murka karena kemurkaannya. Melihat kelancangan ini, tidak ada yang layak kita ucapkan selain innâ lillâh wa innâ ilaihi râji’ûn.
Akhirnya, mereka memaksa Imam Ali as. keluar dari rumahnya dengan paksa. Para pendukung Khalifah Abu Bakar menyeret Imam Ali as. untuk menghadap dengan pedang terhunus. Mereka berkata dengan lantang: “Baiatlah Abu Bakar! Baiatlah Abu Bakar!”
Imam Ali as. membela diri dengan hujah yang kokoh dan tanpa rasa takut sedikit pun terhadap kekerasan dan kekezaman mereka. Ia berkata: “Aku lebih berhak atas masalah ini daripada kalian. Aku tidak akan membaiat kalian, tetapi kalian sebenarnya yang harus membaiatku. Kalian telah merampas urusan ini dari kaum Anshar dengan alasan bahwa kalian memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi saw.
Tetapi kalian telah menggasab kekhalifahan itu dari kami Ahlul Bait secara paksa. Bukankah kamu telah mengaku di hadapan kaum Anshar bahwa kamu lebih utama dalam urusan ini daripada mereka karena Nabi Muhammad saw. berasal dari kalangan kalian, sehingga mereka rela memberikan dan menyerahkan kepemimpinan itu kepadamu? Kini aku juga ingin berdalih kepadamu seperti kamu berdalih kepada kaum Anshar.
Sesungguhnya aku adalah orang yang lebih utama dan lebih dekat dengan Rasulullah saw., baik Ketika ia masih hidup maupun setelah wafat. Camkanlah ucapanku ini, jika kamu beriman. Jika tidak, maka kamu telah berbuat zalim sedang kamu mengetahuinya.”
Betapa indah hujah dan dalil tersebut. Kaum Muhajirin dapat mengalahkan kaum Anshar lantaran hujah itu, karena mereka merasa memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan Nabi saw. Argumentasi Imam Ali as. lebih tepat, lantaran suku Quraisy yang terdiri dari banyak kabilah dan memiliki hubungan kekeluargaan dengan Nabi saw. itu bukan anak-anak paman atau bibinya. Sementara hubungan kekerabatan antara Nabi saw. dengan Imam Ali as. terjelma dalam bentuk yang paling sempurna. Karena Ali as. adalah sepupu Nabi saw., ayah dua orang cucunya, dan suami untuk putri semata wayangnya.
Walau demikian, Umar tetap memaksa Imam Ali as. Umar berkata: “Berbaiatlah!”
“Jika aku tidak melakukannya?”, tanya Imam Ali pendek.
“Demi Allah yang tiada tuhan selain Dia, jika engkau tidak membaiat, aku akan penggal lehermu”, jawab Umar pendek.
Imam Ali as. diam sejenak. Ia memandang ke arah kaum yang telah disesatkan oleh hawa nafsu dan dibutakan oleh cinta kekuasaan itu. Imam Ali as. melihat tidak ada orang yang akan menolong dan membelanya dari kejahatan mereka. Akhirnya ia menjawab dengan nada sedih: “Jika demikian, kamu telah membunuh hamba Allah dan saudara Rasulullah.”
Umar segera menimpali dengan berang: “Membunuh hamba Allah, ya. Tetapi saudara Rasulullah, tidak.”
Umar telah lupa dengan sabda Rasulullah saw. bahwa Imam Ali as. adalah saudaranya, pintu kota ilmunya, dan kedudukannya di sisinya adalah sama dengan kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ as. Ali as. adalah pejuang pertama Islam. Semua realita dan keutamaan itu telah dilupakan dan diingkari oleh Umar.
Kemudian Umar menoleh ke arah Abu Bakar seraya menyuruhnya untuk mengingkari hal itu. Umar berkata kepada Abu Bakar: “Mengapa engkau tidak menggunakan kekuasaanmu untuk memaksanya?”
Abu Bakar takut fitnah dan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Dia akhirnya menentukan sikap: “Aku tidak akan memaksanya, selama Fathimah berada di sisinya.”
khirnya mereka membebaskan Imam Ali as. Ia berlari-lari menuju ke makam saudaranya, Rasulullah saw. untuk mengadukan cobaan dan aral yang sedang menimpanya. Ia menangis tersedu-sedu seraya berkata: “Wahai putra ibuku, sesungguhnya kaum ini telah meremehkanku dan hampir saja mereka membunuhku.”
Mereka telah meremehkan Imam Ali as. dan mengingkari wasiat-wasiat Nabi saw. berkenaan dengan dirinya. Setelah itu ia kembali ke rumah dengan hati yang hancur luluh dan sedih. Benar telah terjadi apa yang telah diberitakan oleh Allah swt. akan terjadi pada umat Islam setelah Rasulullah saw. wafat. Mereka kembali kepada kekufuran. Allah swt. berfirman: “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul; sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.
Apakah jika ia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun ….” (QS. ?li ‘Imrân [3]:144).
Sungguh mereka telah kembali kepada kekufuran, kekufuran yang dapat menghancurkan iman dan harapan-harapan mereka. Innâ lillâh wa innâ ilaihi râji’ûn.
Kita tutup lembaran peristiwa-peristiwa yang mengenaskan dan segala kebijakan pemerintah Abu Bakar yang tiran terhadap keluarga Nabi saw. ini, seperti merampas tanah Fadak, menghapus khumus, dan kebijakan-kebijakan yang lain. Seluruh peristiwa ini telah kami jelaskan secara rinci dalam Mawsû’ah Al-Imam Amiril Mukminin as
.
Shohihkah Riwayat Sejarah Pembakaran Rumah Fathimah as?
[Studi Kritis Riwayat Ancaman Pembakaran Rumah Ahlul Bait: Membantah Para Nashibi]
Wahabi dan orang-orang yang terinfeksi virus Nashibi selalu tidak
henti-hentinya menyebarkan syubhat untuk menyudutkan Ahlul Bait. Demi
membela sahabat pujaan mereka [entah mungkin karena sikap ghuluw] mereka
membuat syubhat membuat bantahan mandul yang menunjuk kan rendahnya
kualitas ilmu dan akal.
Ada beberapa situs baik yang indo maupun English berusaha membuat bantahan terhadap riwayat ancaman pembakaran rumah Ahlul Bait. Bantahan mandul bergaya “pengacara urakan” mencari-cari pembelaan yang tidak ilmiah. Ada tiga situs yang akan kami bahas:
Lihat Perkataan Wahabi disini:
Dalam rangka menghujat para sahabat
utama Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam dan dalam rangka menyebarkan image
buruk hubungan sahabat dan ahlul bait sesaat setelah Nabi shalallahu
‘alaihi wasalam wafat, mereka tak segan-segan mengekspose hadits-hadits
yang tidak ada asalnya atau palsu, diantaranya adalah bahwa Umar telah
menyakiti dengan mendobrak pintu rumah Fatimah sehingga tulang rusuknya
patah dan janin-nya keguguran, atau Umar telah menyiapkan kayu bakar di
depan pintu rumah Fatimah dan lain-lain, padahal itu semua adalah
riwayat-riwayat yang jelas lemah bahkan palsu.
Tetapi bukti-bukti kepalsuan
riwayat-riwayat tersebut tidaklah menghentikan usaha mereka untuk terus
mengkais-kais riwayat-riwayat dari kitab-kitab referensi Ahlus Sunnah
yang sekiranya bisa cocok dengan keyakinan mereka. Salah satunya adalah
seorang syi’ah, atau bisa dikatakan simpatisan syi’ah (karena tidak mau
mengakui kesyi’ahannya) menukil sebuah riwayat dari Al-Mushannaf Ibnu
Abi Syaibah yang merupakan salah satu literatur Sunni, dan dengan
menukil riwayat ini dia ingin mengatakan bahwa Umar telah berlaku buruk
terhadap keluarga Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam yaitu mengancam akan
membakar rumah Fatimah.
حدثنا : محمد بن بشر ، نا : عبيد الله بن
عمر ، حدثنا : زيد بن أسلم ، عن أبيه أسلم : أنه حين بويع لأبي بكر بعد
رسول الله (ص) كان علي والزبير يدخلان على فاطمة بنت رسول الله (ص)
فيشاورونها ويرتجعون في أمرهم ، فلما بلغ ذلك عمر بن الخطاب خرج حتى دخل
على فاطمة ، فقال : يا بنت رسول الله (ص) ، والله ما من أحد أحب إلينا من
أبيك ، وما من أحد أحب إلينا بعد أبيك منك ، وأيم الله ما ذاك بمانعي إن
إجتمع هؤلاء النفر عندك ، أن أمرتهم أن يحرق عليهم البيت ، قال : فلما خرج
عمر جاءوها فقالت : تعلمون أن عمر قد جاءني وقد حلف بالله لئن عدتم ليحرقن
عليكم البيت وأيم الله ليمضين لما حلف عليه ، فإنصرفوا راشدين ، فروا رأيكم
ولا ترجعوا إلي ، فإنصرفوا عنها فلم يرجعوا إليها حتى بايعوا لأبي بكر
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Bisyr telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Umar
telah menceritakan kepada kami Zaid bin Aslam dari Aslam Ayahnya yang
berkata ”Ketika Bai’ah telah diberikan kepada Abu Bakar setelah
kewafatan Rasulullah SAW. Ali dan Zubair sedang berada di dalam rumah
Fatimah bermusyawarah dengannya mengenai urusan mereka. Sehingga ketika
Umar menerima kabar ini Ia bergegas ke rumah Fatimah dan berkata ”Wahai
Putri Rasulullah SAW setelah Ayahmu tidak ada yang lebih aku cintai
dibanding dirimu tetapi aku bersumpah jika orang-orang ini berkumpul di
rumahmu maka tidak ada yang dapat mencegahku untuk memerintahkan
membakar rumah tersebut bersama mereka yang ada di dalamnya”. Ketika
Umar pergi, mereka datang dan Fatimah berbicara kepada mereka “tahukah
kalian kalau Umar datang kemari dan bersumpah akan membakar rumah ini
jika kalian kemari. Aku bersumpah demi Allah ia akan melakukannya jadi
pergilah dan jangan berkumpul disini”. Oleh karena itu mereka pergi dan
tidak berkumpul disana sampai mereka membaiat Abu Bakar. (Al Mushannaf
Ibnu Abi Syaibah jilid 7 hal 432 riwayat no 37045).
Mari kita perhatikan riwayat di atas,
ada beberapa poin yang seharusnya diperhatikan jika kita mau
mendasarkan pada riwayat di atas dan justru diantaranya menyerang klaim
syi’ah dengan sendirinya tanpa mereka sadari :
- Saat Bai’at umat kepada Abu Bakar, diberitakan Ali dan Zubair sedang berada di rumah Fatimah membicarakan tentang urusan mereka, dan hal ini yang terdengar oleh Umar. Dan hal ini adalah sesuatu yang keliru menurut Umar, karena seharusnya mereka segera ikut membai’at Abu Bakar dimana hampir semua kaum muslimin telah membai’at Abu Bakar hari itu.
- Orang yang paling dicintai Umar setelah Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam adalah Fatimah, ini menggugurkan klaim syi’ah secara telak, yaitu tidak mungkin seseorang akan menyakiti seseorang yang paling dia cintai
- Umar yang memiliki sifat yang tegas dan keras mengingatkan Ali dan Zubair melalui Fatimah, dan sama sekali tidak sedang mengancam pribadi Fatimah, hal ini bisa diketahui dari perkataan Umar kepada Fatimah “maka tidak ada yang dapat mencegahku untuk memerintahkan membakar rumah tersebut bersama mereka yang ada di dalamnya” kata yang dipakai ‘Alaihim’ dan bukan ‘Alaikum’ ” أن يحرق عليهم البيت ”. Dan kenyataannya Umar tidak pernah melakukan apa yang diucapkan-nya tersebut, Dan kenyataannya Ali dan Zubair sedang tidak ada di rumah Fatimah saat itu.
- Fakta yang begitu jelas dari riwayat tersebut adalah Ali dan Zubair melakukan bai’at kepada Abu Bakar di hari pembai’atan kaum Muslimin, hal ini juga menggugurkan klaim syi’ah bahwa Ali hanya baru memba’iat Abu Bakar setelah 6 bulan setelah kewafatan Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam.
Jika orang syi’ah ingin berhujjah dengan
riwayat di atas untuk mendiskreditkan Umar, maka mau ga mau mereka juga
harus menerima beberapa fakta yang terekam dalam riwayat tersebut yang
menjatuhkan klaim-klaim mereka.
Mungkin akan ada yang menjawab, bahwa
mengenai pembai’atan Imam Ali kepada Abu Bakar dilakukan setelah 6 bulan
berdalilkan riwayat Bukhari dari Aisyah, Kita jawab, berarti riwayat di
atas keliru, kalau begitu tidak usah menjadikan riwayat tersebut
sebagai dalil sama sekali atau kita jawab, apa yang diriwayatkan Aisyah
dalam shahih Bukhari adalah apa yang Aisyah ketahui mengenai bai’at Ali,
bisa jadi Aisyah tidak mengetahui bahwa Ali sudah memba’iat Abu Bakar
di awal-awal, dan bai’at Ali pada bulan ke enam adalah bai’at beliau
kedua untuk mengclearkan permasalahan.
Mungkin akan ada yang mengatakan bahwa
apa yang dilakukan Umar dengan memperingatkan Ali dan Zubair dengan
keras saat itu adalah perbuatan yang buruk dan tidak berdasar, kita
jawab bahwa Umar berlaku tegas seperti itu bisa kita pahami karena
memang terdapat ajaran dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam :
“Barang siapa datang kepada kalian,
sedang ketika itu urusan kalian ada pada satu orang, kemudian ia ingin
membelah tongkat kalian atau memecah-belah jama’ah kalian, maka bunuhlah
ia.” Dalam riwayat lain: “Pukullah ia dengan pedang, siapa pun
orangnya”.
مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمْيْعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ،
فَأَرَادَ أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ ؛
فَاقْتُلُوْهُ. وَفِيْ رِوَايَةٍ : فَاضْرِبُوْهُ بِالسَّيْفِ كَائِنًا
مَنْ كَانَ.
Shahîh. HR Muslim (no. 1852) dari Sahabat ‘Arjafah Radhiyallahu ‘anhu.
Alhamdulillah, Ali dan Zubair bukanlah
orang-orang seperti itu, mereka segera membai’at Abu Bakar pada hari itu
juga. Dan yang lebih menhantam telak klaim syi’ah adalah kemudian Imam
Ali mengambil Umar sebagai menantunya dengan menikahkan anak beliau
dengan Fatimah yaitu Ummu Kultsum dengan Umar bin Khattab radhiyallahu
‘anhum.
Allahu A’lam.
Lihat Perkataan Wahabi disini:
Ancaman pembakaran rumah ahlul bait: Bidasan kepada syiah
Syiah sangat suka menyebarkan fitnah kepada sahabah-sahabah utama nabi s.a.w. Antara sahabah ‘favourite’ mereka ialah Umar r.a.
Segala puji bagi Allah, banyak web-web ahlu sunnah telah berjaya menjawab kekeliruan ini
InsyaAllah, dalam artikel yang ringkas ini. Akan dipermudahkan dan ditambah baikkan jawapan yang telah sedia ada
Kita mulakan dengan melihat kejahatan tohmahan syiah
Syiah katakan :
Ramai
para sahabat yang menentang perlantikan Abu Bakar sebagai khalifah.
Antara yang menentang adalah Ahlulbait(as) dan para syiah mereka, yang
menyebabkan Umar memimpin satu kumpulan orang untuk membuat pengepungan
rumah Imam Ali dan mengugut membakarnya.
Secara ringkasnya, tuduhan jahat syiah di atas boleh dibahagikan kepada dua
a) Ramai para sahabat yang menentang perlantikan Abu Bakar r.a sebagai khalifah
b) Umar r.a memimpin kumpulan untuk membakar rumah Ali r.a
InsyaAllah,
tuduhan (a) akan dijawab dalam artikel yang lain. Hakikatnya, para
sahabah kesemuanya bersepakat dengan perlantikan Abu Bakar r.a. Kita
sedia maklum syiah menggunakan beberapa riwayat sahih kononnya Ali r.a
dan Zubair r.a tidak hadir di saat ba’iah. Sebenarnya, pernyataan ini
bukanlah perkataan Aisya r.a namun ia padangan az-Zuhri. Bahkan terdapat
riwayat-riwayat sahih yang lain menunjukkan Ali r.a dan Zubair r.a
hadir di saat bai’ah. Perinciannya akan dijelaskan dalam artikel yang
lain
Berkenaan
dengan (b), persoalan yang sepatutnya ditanyakan, apakah status riwayat
ini? Apakah konteks sebenar riwayat ini?? Persoalan ini akan dijawab
satu persatu
STATUS RIWAYAT PEMBAKARAN RUMAH AHLUL BAIT
Seperti
mana biasa, syiah akan melonggokkan kesemua riwayat dan tidak
memperdulikan status riwayat. Yang penting bagi mereka, biar sahabah
nabi berjaya dicerca dan dijatuhkan
Syiah katakan:
Ini
adalah satu perkara yang yang menghairankan kerana ia telah
diriwayatkan dalam banyak kitab-kitab pegangan Sunni seperti Tarikh al
Umm wa al Mulk: Ibnu Jarir at Thabari, Al Mushannaf: Ibnu Abi Syaibah,
Ansab al Asyraf: Al Baladzuri, al Isti’ab: Ibnu Abdil Barr, Muruj Adz
Dzahab: Al Mas’udi
Disisi
ahlu sunnah, jumlah rujukan bukanlah hujah sebaliknya kesahihan rujukan
yang dititik beratkan. Dalam rujukan yang diberikan, hanya sebuah
riwayat dari Musannaf Ibnu Abi Syaibah yang boleh dipertanggungjawabkan
statusnya
Riwayat tersebut adalah seperti berikut
حدثنا
محمد بن بشر نا عبيد الله بن عمر حدثنا زيد بن أسلم عن أبيه أسلم أنه حين
بويع لابي بكر بعد رسول الله (ص) كان علي والزبير يدخلان على فاطمة بنت
رسول الله (ص) فيشاورونها ويرتجعون في أمرهم ، فلما بلغ ذلك عمر بن الخطاب
خرج حتى دخل على فاطمة فقال : يا بنت رسول الله (ص) ! والله ما من أحد أحب إلينا من أبيك ، وما من أحد أحب إلينا بعد أبيك منك ، وأيم الله ما ذاك بمانعي إن اجتمع هؤلاء النفر عندك ، إن أمرتهم أن يحرق عليهم البيت ، قال : فلما خرج عمر جاءوها فقالت : تعلمون أن عمر قد جاءني وقد حلف بالله لئن عدتم ليحرقن عليكم البيت وأيم الله ليمضين لما حلف عليه ، فانصرفوا راشدين ، فروا رأيكم ولا ترجعوا إلي ، فانصرفوا عنها فلم يرجعوا إليها حتى بايعوا لابي بكر
Terjemahan: Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Bisyr telah menceritakan kepada
kami Ubaidillah bin Umar telah menceritakan kepada kami Zaid bin Aslam
dari Aslam dari ayahnya yang berkata ”Ketika Bai’ah telah diberikan
kepada Abu Bakar setelah kewafatan Rasulullah SAW. Ali dan Zubair sedang
berada di dalam rumah Fatimah bermusyawarah dengannya mengenai urusan
mereka.
Sehingga ketika Umar menerima khabar ini, ia bergegas ke rumah Fatimah dan berkata ”Wahai
puteri Rasulullah SAW, demi Allah tidaklah dari seorangpun yang lebih
kami cintai daripada ayahmu, dan tidaklah dari seorangpun yang kami
lebih cintai selepas ayahmu daripada kamu tetapi
aku bersumpah jika orang-orang ini berkumpul di rumahmu maka tidak ada
yang dapat mencegahku untuk memerintahkan membakar rumah tersebut
bersama mereka yang ada di dalamnya”.
Ketika
Umar pergi, mereka datang dan Fatimah berbicara kepada mereka “tahukah
kalian kalau Umar datang kemari dan bersumpah akan membakar rumah ini
jika kalian kemari. Aku bersumpah demi Allah ia akan melakukannya jadi
pergilah dan jangan berkumpul disini”. Oleh karena itu mereka pergi dan tidak berkumpul disana sampai mereka membaiat Abu Bakar.
Rujukan: Musannaf Ibnu Abi Syaibah, 8/572, Maktabah Shamela
Syiah
begitu mempertahankan kesahihan riwayat di atas. Maka tidak hairanlah
mereka bertungkus lumus untuk mengkaji perawi-perawinya dari sudut ilmu
rijal
Persoalannya, apakah konteks sebenar yang hadith di atas dan apakah yang gagal dikesan oleh mata jahat syiah?
KONTEKS RIWAYAT PEMBAKARAN RUMAH AHLUL BAIT
Penelitian kepada konteks hadith ini membuahkan beberapa hujah penting
1.
Ali r.a dan Zubair r.a agak lewat dalam memba’aiah Abu Bakar. Berita
ini menyebabkan Umar r.a risau dan menyebabkan dia datang ke rumah
Fatimah r.a untuk memberikan ancaman kepada mereka. Umar r.a khuatir
mereka akan menyebabkan perpecahan di kalangan umat Islam
2. Ancaman Umar r.a tidak memasukkan Fatimah r.a. Lihat semula kepada perkataan yang diboldkan merah
إن أمرتهم أن يحرق عليهم البيت
Terjemahan: Maka tidak ada yang dapat mencegahku untuk memerintahkan membakar rumah tersebut bersama mereka yang ada di dalamnya
Sekiranya Umar r.a ingin membakar Fatimah r.a, maka dah tentu dia akan mengatakan 'Aku akan membakar kamu'
3.
Hadith ini dengan sendirinya menjadi salah satu hujah kukuh bahawa Ali
r.a dan Zubair r.a telah memba’iah Abu Bakar r.a pada hari tersebut dan
bukannya selepas 6 bulan seperti dakwaan syiah
BIDASAN SYIAH
Website syiah tidak bersetuju dengan hujah ini dan memperlekehkannya.
Mereka katakan,'
Hujjah ini benar-benar seperti anak kecil yang baru belajar bicara. Ketika anak kecil diancam oleh orang jahat “berikan uangmu atau aku bakar rumah orangtuamu”. Anak kecilnya tertawa dan berkata “ah bukan aku yang diancam tapi rumah orang tuaku”. Dan sepertinya anak kecil itu lupa kalau ia tinggal di rumah tersebut. Hujjah yang mirip dengan seorang istri yang “aneh” ketika ada orang jahat mengancam “kalau tidak pindah dari rumah ini akan kubakar suamimu” dan istri menjawab “ah ancaman itu bukan untukku tapi untuk suamiku”. Kami bertanya kepada anda wahai “pencari kebenaran” rumah siapa yang anda sebut dalam terjemahan anda “membakar rumah tersebut” dan Siapa orang yang anda katakan “mereka yang ada di dalamnya”?. Adakah Imam Ali termasuk di dalam rumah tersebut?. Adakah Sayyidah Fathimah termasuk di dalam rumah tersebut?. Rumah yang diancam akan dibakar Umar itu adalah rumah tempat mereka Ali Zubair dan orang yang mengikuti keduanya berkumpul yaitu rumah Sayyidah Fathimah. Kami kasihan kalau anda berhujjah dengan gaya seperti itu karena untuk menjawabnya kami terpaksa menjawab dengan penjelasan seperti kami menjelaskan sesuatu kepada anak kecil.
BIDASAN KEPADA SITUS SYIAH
Seperti yang kita lihat, syiah telah memaksakan kata-kata Umar r.a yang mudah. Mereka masih menganggap Fatimah r.a termasuk dalamnya. Ancaman Umar r.a ternyata bukanlah kepada Fatimah tapi kepada Ali dan Zubair r.a. seperti yang dijelaskan sebelumnya
Analogi mereka sendiri membuktikan bahawa anak kecil tidak termasuk dalam ancaman pembakaran rumah orang tuanya. Mereka cuba memberikan analogi jahil seolah-olah menunjukkan anak kecil itu membiarkan sahaja kedua rumah orang tuanya.
Bahkan analogi isteri tersebut tidak kena dengan situasi Fatimah r.a. Apabila suami yang diancam, maka bagaimana isteri boleh terlibat sekali??
Namun mereka cuba mengalihkan analogi ke arah reaksi isteri kepada suami dan juga reaksi anak kecil kepada orang tuanya
Apa yang kami minta mudah, jika Umar r.a sangat ingin membakar Fatimah r.a, mengapa tidak dia menyebutkan pernyataan jelas untuk membakar Fatimah r.a? Ternyata pernyataan tersebut tidak wujud
BIDASAN SYIAH
Website syiah tidak bersetuju dengan hujah ini dan memperlekehkannya.
Mereka katakan,'
Hujjah ini benar-benar seperti anak kecil yang baru belajar bicara. Ketika anak kecil diancam oleh orang jahat “berikan uangmu atau aku bakar rumah orangtuamu”. Anak kecilnya tertawa dan berkata “ah bukan aku yang diancam tapi rumah orang tuaku”. Dan sepertinya anak kecil itu lupa kalau ia tinggal di rumah tersebut. Hujjah yang mirip dengan seorang istri yang “aneh” ketika ada orang jahat mengancam “kalau tidak pindah dari rumah ini akan kubakar suamimu” dan istri menjawab “ah ancaman itu bukan untukku tapi untuk suamiku”. Kami bertanya kepada anda wahai “pencari kebenaran” rumah siapa yang anda sebut dalam terjemahan anda “membakar rumah tersebut” dan Siapa orang yang anda katakan “mereka yang ada di dalamnya”?. Adakah Imam Ali termasuk di dalam rumah tersebut?. Adakah Sayyidah Fathimah termasuk di dalam rumah tersebut?. Rumah yang diancam akan dibakar Umar itu adalah rumah tempat mereka Ali Zubair dan orang yang mengikuti keduanya berkumpul yaitu rumah Sayyidah Fathimah. Kami kasihan kalau anda berhujjah dengan gaya seperti itu karena untuk menjawabnya kami terpaksa menjawab dengan penjelasan seperti kami menjelaskan sesuatu kepada anak kecil.
BIDASAN KEPADA SITUS SYIAH
Seperti yang kita lihat, syiah telah memaksakan kata-kata Umar r.a yang mudah. Mereka masih menganggap Fatimah r.a termasuk dalamnya. Ancaman Umar r.a ternyata bukanlah kepada Fatimah tapi kepada Ali dan Zubair r.a. seperti yang dijelaskan sebelumnya
Analogi mereka sendiri membuktikan bahawa anak kecil tidak termasuk dalam ancaman pembakaran rumah orang tuanya. Mereka cuba memberikan analogi jahil seolah-olah menunjukkan anak kecil itu membiarkan sahaja kedua rumah orang tuanya.
Bahkan analogi isteri tersebut tidak kena dengan situasi Fatimah r.a. Apabila suami yang diancam, maka bagaimana isteri boleh terlibat sekali??
Namun mereka cuba mengalihkan analogi ke arah reaksi isteri kepada suami dan juga reaksi anak kecil kepada orang tuanya
Apa yang kami minta mudah, jika Umar r.a sangat ingin membakar Fatimah r.a, mengapa tidak dia menyebutkan pernyataan jelas untuk membakar Fatimah r.a? Ternyata pernyataan tersebut tidak wujud
KONTEKS HADITH YANG DIDIAMKAN SYIAH
Satu
lagi point penting yang didiamkan syiah ialah kemuliaan Fatimah r..a
disisi Umar r.a. Kita lihat semula bagaimana Umar r.a memanggil Fatimah
r.a dengan panggilan mulia. Rujuk kepada teks yang diboldkan ungu
يا بنت رسول الله (ص) ! والله ما من أحد أحب إلينا من أبيك ، وما من أحد أحب إلينا بعد أبيك منك
Terjemahan: ”Wahai
puteri Rasulullah SAW, demi Allah tidaklah dari seorangpun yang lebih
kami cintai daripada ayahmu, dan tidaklah dari seorangpun yang kami
lebih cintai selepas ayahmu daripada kamu
Persoalannya,
apakah logik seseorang yang benar-benar ingin membakar rumah musuhnya
akan memanggil musuhnya dengan perkataan yang menunjukkan kasih sayang??
Lebih dari, apakah logik dalam riwayat-riwayat jahat syiah mengatakan
Umar r.a memukul Fatimah sehingga gugur janinnya sedangkan pada awalnya
Umar r.a sendiri sangat menghormati beliau??
Sudah tentu tuduhan syiah ini tuduhan jahat semata-mata
Mereka berhujah dengan riwayat ini tapi mereka mendiamkan bahagian yang merugikan mereka
BIDASAN SYIAH
BIDASAN SYIAH
Blog syiah membantah dengan mengatakan,
'Dimana
letak rasa hormatnya, ketika ia mengancam membakar rumah orang yang
dihormatinya?. Seperti alfanarku andapun mengidap penyakit yang sama.
Anda tidak bisa membedakan antara “klaim” dan “fakta”. Ucapan Umar
kalau Sayyidah Fathimah yang paling kami cintai adalah klaim tetapi ucapan Umar yang mengancam membakar rumah Sayyidah Fathimah adalah fakta,
Ternyata cinta yang ia katakan itu tidak mampu mencegahnya dari
mengancam membakar rumah ahlul bait. Jadi tidak ada kaitannya dengan
logik dan tidak logik, kemudian satu lagi kami tidak pernah menyatakan Umar membakar rumah Ahlul Bait yang benar adalah Umar mengancam akan membakar rumah Ahlul Bait.
Ada bedanya itu wahai kisanak dan Soal riwayat syiah, Umar memukul
Fathimah maaf itu bukan urusan kami dan kami tidak pernah mengutipnya.
Itu adalah riwayat Syiah yang kami pribadi tidak mengetahui kebenarannya
BANTAHAN KEPADA BIDASAN SYIAH
Pernyataan
Umar r.a sudah cukup membuktikan penghormatan beliau kepada Fatimah
r.a. Telahpun dijelaskan sebab-sebab ancaman tersebut. Kita sendiri
lihat sikap double standard syiah dalam berhujah. Kenyataan Umar r.a
apabila mengancam pembakaran rumah ahlul bait, ia dianggap fakta tapi
kenyataan Umar r.a yang sama menghormati Fatimah r.a dianggap klaim??
Apakah
kriteria yang mereka gunakan untuk menilai fakta dan klaim?? Jawapannya
mudah. Sifat hawa nafsu dan kebencian mutlak kepada Umar r.a
Blog
ini menafikan riwayat syiah mengatakan Umar r.a memukul Fatimah r.a.
Namun dalam web lain ada saja riwayat itu dihujahkan.
KONTEKS SEBENAR ANCAMAN UMAR R.A
Umar
r.a al-Khattab merupakan seorang yang faqih dalam urusan agama.
Tindakan beliau mengancam untuk membakar bukanlah untuk membunuh ahlul
bait sebaliknya ia fahami sebagai kewajipan berba’aiah kepada khalifah
yang sah dan mengelakkan perpecahan
Kewajipan ini telah termaktub dalam kitab-kitab hadith yang sahih
عَنْ
زِيَادِ بْنِ عِلَاقَةَ قَالَ سَمِعْتُ عَرْفَجَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّهُ سَتَكُونُ
هَنَاتٌ وَهَنَاتٌ فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُفَرِّقَ أَمْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ
وَهِيَ جَمِيعٌ فَاضْرِبُوهُ بِالسَّيْفِ كَائِنًا مَنْ كَانَ
Terjemahan: Dari
Ziyad bin ‘Ilaqah, katanya, ‘Aku mendengar ‘Arjafah katanya,’ Aku
mendengar nabi SAW berkata, ‘ Sesungguhnya akan terjadi bencana dan
kekacauan, maka sesiapa saja yang ingin memecah belahkan persatuan umat
ini maka penggallah dengan pedang walau siapapun dia
Rujukan:
Sahih Muslim, Kitab Kepimpinan, Bab Hukum Bagi Orang Yang
Memecahbelahkan Urusan Kaum Muslimin, hadith no 3442, Maktabah Shamela
Bahkan ada banyak lagi hadith lain yang mewajibkan ketaatan kepada khalifah
Selain
itu, bukti ancaman menunjukkan kepentingan satu urusan boleh difahami
dengan melihat ancaman yang yang dilakukan nabi Muhammad s.a.w sendiri.
Telah
tsabit dalam hadith yang sahih nabi mengancam untuk membakar
rumah-rumah mereka yang tidak bersolat jemaah bahkan nabi juga mengancam
untuk memotong tangan pencuri hatta Fatimah r.a sekalipun!!
Ini menunjukkan kewajipan melaksanakan hukum hudud dan kepentingan melaksanakan solat jemaah
BIDASAN SYIAH
Situs syiah mengatakan,
Oh begitu, adakah hadis shahihnya bahwa kewajiban berbaiat kepada Khalifah ditegakkan dengan mengancam membakar rumah. Perpecahan mana yang anda katakan “dielakkan”. Siapakah yang anda tuduh membuat perpecahan? Sayyidah Fathimah dan Imam Ali?. Jadi begitukah tindakan seorang faqih jika putri kesayangan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak membaiat maka diancam rumahnya akan dibakar. Mengapa anda mengutip hadis Shahih Muslim untuk membenarkan tindakan Umar padahal didalamnya tidak ada sedikitpun keterangan soal bakar membakar. Bukankah dalam hadis tersebut “siapa saja yang memecah belah umat maka penggallah dia”. Mengapa dalam bahasa Umar kata “penggallah dengan pedang” berubah menjadi “membakar rumah”. Umar ra yang tidak paham atau anda yang sedang melantur berhujjah dengan hadis Shahih Muslim yang tidak pada tempatnya.
Situs syiah mengatakan,
Oh begitu, adakah hadis shahihnya bahwa kewajiban berbaiat kepada Khalifah ditegakkan dengan mengancam membakar rumah. Perpecahan mana yang anda katakan “dielakkan”. Siapakah yang anda tuduh membuat perpecahan? Sayyidah Fathimah dan Imam Ali?. Jadi begitukah tindakan seorang faqih jika putri kesayangan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak membaiat maka diancam rumahnya akan dibakar. Mengapa anda mengutip hadis Shahih Muslim untuk membenarkan tindakan Umar padahal didalamnya tidak ada sedikitpun keterangan soal bakar membakar. Bukankah dalam hadis tersebut “siapa saja yang memecah belah umat maka penggallah dia”. Mengapa dalam bahasa Umar kata “penggallah dengan pedang” berubah menjadi “membakar rumah”. Umar ra yang tidak paham atau anda yang sedang melantur berhujjah dengan hadis Shahih Muslim yang tidak pada tempatnya.
Astaghfirullah,
sekarang anda mengatasnamakan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] untuk
membenarkan ancaman Umar kepada Sayyidah Fathimah. Mari kami tunjukkan
hadis shahih yang anda maksud:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي
الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلَاةِ
فَيُؤَذَّنَ لَهَا ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ ثُمَّ أُخَالِفَ
إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf yang berkata telah
mengabarkan kepada kami Malik dari Abi Zanaad dari Al A’raj dari Abu
Hurairah bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “demi
Yang jiwaku berada di tangan-Nya sungguh aku berkeinginan kiranya
aku memerintahkan orang-orang mengumpulkan kayu bakar kemudian aku
perintahkan mereka shalat yang telah dikumandangkan azannya kemudian aku
memerintahkan salah seorang menjadi imam lalu aku menuju orang-orang
yang tidak shalat berjama’ah kemudian aku bakar rumah-rumah mereka [Shahih Bukhari 1/131 no 644].
Kalau
hadis ini yang anda jadikan hujjah maka kami katakan hujjah anda itu
“absurd”. Perhatikan lafaz perkataan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] “hamamtu” yang bisa diartikan berkeinginan dalam hatiku
maksudnya itu adalah sesuatu yang terbersit di dalam hati Nabi
[shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Beliau ucapkan bukan sebagai ancaman
tetapi untuk menekankan betapa penting dan wajibnya shalat berjama’ah.
Kalau anda mengartikan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sedang mengancam langsung kepada orang-orang tersebut
maka anda keliru, Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak sedang
berbicara kepada mereka yang tidak shalat berjamaah dengan kata-kata
ancaman. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengutarakan apa yang
terbersit dalam hatinya kepada sahabat yang kebetulan berada di sana
yaitu Abu Hurairah. Tidak ada ceritanya Nabi [shallallahu ‘alaihi
wasallam] datang menemui mereka yang punya rumah dan mengancam membakar
rumah mereka kalau mereka tidak shalat berjama’ah. Ada perbedaan yang
nyata antara melakukannya mengancam langsung dengan mengutarakan
apa yang terbersit di dalam hati. Itu adalah bahasa kiasan yang
menunjukkan betapa pentingnya shalat berjama’ah bukannya diartikan
sebagai ancaman langsung Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]
kepada orang-orang tersebut.
Berbeda
dengan kasus ini, Umar bin Khaththab itu jelas-jelas datang menemui
Sayyidah Fathimah dan bersumpah dengan nama Allah SWT kalau orang-orang
tersebut berkumpul di rumah atau di sisi Sayyidah Fathimah maka ia akan
membakar rumah Sayyidah Fathimah. Ini benar-benar ancaman bahkan
Sayyidah Fathimah mengatakan kalau Umar akan melakukan apa yang telah
bersumpah atasnya. Itulah sebabnya Sayyidah Fathimah mengusir
orang-orang tersebut dari rumahnya dan berkata jangan menemuinya lagi
untuk mencegah tindakan Umar.
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ
عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ قُرَيْشًا
أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْمَرْأَةِ الْمَخْزُومِيَّةِ الَّتِي سَرَقَتْ
فَقَالُوا وَمَنْ يُكَلِّمُ فِيهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلَّا أُسَامَةُ
بْنُ زَيْدٍ حِبُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَكَلَّمَهُ أُسَامَةُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ ثُمَّ قَامَ
فَاخْتَطَبَ ثُمَّ قَالَ إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ
كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ
فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ
أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id yang berkata telah
menceritakan kepada kami Laits dari Ibnu Syihaab dari Urwah dari Aisyah
radiallahu ‘anha bahwa kaum Quraisy menghadapi masalah yaitu wanita suku
Mahzumiy mencuri kemudian mereka berkata “siapa yang mau membicarakan
tentangnya kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Mereka
berkata “tidak ada yang berani menghadap Beliau kecuali Usamah bin Zaid
yang paling dicintai Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka
berbicaralah Usamah. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda
“Apakah kamu meminta keringanan pelanggaran aturan Allah?. Kemudian
Beliau berdiri menyampaikan khutbah kemudian bersabda “sesungguhnya
orang-orang sebelum kalian binasa karena apabila ada orang dari kalangan
terhormat mereka mencuri mereka membiarkannya dan apabila ada orang
dari kalangan rendah mencuri maka mereka menagakkan atasnya hukum. Demi Allah, seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri pasti aku potong tangannya [Shahih Bukhari 4/175 no 3475]
Hadis
inikah yang anda jadikan hujjah. Siapa yang menurut anda sedang diancam
oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]?. Apa anda mau
mengatakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sedang mengancam
Sayyidah Fathimah?. Maaf tolong perbaiki terlebih dahulu cara anda
berhujjah. Hadis ini sangat jelas tidak sama dengan apa yang dilakukan
Umar ketika ia mengancam mau membakar rumah Sayyidah Fathimah.
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sedang menyampaikan hukum
Allah SWT kepada umatnya dan bahasa yang Beliau gunakan bukanlah ancaman
kepada orang tertentu.
BANTAHAN KEPADA BIDASAN SYIAH
Sudah dijelaskan motif utama Umar r.a adalah
untuk mengelakkan perpecahan yang muncul akibat kelewatan Ali r.a dan
Zubair. Mereka cuba memperlekehkan tindakan Umar r.a dengan mengatakan
hadith Muslim tersebut menunjukkan dipenggal leher sedangkan tindakan
Umar r.a adalah ingin membakar
Persoalannya, jika Umar r.a ingin memenggal mereka, apakah syiah akan menerimanya??
Tidak kira samada dipenggal atau dibakar, syiah pasti tidak akan menerimanya
Samada dipenggal atau dibakar, maka itu
bukanlah tujuan sebenar Umar r.a. Beliau hanya ingin mengancam dan
bukannya benar-benar ingin membakar Fatimah r.a
Jika Umar r.a sangat bencikan Fatimah r.a,
maka apa yang menghalanginya untuk tidak membakar mereka kesemuanya??
Jika Umar r.a ingin benar membunuh Fatimah r.a, maka mengapa tidak saja
dilakukannya?
Mereka cuba memberikan kejutan dengan frasa ‘Astaghfirullah’ seolah-olah hujah yang dikemukakan itu mengejutkan.
Hakikatnya
tidak ada apa yang ingin mereka sampaikan. Mereka cuba membuktikan
ancaman Rasulullah s.a.w tidak sama dengan Umar r.a
Hujah mereka ialah Rasulullah s.a.w hanyalah berkeinginan manakala Umar r.a bersungguh-sungguh
Persoalannya, mengapa Rasulullah s.a.w berkeinginan untuk membakar? Itu telah dijawab sendiri oleh mereka iaitu
‘Beliau ucapkan bukan sebagai ancaman tetapi untuk menekankan betapa penting dan wajibnya shalat berjama’ah’
Nah!! Apakah keinginan ataupun kesungguhan merubah apa-apa objektif baginda Rasulullah s.a.w?? Jawapannya tidak
Maka
samalah dengan tindakan Umar r.a. Objektif Umar r.a jelas untuk
mengelakkan perpecahan umat Islam. Tapi syiah hanya mampu
mempertikaikan kesungguhan dan keinginan tapi tidak mampu menolak
objektif Umar r.a
Maka penafian mereka hanyalah sia-sia
Seterusnya
mereka telah salah faham dengan kenyataan saya. Saya tidak mengatakan
langsung Fatimah r.a diancam Rasulullah s.a.w . Apa yang saya katakan
ialah Rasulullah s.a.w mengancam pencuri untuk menunjukkan kepentingan
melaksanakan hukum Allah hatta jika yang menjadi pencuri adalah Fatimah
r.a sekalipun
Malangnya pemilik blog begitu khusyuk ingin membidas hinggakan kenyataan saya sendiri telah disalah faham
ANCAMAN DALAM KITAB SYIAH
Persoalannya,
jika ditunjukkan riwayat-riwayat dalam kitab syiah sendiri akan ancaman
yang dilakukan nabi SAW, maka apakah mereka akan menarik balik tohmahan
mereka??
Ketahuilah,
dalam kitab syiah sendiri terdapat riwayat-riwayat nabi Muhammad SAW
ingin membakar rumah-rumah mereka yang tidak mengerjakan solat jemaah
bersama baginda. Walaupun kitab syiah tidak bernilai disisi sunni, kita
tetap menukilkannya supaya syiah sedar akan keburukan tohama
عن النبي صلى الله عليه وآله ، أنه قال
لجماعة لم يحضروا المسجد معه : ( لتحضرن المسجد ، أو لاحرقن عليكم منازلكم
Terjemahan:
Dari nabi s.a.w, sesungguhnya baginda berkata kepada jemaah yang tidak
hadir bersamanya ke masjid, ‘ Hadirlah kamu ke masjid atau aku akan
membakar rumah-rumah kamu
Sumber: Man La Yahduru al-Faqih, hadith 1092 , Bab Jamaah dan kelebihannya, Wasail Shia, no 10697
Sumber: Man La Yahduru al-Faqih, hadith 1092 , Bab Jamaah dan kelebihannya, Wasail Shia, no 10697
Syiah
sudah tentunya akan kata, disini bukanlah bermaksud nabi benar-benar
ingin membakar rumah mereka, sebaliknya nabi hanya ingin menunjukkan
kewajipan bersolat jemaah
Nah!!
Jika demikian, maka kenapa tidak guna jawapan yang sama kepada ancaman
Umar r.a?? Bukankah solat itu wajib dan menjaga perpaduan juga wajib??
Mengapa bersikap double standard??
BIDASAN SYIAH
Blog syiah mengatakan,
BIDASAN SYIAH
Blog syiah mengatakan,
Kami
sekedar iseng menggoogle riwayat yang anda kutip. Ternyata riwayat
yang anda kutip tidak memiliki sanad dalam referensi syiah yang anda
sebutkan. Jadi secara ilmu hadis yang sederhana saja maka riwayat
tersebut dhaif. Tentu saja saudara kami yang Syiah lebih berkompeten
untuk menilai hadis ini. Kami pribadi tidak menemukan adanya riwayat
shahih bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengancam
langsung kepada para sahabat yang tidak ikut shalat berjama’ah agar
datang ke masjid kalau tidak rumah mereka akan Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] bakar. Tetapi ada hadis Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] yang berbunyi menyakiti Fathimah berarti menyakitiku.
Anda mau kemanakan hadis ini, walaupun anda mencari seribu alasan
untuk membenarkan tindakan Umar kami akan katakan tindakan Umar salah
cukup dengan hadis ini.
BANTAHAN KEPADA BIDASAN SYIAH
Ternyata mereka tidak mampu membantah riwayat kitab syiah tersebut dan mentah-mentah mengatakannya sebagai riwayat da'if.
Riwayat tersebut banyak disebutkan dalam kitab syiah. Bahkan ia diakui sebagai riwayat mu'tabar dalam kitab syiah seperti yang disebutkan Syeikh Yusuf al-Bahrani. Agak pelik mereka tidak menjumpainya di google
Ternyata mereka tidak mampu membantah riwayat kitab syiah tersebut dan mentah-mentah mengatakannya sebagai riwayat da'if.
Riwayat tersebut banyak disebutkan dalam kitab syiah. Bahkan ia diakui sebagai riwayat mu'tabar dalam kitab syiah seperti yang disebutkan Syeikh Yusuf al-Bahrani. Agak pelik mereka tidak menjumpainya di google
وروى الشيخ بسند معتبر عن عبد الله بن ابى يعفور عن ابى عبد الله عليه السلام في حديث العدالة الطويل المتقدم في باب صلاة الجمعة
Disisi
ahlu sunnah, apa saja perkara yang menyakiti Fatimah r.a dengan cara
yang tidak benar dengan tanpa alasan munasabah maka ia termasuk dalam
kategori hadith tersebut. Adapun tindakan yang benar walaupun boleh
menyakiti Fatimah r.a tidaklah termasuk dalam kategori hadith tersebut.
Maka tindakan syiah memetik secara literal hadith adalah kesalahan yang
fatal.
Bahkan Ali r.a sendiri menyakiti Fatimah r.a kerana keinginannya berkahwin dengan puteri Abu Jahal. Maka apakah Ali r.a telah menyebabkan kemurkaan Rasulullah s.a.w dan juga kemurkaan Allah s.w.t??
Bahkan Ali r.a sendiri menyakiti Fatimah r.a kerana keinginannya berkahwin dengan puteri Abu Jahal. Maka apakah Ali r.a telah menyebabkan kemurkaan Rasulullah s.a.w dan juga kemurkaan Allah s.w.t??
KESIMPULAN:
Bidasan syiah ternyata dipaksa-paksa dan menunjukkan kejelikan lidah mereka dalam mentohmah Umar r.a. Telah dijelaskan tujuan Umar r.a dalam memelihara perpaduan ummah dan ancaman Umar r.a bukanlah khas ditujukan kepada Fatimah r.a
Apa yang lebih penting pada mereka ialah membenci Umar r.a dan dicerca habis-habisan.
Rujukan:
Bidasan syiah ternyata dipaksa-paksa dan menunjukkan kejelikan lidah mereka dalam mentohmah Umar r.a. Telah dijelaskan tujuan Umar r.a dalam memelihara perpaduan ummah dan ancaman Umar r.a bukanlah khas ditujukan kepada Fatimah r.a
Apa yang lebih penting pada mereka ialah membenci Umar r.a dan dicerca habis-habisan.
Rujukan:
http://alfanarku.wordpress.com/2011/05/28/pembakaran-terhadap-rumah-ahlul-bait/#comment-871
http://islamistruth.wordpress.com/2010/12/19/fatimara-burning-of-house-bayah-of-alira/
Bantahan lanjut boleh dibaca disini
http://alfanarku.wordpress.com/2011/07/19/studi-kritis-riwayat-ancaman-pembakaran-rumah-ahlul-bait-membantah-rafidhi-nashibi/
Lihat Perkataan Wahabi disini:Bantahan lanjut boleh dibaca disini
http://alfanarku.wordpress.com/2011/07/19/studi-kritis-riwayat-ancaman-pembakaran-rumah-ahlul-bait-membantah-rafidhi-nashibi/
Previously
i just reading shia arguments against Umar[ra] & found the cheap
trick by shia’s to deceive layman shia’s or sunni’s. Ofcourse shia
followed his predecessor in this regard, hence he filled this with lies
and deceptions.
Let me first give you some quote about shia ar-raafidah:
1. Imaam ash-Shaafi’ee and other Ulemaa stated that we should not narrate from the Raafidhah Shee’ah as they are amongst the liars.
2. Ibn Taymiyyah reported in his Minhaaj as-Sunnah (1/59 -62):
وقال مؤمل بن إهاب سمعت يزيد بن هارون يقول يكتب عن كل صاحب بدعة إذا لم يكن داعية إلا الرافضة فإﻧﻬم يكذبون
Mu’mal Ibn Ihaab said: I heard Yazeed Bin Haaroon (d. 206H) saying,
“The narrations of every person of innovation can be written as long as he is not a caller to it, except the Raafidah, since they are liars.“
3. Ibn Taymiyyah recorded in his Minhaaj as-Sunnah (1/69):
“Aboo Haatim ar-Raazee (d.277H) said,
Shia always fabricate the story from non-authentic sunni sources, that Umar[ra] threatened to burn the house of Fatima[ra]! & umar[ra] hit her with handle of sword and that resulted in abortion of son namely mohsin & then they beated Ali[ra] for allegiance [bayah].
& they use this sahih hadith from bukhari Volume 5, Book 59, Number 546 as a support & combine it with non-authentic reports & as a whole they imply that what they [shia] portray is correct!
But the truth is that: Aisha (r.a) narrated what she knew. And she didn’t know that Ali (r.a) pledged allegiance in the very beginning. When people started to talk that he didn’t pledged allegiance, he came and did it second time to avoid fitnah & we have sahih hadith which clearly says Ali(ra) gave bayah to abu bakr(ra) on the very first day.
Here is the sunni hadith [sahih isnad but mursal hadith], which proves that umar[ra] neither attacked not threaten fatima[ra] but it shows that umar[ra] showed her merits, from mosanif ibn abi sheebah, vol 13,book maghazi, page 201,hadeeth 38061
This arabic statement ” أن يحرق عليهم البيت ” is the biggest shia trick to deceive the non-arabic members:
Muhammad ibn Bishr from Ubaydullah ibn Umar from Zayd ibn Aslam from his father Aslam [the mawla of Umar.]
When Abu Bakr received the pledges of allegiance after the Messenger of Allah, Ali and al-Zubayr used to enter the presence of Fatima the daughter of the Messenger of Allah and consult with her and hesitate in their allegiance. When news of this reached Umar ibn al-Khattab, he came out until he entered Fatima’s presence and said: “Daughter of the Messenger of Allah, none in all creation was more dearly beloved to me than your father, and none is more beloved to us after him than you. However, by Allah, this shall not prevent me, if that group gathers in your house, to order that their house be set afire!” When Umar went out, they came and she said: “Do you know that `Umar came to me and swore by Allah that if you were to come back, he shall surely burn the door with you inside! By Allah, he shall certainly fulfill what he swore, so go away in peace, flee from your opinion, and do not come back to see me.” They left her and did not return to see her until they pledged their allegiance to Abu Bakr.”
Points to note:
1. Ameer al-Mu‘mineen Omar bin al-Khattab[ra] showed the rank of Fatima[ra] by saying she was most beloved to the people and him after her father.
2. Omar[ra] did not threaten Fatima[ra], but warned her about those gathering in her house. This can be seen by the statement ‘Alaihim’ and not ‘Alaikum’ in the statement ” أن يحرق عليهم البيت ” “if that group gathers in your house, to order that their house be set afire”.
Comment: But shia play the game with arabic because they are jahil persians.
Now the second problem arises for shia’s is that Ali(ra) gave his own daughter to Umar(ra) in nikah & even shia have sahih hadiths on that, as discussed here & here.
Then after this, they will show you this:
There are several problems in this chain.
1) Ibn Humayd: Razi said
He mixes asnaad (chain of narrations) and matan (text) of narrations (دخلت على محمد بن حميد وهو يركب الأسانيد على المتون)
Nasai said:
He is not trustworthy (ليس بثقة)
Asadi said:
I have never seen a natural liar, except for two persons: Sulaymân ash-Shâdhakûnî and Muhammad ibn Humayd ar-Razi. 22
Al Iraqi said
He is one of the liars (هو أحد الكذابين)
Jozjani said
He is not trustworthy (غير ثقة)
http://www.alrad.net/hiwar/sahaba/11.htm
2) Jarir ibn Hazim was thiqat, but he got confused in the end of his life. Abdurrahman ibn Mahdi noted that no one heard from him in that time (Abu Saeed al-Alai “al-Mukhtalitin” №8) Ibn Hajar said that he has errs when narrated from his memory. (Taqrib).
3) Mughira ibn Muqsim made tadlis, as he was described by Nasai, and this hadith he reported in muanan form.
4) Ziyad ibn Kulaib Abu Muashar al-Kufi. He was thiqat, but he wasn’t companion. In “Tahzib al-kamal” written the he died in 110 or 119 hijri. Prophet (sallalahu alaihi wa ala alihi wa sallam) died in 11 hijri. So this ibn Kulaib very unlikely was a eye witness of that alleged forced bayah to Abu Bakr (r.a).
So the hadith is weak & disconnected & has the gap of around 100yrs in between the incident.
We have sahih reports that all sahaba’s[ra] gave bayah to abu bakr[ra] at that time.
1.
وقد اتفق الصحابة رضي الله عنهم على بيعة الصديق في ذلك الوقت، حتى علي بن أبي طالب والزبير بن العوام رضي الله عنهما
all the sahaba (may Allah be pleased with them) gave allegiance to (abu bakr) siddique[ra] at the time, even ali and zubair bin al awam (may Allah be pleased with them)
than he gives many narration as a proof, one of which is as below:
and this narration reached us through Muhamili, from qasim bin saeed bin musaib , from ali bin asim, from al hariri, from abu nazra , from abu saeed al khudri, similar to what mentioned earlier , that ali and zubair rendered allegiance on the same day
Source: al bidaya volume 6 page 302
2. Sahih hadith by Abu Sa’eed al Khudri (RA) that Ali (RA) gave Baya’ah immediatly to Abu bakr al Siddiq (RA):
Abu Sa’eed al Khudri may Allah be pleased with him said: When the Prophet’s PBUH soul passed away and when the people gathered at the place of Sa’ad bin Umbadah and amongst them were Abu bakr and Umar, a Khatib from the Ansar(Supporters) spoke: “You know that the Prophet of Allah PBUH was from the Mouhajirun(immigrants) and his Caliph must also be from the Mouhajirun, we were the Ansar of the Prophet PBUH and we will be the Ansar of his Caliph just as we were his Ansar”. then Umar bin al Khattab stood up and said “This Man from amongst the Ansar speaks truth and if it were anything other than this then we would not give you a baya’ah(Pledge of allegiance)” then he grabbed the hand of Abu bakr and said: “this is your Close companion so give him Baya’ah” then Umar and the Mouhajirun and the Ansar all gave him Baya’ah. Abu bakr stood on the Mimbar and he looked at the faces of all the people there but he never saw al Zubair so he called for him and and he came so he told him: “O son of the Prophet’s PBUH aunt and his disciple would you want to split the cause of the Muslims?” Zubair said: “Not at all O Caliph of the Prophet of Allah” then he stood and gave him Baya’ah, Then he looked at the faces of the people but did not spot Ali so he called for Ali bin abi Talib and he came to him so he said: “O cousin of the prophet of Allah and the husband of his daughter would you want to split the cause of the Muslims?” So Ali replied: “Not at all O Caliph of the Prophet of Allah” then he stood and gave him Baya’ah.
sources:
-Mujama’a al Zawa’ed (5/183) with its Rijal being those of the SAHIH.
-Al Bidayah wal nihayah (5/281) with its Isnad being Thabit and SAHIH.
-Al Mustadrak (3/76) and al Sunan al Kubrah (8/143) with two SAHIH Isnads.
Imam Muslim bin al Hajjaj (Author of Sahih muslim) and Imam al hafiz Muhammad bin Ishaq bin Khuzaymah (Author of Sahih Ibn Khuzaymah) and Imam Ibn Katheer all talked about the importance of this Sahih narration.
this narration agrees with the Sahih narration above:
In the Hadith of Habib bin abu Thabit: Ali bin Abu talib was in his house then a Man came to him and told him “Abu Bakr has gotten ready for the Baya’ah” So Ali went out to the mosque wearing only his Qamis without a Izar or a Ridaa and he was hasty because he hated to be late for the Baya’ah, then he gave the Baya’ah to Abu bakr and sat down and later asked for his Ridaa so it was brought for him and he wore it on top of his Qamis.
source: Tareekh al tabari 3/207, the Sanad is Mursal, it contains Seif bin Umar and he is weak and it contains Abdul Aziz bin Siyah who is trustworthy but is a Shia.
Ali and al Zubair were asked about the Baya’ah and they said: “We were only angry because we were late for the consultation, we see Abu Bakr as the most deserving of the people to this position after the Apostle of Allah PBUH, he is the companion in the cave and the second of the two and we know of his honour and rank, The prophet PBUh had ordered him to lead the people in prayer while he was alive”.
sources: Al Bidayah wal nihayah (6/341), Khilafat Abu Bakr p67, Isnad is Good.
Narrated Qays bin al Abdi: I Witnesses the Sermon of Ali on the Day of Basarah, he said: ” He praised Allah and thanked him and he mentioned the Prophet PBUH and his sacrifice to the people, then Allah swt took his soul, Then the Muslims saw that they should give the Caliphate to Abu bakr (RA) so they pledged their allegiance and made their promise of loyalty, and I gave my pledge and I promised him my loyalty, They were pleased and so was I. He(Abu Bakr) did good deeds and made Jihad until Allah took his soul may Allah have mercy on him.”
source:
Al Sunnah for Abdullah bin Ahmad (2/563) The Narrators are all trustworthy. So hadith is authentic.
version 1.1
قال أبو حاتم الرازي سمعت يونس بن عبد الأعلى يقول قال أشهب بن عبد
العزيز سئل مالك عن الرافضة فقال لا تكلمهم ولا ترو عنهم فإﻧﻬم يكذبون وقال
أبو حاتم حدثنا حرملة قال سمعت الشافعي يقول لم أر أحدا أشهد بالزور من
الرافضة
“Aboo Haatim ar-Raazee (d.277H) said,
“I heard Yoonus bin ‘Abd al-A’laa saying: Ashhaab bin ‘Abdul’Azeez
asked Maalik (d.179H) about the Raafidah, so he said, ”Do not speak to
them and do not narrate from them, since they lie.
& many many quotes.
Shia always fabricate the story from non-authentic sunni sources, that Umar[ra] threatened to burn the house of Fatima[ra]! & umar[ra] hit her with handle of sword and that resulted in abortion of son namely mohsin & then they beated Ali[ra] for allegiance [bayah].
& they use this sahih hadith from bukhari Volume 5, Book 59, Number 546 as a support & combine it with non-authentic reports & as a whole they imply that what they [shia] portray is correct!
But the truth is that: Aisha (r.a) narrated what she knew. And she didn’t know that Ali (r.a) pledged allegiance in the very beginning. When people started to talk that he didn’t pledged allegiance, he came and did it second time to avoid fitnah & we have sahih hadith which clearly says Ali(ra) gave bayah to abu bakr(ra) on the very first day.
Here is the sunni hadith [sahih isnad but mursal hadith], which proves that umar[ra] neither attacked not threaten fatima[ra] but it shows that umar[ra] showed her merits, from mosanif ibn abi sheebah, vol 13,book maghazi, page 201,hadeeth 38061
حدثنا : محمد بن بشر ، نا : عبيد الله بن عمر ، حدثنا : زيد بن أسلم ،
عن أبيه أسلم : أنه حين بويع لأبي بكر بعد رسول الله (ص) كان علي والزبير
يدخلان على فاطمة بنت رسول الله (ص) فيشاورونها ويرتجعون في أمرهم ، فلما
بلغ ذلك عمر بن الخطاب خرج حتى دخل على فاطمة ، فقال : يا بنت رسول الله
(ص) ، والله ما من أحد أحب إلينا من أبيك ، وما من أحد أحب إلينا بعد أبيك
منك ، وأيم الله ما ذاك بمانعي إن إجتمع هؤلاء النفر عندك ، أن أمرتهم أن يحرق عليهم البيت
، قال : فلما خرج عمر جاءوها فقالت : تعلمون أن عمر قد جاءني وقد حلف
بالله لئن عدتم ليحرقن عليكم البيت وأيم الله ليمضين لما حلف عليه ،
فإنصرفوا راشدين ، فروا رأيكم ولا ترجعوا إلي ، فإنصرفوا عنها فلم يرجعوا
إليها حتى بايعوا لأبي بكر
This arabic statement ” أن يحرق عليهم البيت ” is the biggest shia trick to deceive the non-arabic members:
Muhammad ibn Bishr from Ubaydullah ibn Umar from Zayd ibn Aslam from his father Aslam [the mawla of Umar.]
When Abu Bakr received the pledges of allegiance after the Messenger of Allah, Ali and al-Zubayr used to enter the presence of Fatima the daughter of the Messenger of Allah and consult with her and hesitate in their allegiance. When news of this reached Umar ibn al-Khattab, he came out until he entered Fatima’s presence and said: “Daughter of the Messenger of Allah, none in all creation was more dearly beloved to me than your father, and none is more beloved to us after him than you. However, by Allah, this shall not prevent me, if that group gathers in your house, to order that their house be set afire!” When Umar went out, they came and she said: “Do you know that `Umar came to me and swore by Allah that if you were to come back, he shall surely burn the door with you inside! By Allah, he shall certainly fulfill what he swore, so go away in peace, flee from your opinion, and do not come back to see me.” They left her and did not return to see her until they pledged their allegiance to Abu Bakr.”
Points to note:
1. Ameer al-Mu‘mineen Omar bin al-Khattab[ra] showed the rank of Fatima[ra] by saying she was most beloved to the people and him after her father.
2. Omar[ra] did not threaten Fatima[ra], but warned her about those gathering in her house. This can be seen by the statement ‘Alaihim’ and not ‘Alaikum’ in the statement ” أن يحرق عليهم البيت ” “if that group gathers in your house, to order that their house be set afire”.
Comment: But shia play the game with arabic because they are jahil persians.
Now the second problem arises for shia’s is that Ali(ra) gave his own daughter to Umar(ra) in nikah & even shia have sahih hadiths on that, as discussed here & here.
Then after this, they will show you this:
Umar Ibn al-Khattab came to the house of Ali. Talha and Zubair and some of the immigrants were also in the house. Umar cried out: “By God, either you come out to render the oath of allegiance, or I will set the house on fire.” al-Zubair came out with his sword drawn. As he stumbled (upon something), the sword fell from his hand so they jumped over him and seized him.”But the problem is that the narration from Tarikh Tabari. It comes via chain:
– Tarikh Tabari Volume 9 page 187
Chain of Transmission:
Mohammed Ibn Humayd: the source of a significant portion of Tarikh Tabari; Ahmed Ibn Hanbal, Ibn Mo’een and Ibn Jarir Tabari considered him trustworthy, although the like of Dhahabi disagreed with that (refer to Mizan al I’tidaal)
Jarir: Ahmed Ibn Hanbal narrated from him in his Musnad, as did Abu Dawud and Tirmidhi
Mugheera: “Scholar, trusted in hadith, wise” Tahtheeb al-Tahtheeb Volume 10 Page 270 #482.
Nisaii likewise trusted him.
Ziyad Ibn Kulayb: Mizan al I’tidaal by Dhahabi, Volume 2 #798 – Nisaii said he was thiqah (trustworthy) as did Ibn Hajar and Ibn Haban
ابن حميد قال حدثنا جرير عن مغيرة عن زياد بن كليب
There are several problems in this chain.
1) Ibn Humayd: Razi said
He mixes asnaad (chain of narrations) and matan (text) of narrations (دخلت على محمد بن حميد وهو يركب الأسانيد على المتون)
Nasai said:
He is not trustworthy (ليس بثقة)
Asadi said:
ما رايت احدا احذق بالكذب من رجلين: سليمان بن الشاذكوني، ومحمد بن حميد الرازي
I have never seen a natural liar, except for two persons: Sulaymân ash-Shâdhakûnî and Muhammad ibn Humayd ar-Razi. 22
Al Iraqi said
He is one of the liars (هو أحد الكذابين)
Jozjani said
He is not trustworthy (غير ثقة)
http://www.alrad.net/hiwar/sahaba/11.htm
2) Jarir ibn Hazim was thiqat, but he got confused in the end of his life. Abdurrahman ibn Mahdi noted that no one heard from him in that time (Abu Saeed al-Alai “al-Mukhtalitin” №8) Ibn Hajar said that he has errs when narrated from his memory. (Taqrib).
3) Mughira ibn Muqsim made tadlis, as he was described by Nasai, and this hadith he reported in muanan form.
4) Ziyad ibn Kulaib Abu Muashar al-Kufi. He was thiqat, but he wasn’t companion. In “Tahzib al-kamal” written the he died in 110 or 119 hijri. Prophet (sallalahu alaihi wa ala alihi wa sallam) died in 11 hijri. So this ibn Kulaib very unlikely was a eye witness of that alleged forced bayah to Abu Bakr (r.a).
So the hadith is weak & disconnected & has the gap of around 100yrs in between the incident.
We have sahih reports that all sahaba’s[ra] gave bayah to abu bakr[ra] at that time.
1.
وقد اتفق الصحابة رضي الله عنهم على بيعة الصديق في ذلك الوقت، حتى علي بن أبي طالب والزبير بن العوام رضي الله عنهما
all the sahaba (may Allah be pleased with them) gave allegiance to (abu bakr) siddique[ra] at the time, even ali and zubair bin al awam (may Allah be pleased with them)
than he gives many narration as a proof, one of which is as below:
وروينا من طريق المحاملي عن القاسم بن
سعيد بن المسيب عن علي بن عاصم عن الحريري عن أبي نصرة عن أبي سعيد فذكره
مثله في مبايعة علي والزبير رضي الله عنهما يومئذ
and this narration reached us through Muhamili, from qasim bin saeed bin musaib , from ali bin asim, from al hariri, from abu nazra , from abu saeed al khudri, similar to what mentioned earlier , that ali and zubair rendered allegiance on the same day
Source: al bidaya volume 6 page 302
2. Sahih hadith by Abu Sa’eed al Khudri (RA) that Ali (RA) gave Baya’ah immediatly to Abu bakr al Siddiq (RA):
فعن أبى سعيد الخدري- رضي الله عنه- قال قبض رسول الله صلى الله عليه
وسلم واجتمع الناس في دار سعد بن عبادة وفيهم أبو بكر وعمر قال فقام خطيب
الأنصار فقال أتعلمون أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان من المهاجرين
وخليفته من المهاجرين ونحن كنا أنصار رسول الله ونحن أنصار خليفته كما كنا
أنصاره قال فقام عمر بن الخطاب فقال صدق قائلكم أما لو قلتم على غير هذا لم
نبايعكم وأخذ بيد أبي بكر وقال هذا صاحبكم فبايعوه فبايعه عمر وبايعه
المهاجرون والأنصار قال فصعد أبو بكر المنبر فنظر في وجوه القوم فلم ير
الزبير قال فدعا بالزبير فجاء فقال قلت ابن عمة رسول الله صلى الله عليه
وسلم وحواريه أردت أن تشق عصا المسلمين فقال لا تثريب يا خليفة رسول الله
صلى الله عليه وسلم فقام فبايعه ثم نظر في وجوه القوم فلم ير عليا فدعا
بعلي بن أبي طالب فجاء فقال قلت ابن عم رسول الله صلى الله عليه وسلم وختنه
على ابنته أردت أن تشق عصا المسلمين قال لا تثريب يا خليفة رسول الله صلى
الله عليه وسلم فبايعه.
Abu Sa’eed al Khudri may Allah be pleased with him said: When the Prophet’s PBUH soul passed away and when the people gathered at the place of Sa’ad bin Umbadah and amongst them were Abu bakr and Umar, a Khatib from the Ansar(Supporters) spoke: “You know that the Prophet of Allah PBUH was from the Mouhajirun(immigrants) and his Caliph must also be from the Mouhajirun, we were the Ansar of the Prophet PBUH and we will be the Ansar of his Caliph just as we were his Ansar”. then Umar bin al Khattab stood up and said “This Man from amongst the Ansar speaks truth and if it were anything other than this then we would not give you a baya’ah(Pledge of allegiance)” then he grabbed the hand of Abu bakr and said: “this is your Close companion so give him Baya’ah” then Umar and the Mouhajirun and the Ansar all gave him Baya’ah. Abu bakr stood on the Mimbar and he looked at the faces of all the people there but he never saw al Zubair so he called for him and and he came so he told him: “O son of the Prophet’s PBUH aunt and his disciple would you want to split the cause of the Muslims?” Zubair said: “Not at all O Caliph of the Prophet of Allah” then he stood and gave him Baya’ah, Then he looked at the faces of the people but did not spot Ali so he called for Ali bin abi Talib and he came to him so he said: “O cousin of the prophet of Allah and the husband of his daughter would you want to split the cause of the Muslims?” So Ali replied: “Not at all O Caliph of the Prophet of Allah” then he stood and gave him Baya’ah.
sources:
-Mujama’a al Zawa’ed (5/183) with its Rijal being those of the SAHIH.
-Al Bidayah wal nihayah (5/281) with its Isnad being Thabit and SAHIH.
-Al Mustadrak (3/76) and al Sunan al Kubrah (8/143) with two SAHIH Isnads.
Imam Muslim bin al Hajjaj (Author of Sahih muslim) and Imam al hafiz Muhammad bin Ishaq bin Khuzaymah (Author of Sahih Ibn Khuzaymah) and Imam Ibn Katheer all talked about the importance of this Sahih narration.
3.
رواية حبيب بن أبي ثابت، حيث قال: كان علي بن أبي طالب في بيته، فأتاه رجل، فقال له:
قد جلس أبو بكر للبيعة، فخرج عليّ إلى المسجد في قميص له، ما عليه إزار ولا رداء، وهو متعجِّل، كراهة أن يبطئ عن البيعة، فبايع أبا بكر، ثم جلس، وبعث إلى ردائه فجاؤوه به، فلبسه فوق قميصه
قد جلس أبو بكر للبيعة، فخرج عليّ إلى المسجد في قميص له، ما عليه إزار ولا رداء، وهو متعجِّل، كراهة أن يبطئ عن البيعة، فبايع أبا بكر، ثم جلس، وبعث إلى ردائه فجاؤوه به، فلبسه فوق قميصه
this narration agrees with the Sahih narration above:
In the Hadith of Habib bin abu Thabit: Ali bin Abu talib was in his house then a Man came to him and told him “Abu Bakr has gotten ready for the Baya’ah” So Ali went out to the mosque wearing only his Qamis without a Izar or a Ridaa and he was hasty because he hated to be late for the Baya’ah, then he gave the Baya’ah to Abu bakr and sat down and later asked for his Ridaa so it was brought for him and he wore it on top of his Qamis.
source: Tareekh al tabari 3/207, the Sanad is Mursal, it contains Seif bin Umar and he is weak and it contains Abdul Aziz bin Siyah who is trustworthy but is a Shia.
4.
قال على رضي الله عنه والزبير: «ما غضبنا إلا لأنا قد أخرنا عن
المشاورة، وأنا نرى أبا بكر أحق الناس بها بعد رسول الله صلى الله عليه
وسلم، إنه لصاحب الغار، وثاني اثنين، وإنا لنعلم بشرفه، وكبره، ولقد أمره
رسول الله صلى الله عليه وسلم بالصلاة بالناس وهو حي»
Ali and al Zubair were asked about the Baya’ah and they said: “We were only angry because we were late for the consultation, we see Abu Bakr as the most deserving of the people to this position after the Apostle of Allah PBUH, he is the companion in the cave and the second of the two and we know of his honour and rank, The prophet PBUh had ordered him to lead the people in prayer while he was alive”.
sources: Al Bidayah wal nihayah (6/341), Khilafat Abu Bakr p67, Isnad is Good.
5.
عن قيس العبدي قال: «شهدت خطبة على يوم البصرة قال: فحمد الله
وأثنى عليه وذكر النبي صلى الله عليه وسلم وما عالج من الناس، ثم قبضه الله
عز وجل إليه، ثم رأى المسلمون أن يستخلفوا أبا بكر- رضي الله عنه –
فبايعوا وعاهدوا وسلموا، وبايعت وعاهدت وسلمت، ورضوا ورضيت، وفعل من الخير
وجاهد حتى قبضه الله عز وجل، رحمة الله عليه»
Narrated Qays bin al Abdi: I Witnesses the Sermon of Ali on the Day of Basarah, he said: ” He praised Allah and thanked him and he mentioned the Prophet PBUH and his sacrifice to the people, then Allah swt took his soul, Then the Muslims saw that they should give the Caliphate to Abu bakr (RA) so they pledged their allegiance and made their promise of loyalty, and I gave my pledge and I promised him my loyalty, They were pleased and so was I. He(Abu Bakr) did good deeds and made Jihad until Allah took his soul may Allah have mercy on him.”
source:
السنة، عبد الله بن أحمد (2/563) رجال الإسناد ثقات.
Al Sunnah for Abdullah bin Ahmad (2/563) The Narrators are all trustworthy. So hadith is authentic.
version 1.1
*****
Kami akan membahas bantahan tersebut bukan karena bantahan tersebut memang layak untuk ditanggapi tetapi karena permintaan saudara kami dan untuk menunjukkan kepada umat islam betapa lemahnya akal pengikut neonashibi
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ
عُمَرَ ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ ، عْن أَبِيهِ أَسْلَمَ ؛
أَنَّهُ حِينَ بُويِعَ لأَبِي بَكْرٍ بَعْدَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه
وسلم ، كَانَ عَلِيٌّ وَالزُّبَيْرُ يَدْخُلاَنِ عَلَى فَاطِمَةَ بِنْتِ
رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، فَيُشَاوِرُونَهَا وَيَرْتَجِعُونَ فِي
أَمْرِهِمْ ، فَلَمَّا بَلَغَ ذَلِكَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ خَرَجَ
حَتَّى دَخَلَ عَلَى فَاطِمَةَ ، فَقَالَ : يَا بِنْتَ رَسُولِ اللهِ صلى
الله عليه وسلم ، وَاللهِ مَا مِنْ الْخَلْقِ أَحَدٌ أَحَبَّ إِلَيْنَا
مِنْ أَبِيك ، وَمَا مِنْ أَحَدٍ أَحَبَّ إِلَيْنَا بَعْدَ أَبِيك مِنْك ،
وَأَيْمُ اللهِ ، مَا ذَاكَ بِمَانِعِيَّ إِنَ اجْتَمَعَ هَؤُلاَءِ
النَّفَرُ عِنْدَكِ ، أَنْ آمُرَ بِهِمْ أَنْ يُحَرَّقَ عَلَيْهِمَ
الْبَيْتُ قَالَ : فَلَمَّا خَرَجَ عُمَرُ جَاؤُوهَا ، فَقَالَتْ :
تَعْلَمُونَ أَنَّ عُمَرَ قَدْ جَاءَنِي ، وَقَدْ حَلَفَ بِاللهِ لَئِنْ
عُدْتُمْ لَيُحَرِّقَنَّ عَلَيْكُمَ الْبَيْتَ ، وَأَيْمُ اللهِ ،
لَيَمْضِيَنَّ لِمَا حَلَفَ عَلَيْهِ ، فَانْصَرِفُوا رَاشِدِينَ فَرُوْا
رَأْيَكُمْ ، وَلاَ تَرْجِعُوا إِلَيَّ ، فَانْصَرَفُوا عنها ، فَلَمْ
يَرْجِعُوا إِلَيْهَا ، حَتَّى بَايَعُوا لأَبِي بَكْرٍ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bisyr yang berkata telah
menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Umar telah menceritakan kepada
kami Zaid bin Aslam dari Aslam Ayahnya yang berkata bahwasanya ketika
bai’at telah diberikan kepada Abu Bakar sepeninggal Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam], Ali dan Zubair masuk menemui Fatimah
binti Rasulullah, mereka bermusyawarah dengannya mengenai urusan mereka.
Ketika berita itu sampai kepada Umar bin Khaththab, ia bergegas keluar
menemui Fatimah dan berkata ”wahai Putri Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] demi Allah tidak ada seorangpun yang lebih kami cintai
daripada Ayahmu dan setelah Ayahmu tidak ada yang lebih kami cintai
dibanding dirimu tetapi demi Allah hal itu tidak akan mencegahku jika
mereka berkumpul di sisimu untuk kuperintahkan agar membakar rumah ini
tempat mereka berkumpul”.
Ketika Umar pergi, mereka datang dan Fatimah berkata “tahukah kalian
bahwa Umar telah datang kepadaku dan bersumpah jika kalian kembali ia
akan membakar rumah ini tempat kalian berkumpul. Demi Allah ia akan
melakukan apa yang ia telah bersumpah atasnya jadi pergilah dengan
damai, simpan pandangan kalian dan janganlah kalian kembali menemuiku”.
Maka mereka pergi darinya dan tidak kembali menemuinya sampai mereka
membaiat Abu Bakar [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 14/567 no 38200 dengan
sanad shahih sesuai syarat Bukhari Muslim].
Riwayat di atas sanadnya shahih dan kami pernah membahas kedudukan
riwayat tersebut secara khusus. Ketiga situs yang kami sebutkan juga
tidak mempermasalahkan status riwayat tersebut bahkan situs yang English
juga menyatakan keshahihannya. Bantahan mereka adalah seputar matan
hadis yang mereka pelintir agar sesuai dengan keyakinan mereka, bantahan
mereka adalah yang kami kutip.
Alfanarku menyebutkan empat poin yang ia katakan bahkan menyerang
klaim syiah sendiri. Kami katakan mau menyerang klaim syiah atau klaim
sunni atau siapa saja itu tidak berpengaruh sedikitpun terhadap kami.
Kami tidak akan berbasa-basi membela sahabat dan menyudutkan Ahlul Bait,
maaf itu bukan akhlak kami. Kami meyakini kebenaran untuk berpegang
teguh kepada Ahlul Bait dan setiap sahabat yang menyakiti ahlul bait
maka sudah jelas sahabat itu salah, tidak peduli apapun alasan naifnya.
Poin pertama alfanarku
Saat Bai’at umat kepada Abu Bakar, diberitakan Ali dan Zubair sedang
berada di rumah Fatimah membicarakan tentang urusan mereka, dan hal ini
yang terdengar oleh Umar. Dan hal ini adalah sesuatu yang keliru menurut
Umar, karena seharusnya mereka segera ikut membai’at Abu Bakar dimana
hampir semua kaum muslimin telah membai’at Abu Bakar hari itu.
Kami jawab : Silakan saja kalau Umar berpandangan mereka keliru, kami
pribadi justru melihat pada sisi Ahlul Bait yaitu Sayyidah Fathimah dan
Imam Ali, kalau memang keduanya menganggap pembaiatan terhadap Abu
Bakar adalah benar maka tidak perlu keduanya mengadakan pertemuan dengan
orang-orang di rumah keduanya. Adanya pertemuan itu justru menunjukkan
kalau Imam Ali dan Sayyidah Fathimah menganggap apa yang dilakukan oleh
Umar dan pengikutnya itu keliru. Seharusnya Umar, Abu Bakar dan kaum
Anshar lainnya tidak terburu-buru dan meninggalkan Ahlul Bait dalam
perkara ini. Siapakah yang menjadi pedoman dan pegangan bagi umat islam
seperti yang dikatakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dalam
hadis Tsaqalain? Tidak lain adalah Ahlul Bait, tetapi mereka malah
menuruti pendapatnya sendiri dan meninggalkan Ahlul Bait bahkan setelah
itu memaksakan pandangan mereka dalam bentuk ancaman kepada Ahlul Bait.
Dimana akhlak kalian wahai yang mengaku mencintai Ahlul Bait?
Poin kedua alfanarku justru menunjukkan pandangan yang skizofrenik
dan lemahnya pemahaman, tidak lain itu karena kebenciannya yang dalam
terhadap Syiah. Jika kebencian memenuhi kepala maka akal tertutupi dan
nafsu yang berbicara
Orang yang paling dicintai Umar setelah Nabi shalallahu ‘alaihi
wasalam adalah Fatimah, ini menggugurkan klaim syi’ah secara telak,
yaitu tidak mungkin seseorang akan menyakiti seseorang yang paling dia
cintai
Kami jawab : dimana letak hujjahnya perkataan ini?. Apa dia lupa,
kalau Syiah dan Sunni sama-sama mengaku mencintai Ahlul Bait?. Apakah
alfanarku itu tidak bisa membedakan antara klaim dan fakta?. Siapapun
bisa saja mengaku ahlul bait adalah yang paling mereka cintai, tetapi
apa gunanya pengakuan jika perbuatannya justru menyakiti ahlul bait.
Faktanya Umar memang mengancam membakar rumah Ahlul Bait [berdasarkan
riwayat shahih di atas] ada tidaknya pengakuan atau klaim Umar itu tidak
menafikan ancaman yang ia lakukan. Jika Umar memang benar-benar
mencintai Ahlul Bait bukan begitu caranya. Kalau mau mengingatkan atau
menasehati orang yang kita cintai [apalagi kita hormati] kita pasti akan
menggunakan tutur kata yang lemah lembut bukan ancaman yang
menyakitkan. Ini hal sederhana tetapi tidak terpikirkan oleh alfanarku
karena dirinya tersibukkan dengan apa yang ia sebut “klaim Syiah”.
Lanjut ke poin ketiga yang menunjukkan lemahnya ilmu dan penuh dengan
basa-basi.
Umar yang memiliki sifat yang tegas dan keras mengingatkan Ali dan
Zubair melalui Fatimah, dan sama sekali tidak sedang mengancam pribadi
Fatimah, hal ini bisa diketahui dari perkataan Umar kepada Fatimah “maka
tidak ada yang dapat mencegahku untuk memerintahkan membakar rumah
tersebut bersama mereka yang ada di dalamnya” kata yang dipakai
‘Alaihim’ dan bukan ‘Alaikum’ ” أن يحرق عليهم البيت ”. Dan kenyataannya
Umar tidak pernah melakukan apa yang diucapkan-nya tersebut, Dan
kenyataannya Ali dan Zubair sedang tidak ada di rumah Fatimah saat itu.
Kami jawab : begitulah kalau orang tidak memperhatikan lafaz arabnya
dengan baik. Riwayat di atas menunjukkan kalau Ali dan Zubair menemui
Sayyidah Fathimah, dalam salah satu riwayat shahih Umar pernah berkata
[dalam hadis Saqifah yang panjang]
وإنه كان من خيرنا حين توفى رسول الله صلى الله عليه وسلم إن عليا والزبير ومن تبعهما تخلفوا عنا في بيت فاطمة
Bahwa diantara berita yang sampai kepada kami ketika Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] wafat adalah Ali, Zubair dan orang-orang
yang mengikuti keduanya menyelisihi kami di rumah Fathimah [Ats Tsiqat
Ibnu Hibban 1/164 dengan sanad shahih].
Saat itu yang mengadakan pertemuan adalah Ali, Zubair dan orang-orang
yang bersama mereka dimana merekapun bermusyawarah dengan Sayyidah
Fathimah di kediaman Sayyidah Fathimah sendiri. Umar tidak senang dengan
kabar ini dan mengancam dengan kata-kata:
وَأَيْمُ اللهِ ، مَا ذَاكَ بِمَانِعِيَّ إِنَ اجْتَمَعَ هَؤُلاَءِ
النَّفَرُ عِنْدَكِ ، أَنْ آمُرَ بِهِمْ أَنْ يُحَرَّقَ عَلَيْهِمَ
الْبَيْتُ
demi Allah hal itu tidak akan mencegahku jika mereka berkumpul di
sisimu untuk kuperintahkan agar membakar rumah ini tempat mereka
berkumpul.
Alfanarku berbasa-basi bahwa Umar tidak mengancam Sayyidah Fathimah
[alaihis salam] karena lafaz yang digunakan ‘Alaihim bukan ‘Alaikum.
Tentu saja pembelaan ini mandul, ia tidak memperhatikan bahwa lafaznya
adalah ‘Alaihimul bait” yang artinya rumah tempat mereka berkumpul dan
rumah itu adalah rumah Sayyidah Fathimah. Jadi lafaz itu menunjukkan
Umar mengancam akan membakar rumah Sayyidah Fathimah kalau orang itu
masih berkumpul di sisi Sayyidah Fathimah. Apa kalau ada orang yang
mengancam akan membakar rumah anda maka ancaman itu bukan tertuju pada
anda?. Mengenai perkataan kenyataannya Umar tidak pernah melakukan apa
yang diucapkannya, itu justru disebabkan oleh kebijakan Sayyidah
Fathimah sendiri yang memerintahkan agar mereka yang berkumpul di
rumahnya yaitu Zubair dan orang-orang yang bersamanya untuk tidak lagi
menemuinya atau kembali ke rumahnya. Seandainya mereka masih kembali dan
Sayyidah Fathimah membiarkannya maka mungkin pembakaran itu akan
terjadi sebagaimana Sayyidah Fathimah sendiri yang berkata:
وَأَيْمُ اللهِ ، لَيَمْضِيَنَّ لِمَا حَلَفَ عَلَيْهِ ، فَانْصَرِفُوا رَاشِدِينَ فَرُوْا رَأْيَكُمْ ، وَلاَ تَرْجِعُوا إِلَيَّ
Demi Allah ia akan melakukan apa yang ia telah bersumpah atasnya jadi
pergilah dengan damai, simpan pandangan kalian dan janganlah kalian
kembali menemuiku
Poin keempat kembali menunjukkan lemahnya ilmu, alfanarku mempermasalahkan soal baiat terhadap Abu Bakar, ia berkata.
Fakta yang begitu jelas dari riwayat tersebut adalah Ali dan Zubair
melakukan bai’at kepada Abu Bakar di hari pembai’atan kaum Muslimin, hal
ini juga menggugurkan klaim syi’ah bahwa Ali hanya baru memba’iat Abu
Bakar setelah 6 bulan setelah kewafatan Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam.
Kami jawab : orang itu telah salah dalam mempersepsi riwayat Ibnu Abi
Syaibah di atas. Tidak ada keterangan dalam riwayat di atas kalau Ali
dan Zubair berbaiat kepada Abu Bakar pada hari pembaiatan kaum Muslimin.
Lafaz yang ia jadikan hujjah adalah:
فَانْصَرَفُوا عنها ، فَلَمْ يَرْجِعُوا إِلَيْهَا ، حَتَّى بَايَعُوا لأَبِي بَكْرٍ
Maka mereka pergi darinya dan tidak kembali menemuinya sampai mereka membaiat Abu Bakar
Hujjah pertama : Pada lafaz ini tidak ada keterangan kalau peristiwa
baiat yang dimaksud langsung terjadi setelahnya. Lafaz “hatta” [sampai]
di atas adalah penunjukkan waktu bahwa mereka tidak lagi menemui
Sayyidah Fathimah sampai mereka membaiat Abu Bakar, mengenai waktunya
bisa sebentar, beberapa lama, nanti atau dalam waktu lama. Tidak ada
keterangan yang menyebutkan lamanya waktu itu. Lafaz itu sama halnya
dengan lafaz “dia tidak akan kembali ke rumah sampai dia mendapatkan
uang seratus juta”. Apakah lafaz ini menunjukkan kalau setelah itu ia
langsung mendapatkan uang seratus juta?. Tidak, bisa saja satu bulan,
dua bulang enam bulan atau satu tahun.
Hujjah kedua : perkataan itu tidak tertuju pada Imam Ali, perhatikan
lafaz “maka mereka pergi darinya dan tidak kembali menemuinya”. Siapakah
mereka yang dimaksud?. Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah di atas, mereka
yang dimaksud adalah mereka yang disuruh pergi oleh Sayyidah Fathimah:
فَانْصَرِفُوا رَاشِدِينَ فَرُوْا رَأْيَكُمْ ، وَلاَ تَرْجِعُوا إِلَيَّ
Jadi pergilah dengan damai, simpan pandangan kalian dan janganlah kalian kembali menemuiku
Sayyidah Fathimah berkata “Jangan kalian kembali menemuiku”.
Perkataan ini tidak mungkin ditujukan kepada Imam Ali tetapi ditujukan
kepada Zubair dan orang-orang yang mengikutinya yang ikut berkumpul di
rumah Sayyidah Fathimah. Jadi mereka yang dinyatakan dengan lafaz
“sampai mereka membaiat Abu Bakar” adalah mereka yang diusir dari rumah
Sayyidah Fathimah. Imam Ali bukan termasuk yang diusir dari rumah
Sayyidah Fathimah, lha itu kan rumah Beliau sendiri. Mengenai baiat Imam
Ali terhadap Abu Bakar itu telah disebutkan dalam hadis Shahih Bukhari
riwayat Aisyah bahwa itu terjadi setelah Sayyidah Fathimah wafat yaitu
setelah enam bulan.
Jika orang syi’ah ingin berhujjah dengan riwayat di atas untuk
mendiskreditkan Umar, maka mau ga mau mereka juga harus menerima
beberapa fakta yang terekam dalam riwayat tersebut yang menjatuhkan
klaim-klaim mereka.
Orang ini tidak rela kalau ada yang mendiskreditkan Umar tetapi
ketika ada orang yang mengancam dan menyakiti Ahlul Bait ia berkata “itu
memang ada ajarannya dari Nabi”. Sungguh betapa anehnya mereka ini.
Kami sarankan padanya agar mempelajari bahasa arab dengan lebih baik
sehingga ia tidak salah mempersepsi dan membantah orang dengan salah
persepsinya itu.
Mungkin akan ada yang menjawab, bahwa mengenai pembai’atan Imam Ali
kepada Abu Bakar dilakukan setelah 6 bulan berdalilkan riwayat Bukhari
dari Aisyah, Kita jawab, berarti riwayat di atas keliru, kalau begitu
tidak usah menjadikan riwayat tersebut sebagai dalil sama sekali atau
kita jawab, apa yang diriwayatkan Aisyah dalam shahih Bukhari adalah apa
yang Aisyah ketahui mengenai bai’at Ali, bisa jadi Aisyah tidak
mengetahui bahwa Ali sudah memba’iat Abu Bakar di awal-awal, dan bai’at
Ali pada bulan ke enam adalah bai’at beliau kedua untuk mengclearkan
permasalahan.
Riwayat Ibnu Abi Syaibah di atas tidak bertentangan dengan riwayat
baiat Imam Ali dalam Shahih Bukhari sebagaimana yang telah kami
jelaskan. Riwayat Aisyah tersebut shahih dan tidak ada istilah baiat
kedua, itu cuma istilah yang dibuat-buat, lagipula kalau memang Imam Ali
sudah membaiat di depan orang banyak maka permasalahan apa lagi yang
perlu dipermasalahkan sehingga perlu ada baiat kedua lagi di depan orang
banyak pula. Cuma orang yang lemah akalnya yang berkata begitu.
Aisyah tidaklah menyendiri dalam pernyataan Imam Ali membaiat Abu
Bakar setelah enam bulan. Dalam hadis shahih Bukhari soal baiat Imam Ali
itu terdapat pengakuan Abu Bakar sendiri bahwa Imam Ali memang tidak
pernah membaiatnya selama enam bulan. Aisyah berkata:
فَلَمَّا صَلَّى أَبُو بَكْرٍ الظُّهْرَ رَقِيَ عَلَى الْمِنْبَرِ
فَتَشَهَّدَ وَذَكَرَ شَأْنَ عَلِيٍّ وَتَخَلُّفَهُ عَنْ الْبَيْعَةِ
وَعُذْرَهُ بِالَّذِي اعْتَذَرَ إِلَيْهِ ثُمَّ اسْتَغْفَرَ
Ketika Abu Bakar telah shalat zhuhur, ia naik ke mimbar mengucapkan
syahadat dan menyebutkan masalah Ali dan ketidakikutsertaannya dari
baiat dan alasannya, meminta maaf padanya kemudian beristighfar [Shahih
Bukhari 5/139 no 4240 & 4241].
Jadi apa yang dikatakan Aisyah adalah apa yang ia dengar dan saksikan
dari pengakuan Abu Bakar ra [ayahnya] sendiri. Adakah hujjah yang lebih
kuat dari itu?. Abu Bakar sendiri mengakui kalau Imam Ali memang tidak
membaiat dirinya. Jadi darimana muncul istilah baiat pertama? Itulah
akibat jika orang membaca hadis tidak secara mendalam dan hanya
mengkopipaste hujjah yang suka mentakwil dan mencari-cari dalih.
Mungkin akan ada yang mengatakan bahwa apa yang dilakukan Umar dengan
memperingatkan Ali dan Zubair dengan keras saat itu adalah perbuatan
yang buruk dan tidak berdasar, kita jawab bahwa Umar berlaku tegas
seperti itu bisa kita pahami karena memang terdapat ajaran dari Nabi
shalallahu ‘alaihi wasalam :“Barang siapa datang kepada kalian, sedang
ketika itu urusan kalian ada pada satu orang, kemudian ia ingin membelah
tongkat kalian atau memecah-belah jama’ah kalian, maka bunuhlah ia.”
Dalam riwayat lain: “Pukullah ia dengan pedang, siapa pun orangnya”.
مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمْيْعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ، فَأَرَادَ
أَنْ يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ ؛ فَاقْتُلُوْهُ.
وَفِيْ رِوَايَةٍ : فَاضْرِبُوْهُ بِالسَّيْفِ كَائِنًا مَنْ كَانَ.
Shahîh. HR Muslim (no. 1852) dari Sahabat ‘Arjafah Radhiyallahu ‘anhu.
Justru dengan hadis di atas alfanarku ini mau menyatakan kalau Ali
dan Zubair ingin memecah belah jama’ah kaum muslimin sehingga mereka
layak untuk dibunuh. Kita kembalikan perkataan ini kepadanya, itu
mendiskreditkan Ali dan Zubair atau tidak?. Jangan terus ngeluyur
berbicara kalau tidak bisa menjaga perkataan. Apa buktinya Imam Ali mau
memecah belah kaum muslimin? Bukankah kabar tersebut baru sampai kepada
Umar? Bukankah ada baiknya Umar tabyyun terlebih dahulu?. Apakah Ali dan
Zubair itu orang arab badui yang perlu pakai ancam mengancam? Mengapa
Umar tidak menasehati mereka dengan hadis yang dikutip alfanarku?.
Apakah ada disebutkan Umar mau membunuh Ali dan Zubair? Lantas mengapa
Umar malah mau membakar rumah Sayyidah Fathimah? Bagian mana dari hadis
yang dikutip alfanarku yang menyebutkan soal bakar membakar.
Dan maaf alfanarku sepertinya anda lupa Umar itu sedang berbicara
dengan siapa?. Sayyidah Fathimah yang merupakan putri kesayangan
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] Sayyidah wanita di surga,
seorang ahlul bait yang disucikan dan menjadi pegangan umat islam.
Antara Umar dan Sayyidah Fathimah terdapat kedudukan yang berbeda jauh.
Jelas sangat tidak layak Umar berkata seperti itu kepada Sayyidah
Fathimah apapun alasan naïf yang anda buat untuk membela Umar. Mau anda
kemanakan hadis:
حدثني أبو معمر إسماعيل بن إبراهيم الهذلي حدثنا سفيان عن عمرو عن ابن
أبي مليكة عن المسور بن مخرمة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إنما
فاطمة بضعة مني يؤذيني ما آذاها
Telah menceritakan kepadaku Abu Ma’mar Ismail bin Ibrahim Al Hudzaliy
telah menceritakan kepada kami Sufyan dari ‘Amru dari Ibnu Abi Mulaikah
dari Miswar bin Makhramah yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] bersabda “sesungguhnya Fathimah adalah bagian dari diriku,
menyakitiku apa saja yang menyakitinya” [Shahih Muslim 4/1902 no 2449].
Jadi akhlak atau sikap kepada Sayyidah Fathimah adalah akhlak dan
sikap kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Menyakitinya berarti
menyakiti Nabi [shallallahu alaihi wasallam]. Mengancamnya berarti sama
saja dengan mengancam Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Anggap saja
Umar memang punya alasan seperti yang alfanarku bilang tetapi apakah
memang harus dengan ancaman seperti itu?. Apa Umar tidak memiliki cara
lain sehingga ancaman membakar itu adalah cara satu-satunya yang ia
miliki?. Apakah dengan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] Umar akan
bersikap seperti itu? Kalau Umar berbicara dengan baik kepada Nabi
[shallallahu ‘alaihi wasallam] maka apa salahnya berbicara dengan baik
kepada Sayyidah Fathimah [alaihis salam] dan tidak perlu mengeluarkan
kata-kata yang dapat menyakiti Beliau.
Anda alfanarku hanya terjebak pada kebencian anda kepada Syiah dan
mengkait-kaitkan kami dengan Syiah. Seolah-olah kami disini sedang
melaknat dan mengutuk Umar. Ketahuilah kami tidak pernah melakukan hal
itu, kami hanya menunjukkan bahwa tindakan Umar itu salah dan tidak
baik. Kami disini menyampaikan pembelaan kami terhadap Ahlul Bait.
Perkara anda yang merasa sahabat Umar direndahkan itu adalah persepsi
anda sendiri. Bukankah anda berpandangan sahabat itu tidak maksum tetapi
anehnya sikap anda seolah tidak pernah terima kalau sahabat Umar
melakukan kesalahan. Pembelaan yang anda buat hanya menunjukkan sikap
yang tidak baik kepada Ahlul Bait, tanpa anda sadari anda telah
merendahkan Ahlul Bait dengan menuduh mereka memecah belah kaum
muslimin. Na’udzubillah.
Kami lanjutkan bantahan terhadap orang yang menyebut dirinya sebagai
“pencari kebenaran” alangkah baiknya jika memang demikian. Setelah kami
baca gaya bantahannya hanya ikut-ikutan bergaya pengacara ala alfanarku.
Ali r.a dan Zubair r.a agak lewat dalam memba’aiah Abu Bakar. Berita
ini menyebabkan Umar r.a risau dan menyebabkan dia datang ke rumah
Fatimah r.a untuk memberikan ancaman kepada mereka. Umar r.a khuatir
mereka akan menyebabkan perpecahan di kalangan umat Islam.
Kalau orang ini mau berpendapat seperti alfanarku ya silakan, tetapi
perhatikan dan pikirkan apakah hanya “kekhawatiran” membuat Umar layak
untuk mengancam membakar rumah Ahlul Bait?. Seperti yang kami katakan,
terlepas dari alasan atau seribu alasan yang anda cari untuk Umar itu
tetap membuat ia tidak layak mengancam Ahlul Bait. Tidak bisakah Umar
datang dan berbicara dengan baik kepada Sayyidah Fathimah menunggu Ali,
Zubair dan orang-orang yang mengikuti mereka. Tidak bisakah Umar untuk
tidak mengeluarkan ancaman mau membakar rumah Sayyidah Fathimah.
Bukankah ketika Umar datang orang-orang tersebut tidak ada? Seharusnya
Umar bersabar dan memastikan apa benar orang-orang yang berkumpul di
rumah Sayyidah Fathimah itu memang mau memecah belah kaum muslimin.
Justru yang nampak terlihat Umar begitu saja menyampaikan ancamannya
kepada Sayyidah Fathimah kemudian pergi.
Ancaman Umar r.a tidak memasukkan Fatimah r.a. Lihat semula kepada perkataan yang diboldkan merah
إن أمرتهم أن يحرق عليهم البيت
Terjemahan:
Maka tidak ada yang dapat mencegahku untuk memerintahkan membakar rumah
tersebut bersama mereka yang ada di dalamnya.
Sekiranya Umar r.a ingin membakar Fatimah r.a, maka dah tentu dia akan mengatakan ‘Aku akan membakar kamu’.
Hujjah ini benar-benar seperti anak kecil yang baru belajar bicara.
Ketika anak kecil diancam oleh orang jahat “berikan uangmu atau aku
bakar rumah orangtuamu”. Anak kecilnya tertawa dan berkata “ah bukan aku
yang diancam tapi rumah orang tuaku”. Dan sepertinya anak kecil itu
lupa kalau ia tinggal di rumah tersebut. Hujjah yang mirip dengan
seorang istri yang “aneh” ketika ada orang jahat mengancam “kalau tidak
pindah dari rumah ini akan kubakar suamimu” dan istri menjawab “ah
ancaman itu bukan untukku tapi untuk suamiku”. Kami bertanya kepada anda
wahai “pencari kebenaran” rumah siapa yang anda sebut dalam terjemahan
anda “membakar rumah tersebut” dan Siapa orang yang anda katakan “mereka
yang ada di dalamnya”?. Adakah Imam Ali termasuk di dalam rumah
tersebut?. Adakah Sayyidah Fathimah termasuk di dalam rumah tersebut?.
Rumah yang diancam akan dibakar Umar itu adalah rumah tempat mereka Ali
Zubair dan orang yang mengikuti keduanya berkumpul yaitu rumah Sayyidah
Fathimah. Kami kasihan kalau anda berhujjah dengan gaya seperti itu
karena untuk menjawabnya kami terpaksa menjawab dengan penjelasan
seperti kami menjelaskan sesuatu kepada anak kecil.
Hadith ini dengan sendirinya menjadi salah satu hujah kukuh bahawa
Ali r.a dan Zubair r.a telah memba’iah Abu Bakar r.a pada hari tersebut
dan bukannya selepas 6 bulan seperti dakwaan syiah
Maaf sekedar informasi buat anda, Imam Ali membaiat Abu Bakar setelah
enam bulan bukanlah dakwaan Syiah tetapi begitulah yang disebutkan
dalam hadis Shahih Bukhari riwayat Aisyah ra. Jika itu dianggap Syiah
atau sumber Syiah maka kami sarankan agar anda mengecek kembali definisi
Syiah yang sudah anda pelajari.
Satu lagi point penting yang didiamkan syiah ialah kemuliaan Fatimah
r..a disisi Umar r.a. Kita lihat semula bagaimana Umar r.a memanggil
Fatimah r.a dengan panggilan mulia. Rujuk kepada teks yang diboldkan
ungu
يا بنت رسول الله (ص) ! والله ما من أحد أحب إلينا من أبيك ، وما من أحد أحب إلينا بعد أبيك منك
Terjemahan: ”Wahai puteri Rasulullah SAW, demi Allah tidaklah dari
seorangpun yang lebih kami cintai daripada ayahmu, dan tidaklah dari
seorangpun yang kami lebih cintai selepas ayahmu daripada kamu
Persoalannya, apakah logik seseorang yang benar-benar ingin membakar
rumah musuhnya akan memanggil musuhnya dengan perkataan yang menunjukkan
kasih sayang?? Lebih dari, apakah logik dalam riwayat-riwayat jahat
syiah mengatakan Umar r.a memukul Fatimah sehingga gugur janinnya
sedangkan pada awalnya Umar r.a sendiri sangat menghormati beliau??
Maaf pada situasi tersebut kami ragu dengan apa yang anda katakan
“Umar sangat menghormati Beliau”. Dimana letak rasa hormatnya, ketika ia
mengancam membakar rumah orang yang dihormatinya?. Seperti alfanarku
andapun mengidap penyakit yang sama. Anda tidak bisa membedakan antara
“klaim” dan “fakta”. Ucapan Umar kalau Sayyidah Fathimah yang paling
kami cintai adalah klaim tetapi ucapan Umar yang mengancam membakar
rumah Sayyidah Fathimah adalah fakta, Ternyata cinta yang ia katakan itu
tidak mampu mencegahnya dari mengancam membakar rumah ahlul bait. Jadi
tidak ada kaitannya dengan logik dan tidak logik, kemudian satu lagi
kami tidak pernah menyatakan Umar membakar rumah Ahlul Bait yang benar
adalah Umar mengancam akan membakar rumah Ahlul Bait. Ada bedanya itu
wahai kisanak dan Soal riwayat syiah, Umar memukul Fathimah maaf itu
bukan urusan kami dan kami tidak pernah mengutipnya. Itu adalah riwayat
Syiah yang kami pribadi tidak mengetahui kebenarannya.
Umar r.a al-Khattab merupakan seorang yang faqih dalam urusan agama.
Tindakan beliau mengancam untuk membakar bukanlah untuk membunuh ahlul
bait sebaliknya ia fahami sebagai kewajipan berba’aiah kepada khalifah
yang sah dan mengelakkan perpecahan:
عَنْ زِيَادِ بْنِ عِلَاقَةَ قَالَ سَمِعْتُ عَرْفَجَةَ قَالَ سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّهُ
سَتَكُونُ هَنَاتٌ وَهَنَاتٌ فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُفَرِّقَ أَمْرَ هَذِهِ
الْأُمَّةِ وَهِيَ جَمِيعٌ فَاضْرِبُوهُ بِالسَّيْفِ كَائِنًا مَنْ كَانَ
Terjemahan: Dari Ziyad bin ‘Ilaqah, katanya, ‘Aku mendengar ‘Arjafah
katanya,’ Aku mendengar nabi SAW berkata, ‘ Sesungguhnya akan terjadi
bencana dan kekacauan, maka sesiapa saja yang ingin memecah belahkan
persatuan umat ini maka penggallah dengan pedang walau siapapun dia
Rujukan: Sahih Muslim, Kitab Kepimpinan, Bab Hukum Bagi Orang Yang
Memecahbelahkan Urusan Kaum Muslimin, hadith no 3442, Maktabah Shamela
Oh begitu, adakah hadis shahihnya bahwa kewajiban berbaiat kepada
Khalifah ditegakkan dengan mengancam membakar rumah. Perpecahan mana
yang anda katakan “dielakkan”. Siapakah yang anda tuduh membuat
perpecahan? Sayyidah Fathimah dan Imam Ali?. Jadi begitukah tindakan
seorang faqih jika putri kesayangan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] tidak membaiat maka diancam rumahnya akan dibakar. Mengapa
anda mengutip hadis Shahih Muslim untuk membenarkan tindakan Umar
padahal didalamnya tidak ada sedikitpun keterangan soal bakar membakar.
Bukankah dalam hadis tersebut “siapa saja yang memecah belah umat maka
penggallah dia”. Mengapa dalam bahasa Umar kata “penggallah dengan
pedang” berubah menjadi “membakar rumah”. Umar ra yang tidak paham atau
anda yang sedang melantur berhujjah dengan hadis Shahih Muslim yang
tidak pada tempatnya.
Selain itu, bukti ancaman menunjukkan kepentingan satu urusan boleh
difahami dengan melihat ancaman yang yang dilakukan nabi Muhammad s.a.w
sendiri.
Telah tsabit dalam hadith yang sahih nabi mengancam untuk membakar
rumah-rumah mereka yang tidak bersolat jemaah bahkan nabi juga mengancam
untuk memotong tangan pencuri hatta Fatimah r.a sekalipun!!
Astaghfirullah, sekarang anda mengatasnamakan Nabi [shallallahu
‘alaihi wasallam] untuk membenarkan ancaman Umar kepada Sayyidah
Fathimah. Mari kami tunjukkan hadis shahih yang anda maksud:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ
أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ
بِالصَّلَاةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ
ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf yang berkata telah
mengabarkan kepada kami Malik dari Abi Zanaad dari Al A’raj dari Abu
Hurairah bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “demi
Yang jiwaku berada di tangan-Nya sungguh aku berkeinginan kiranya aku
memerintahkan orang-orang mengumpulkan kayu bakar kemudian aku
perintahkan mereka shalat yang telah dikumandangkan azannya kemudian aku
memerintahkan salah seorang menjadi imam lalu aku menuju orang-orang
yang tidak shalat berjama’ah kemudian aku bakar rumah-rumah mereka
[Shahih Bukhari 1/131 no 644].
Kalau hadis ini yang anda jadikan hujjah maka kami katakan hujjah
anda itu “absurd”. Perhatikan lafaz perkataan Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] “hamamtu” yang bisa diartikan berkeinginan dalam
hatiku maksudnya itu adalah sesuatu yang terbersit di dalam hati Nabi
[shallallahu ‘alaihi wasallam] dan Beliau ucapkan bukan sebagai ancaman
tetapi untuk menekankan betapa penting dan wajibnya shalat berjama’ah.
Kalau anda mengartikan Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] sedang
mengancam langsung kepada orang-orang tersebut maka anda keliru, Nabi
[shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak sedang berbicara kepada mereka yang
tidak shalat berjamaah dengan kata-kata ancaman. Beliau [shallallahu
‘alaihi wasallam] mengutarakan apa yang terbersit dalam hatinya kepada
sahabat yang kebetulan berada di sana yaitu Abu Hurairah. Tidak ada
ceritanya Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] datang menemui mereka yang
punya rumah dan mengancam membakar rumah mereka kalau mereka tidak
shalat berjama’ah. Ada perbedaan yang nyata antara melakukannya
mengancam langsung dengan mengutarakan apa yang terbersit di dalam hati.
Itu adalah bahasa kiasan yang menunjukkan betapa pentingnya shalat
berjama’ah bukannya diartikan sebagai ancaman langsung Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] kepada orang-orang tersebut.
Berbeda dengan kasus ini, Umar bin Khaththab itu jelas-jelas datang
menemui Sayyidah Fathimah dan bersumpah dengan nama Allah SWT kalau
orang-orang tersebut berkumpul di rumah atau di sisi Sayyidah Fathimah
maka ia akan membakar rumah Sayyidah Fathimah. Ini benar-benar ancaman
bahkan Sayyidah Fathimah mengatakan kalau Umar akan melakukan apa yang
telah bersumpah atasnya. Itulah sebabnya Sayyidah Fathimah mengusir
orang-orang tersebut dari rumahnya dan berkata jangan menemuinya lagi
untuk mencegah tindakan Umar.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ ابْنِ
شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ
قُرَيْشًا أَهَمَّهُمْ شَأْنُ الْمَرْأَةِ الْمَخْزُومِيَّةِ الَّتِي
سَرَقَتْ فَقَالُوا وَمَنْ يُكَلِّمُ فِيهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ إِلَّا
أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ حِبُّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَكَلَّمَهُ أُسَامَةُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ ثُمَّ قَامَ
فَاخْتَطَبَ ثُمَّ قَالَ إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ
أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا
سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ
لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id yang berkata telah
menceritakan kepada kami Laits dari Ibnu Syihaab dari Urwah dari Aisyah
radiallahu ‘anha bahwa kaum Quraisy menghadapi masalah yaitu wanita suku
Mahzumiy mencuri kemudian mereka berkata “siapa yang mau membicarakan
tentangnya kepada Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Mereka
berkata “tidak ada yang berani menghadap Beliau kecuali Usamah bin Zaid
yang paling dicintai Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] maka
berbicaralah Usamah. Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda
“Apakah kamu meminta keringanan pelanggaran aturan Allah?. Kemudian
Beliau berdiri menyampaikan khutbah kemudian bersabda “sesungguhnya
orang-orang sebelum kalian binasa karena apabila ada orang dari kalangan
terhormat mereka mencuri mereka membiarkannya dan apabila ada orang
dari kalangan rendah mencuri maka mereka menagakkan atasnya hukum. Demi
Allah, seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri pasti aku potong
tangannya [Shahih Bukhari 4/175 no 3475].
Hadis inikah yang anda jadikan hujjah. Siapa yang menurut anda sedang
diancam oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]?. Apa anda mau
mengatakan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sedang mengancam
Sayyidah Fathimah?. Maaf tolong perbaiki terlebih dahulu cara anda
berhujjah. Hadis ini sangat jelas tidak sama dengan apa yang dilakukan
Umar ketika ia mengancam mau membakar rumah Sayyidah Fathimah.
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sedang menyampaikan hukum
Allah SWT kepada umatnya dan bahasa yang Beliau gunakan bukanlah ancaman
kepada orang tertentu.
Kemudian terakhir anda mengutip riwayat Syiah yang menguatkan hujjah
anda bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] pernah mengancam
orang yang tidak ikut shalat berjama’ah secara langsung.
Ketahuilah, dalam kitab syiah sendiri terdapat riwayat-riwayat nabi
Muhammad SAW ingin membakar rumah-rumah mereka yang tidak mengerjakan
solat jemaah bersama baginda. Walaupun kitab syiah tidak bernilai disisi
sunni, kita tetap menukilkannya supaya syiah sedar akan keburukan
tohama.
عن النبي صلى الله عليه وآله ، أنه قال لجماعة لم يحضروا المسجد معه : ( لتحضرن المسجد ، أو لاحرقن عليكم منازلكم
Terjemahan: Dari nabi s.a.w, sesungguhnya baginda berkata kepada
jemaah yang tidak hadir bersamanya ke masjid, ‘ Hadirlah kamu ke masjid
atau aku akan membakar rumah-rumah kamu
Sumber: Man La Yahduru al-Faqih, hadith 1092 , Bab Jamaah dan kelebihannya, Wasail Shia, no 10697.
Kami sekedar iseng menggoogle riwayat yang anda kutip. Ternyata
riwayat yang anda kutip tidak memiliki sanad dalam referensi syiah yang
anda sebutkan. Jadi secara ilmu hadis yang sederhana saja maka riwayat
tersebut dhaif. Tentu saja saudara kami yang Syiah lebih berkompeten
untuk menilai hadis ini. Kami pribadi tidak menemukan adanya riwayat
shahih bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengancam
langsung kepada para sahabat yang tidak ikut shalat berjama’ah agar
datang ke masjid kalau tidak rumah mereka akan Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] bakar. Tetapi ada hadis Rasulullah [shallallahu
‘alaihi wasallam] yang berbunyi menyakiti Fathimah berarti menyakitiku.
Anda mau kemanakan hadis ini, walaupun anda mencari seribu alasan untuk
membenarkan tindakan Umar kami akan katakan tindakan Umar salah cukup
dengan hadis ini.
Umat Islam seharusnya berhati-hati dengan taktik kotor syiah dalam
memfitnah Umar r.a. Kita dapat lihat sendiri bagaimana mereka
mempertahankan status riwayat ini namun mendiamkan konteks yang sebenar.
Justru saya melihat bantahan anda yang kotor. Syiah tidak memfitnah
Umar, jika Syiah mencela Umar dengan riwayat-riwayat dalam kitab mereka
maka itu urusan mereka sendiri dan akan mereka pertanggungjawabkan di
hadapan Allah SWT. Tetapi ketika Syiah mengutip riwayat Ibnu Abi Syaibah
maka itu adalah benar dan tidak ada fitnah yang anda maksud. Begitu
pula ketika kami membahas riwayat ini dimana kami menyalahkan Umar dan
membela Ahlul Bait. Soal konteks yang anda sebut maka itu adalah
persepsi anda yang anda gunakan untuk membenarkan tindakan Umar.
Walaupun konteks tersebut ada tetap saja tindakan Umar yang mengancam
membakar rumah Sayyidah Fathimah itu salah. Menegakkan hukum itu dengan
dalil dan bukti. Apa buktinya Sayyidah Fathimah mau memecah belah umat?.
Apa dalilnya kalau baiat ditegakkan dengan ancaman membakar rumah?.
Siapakah Umar saat itu? Apakah ia khalifah yang sedang dibaiat sehingga
berhak menentukan hukum?. Sebelum anda sibuk mencari-cari konteks tolong
pahami dulu baik-baik apa yang sedang dipermasalahkan. Konteks yang
anda buat tidak menjadikan tindakan ancaman Umar membakar rumah Sayyidah
Fathimah sebagai perbuatan yang dibenarkan.
Terakhir kami akan membantah salah satu situs berbahasa inggris yang
juga membahas riwayat ini. Dengan angkuhnya ia mengatakan Syiah sebagai
jahil dalam bahasa Arab. Silakan dilihat poin yang ia katakan dan
nilailah sendiri siapa sebenarnya yang jahil. Inilah perkataannya.
Points to note:
1. Ameer al-Mu‘mineen Omar bin al-Khattab[ra] showed the rank of
Fatima[ra] by saying she was most beloved to the people and him after
her father.
2. Omar[ra] did not threaten Fatima[ra], but warned her about those
gathering in her house. This can be seen by the statement ‘Alaihim’ and
not ‘Alaikum’ in the statement ” أن يحرق عليهم البيت ” “if that group
gathers in your house, to order that their house be set afire”.
Comment: But shia play the game with arabic because they are jahil persians
Persis seperti yang dilakukan dua orang sebelumnya atau lebih
tepatnya mungkin mereka berdua mengkopipaste cara situs ini
berargumentasi. Poin pertama sudah dijawab. Klaim atau pengakuan tidak
menjadi hujjah yang menafikan apa yang telah dilakukan oleh Umar yaitu
mengancam membakar rumah Sayyidah Fathimah. Kami lebih tertarik dengan
poin kedua dimana ia berakrobat kalau kata yang digunakan adalah
“Alaihim” bukan “Alaikum” dan lihat terjemahannya untuk kata:
أن يحرق عليهم البيت
Ia terjemahkan dengan “that their house be set afire”. Jadi bahasa
indonesianya perkataan Umar adalah seperti ini “jika orang-orang ini
berkumpul di rumahmu maka aku perintahkan untuk membakar rumah-rumah
mereka dengan api”.
Justru orang ini yang jahil dalam bahasa arab dan sedang
bermain-main. Kalau memang itu artinya “that their house be set afire”
maka lafaz arabnya bukan عليهم البيت ‘Alaihimul bait tetapi عَلَيْهِمْ
بُيُوتَهُمْ ‘Alaihimul buyutihum. Kata Their house atau rumah-rumah
mereka adalah bentuk jamak sedangkan lafaz riwayat Ibnu Abi Syaibah
diatas “bait” dalam bentuk tunggal. Jelas bahwa terjemahan yang benar
adalah rumah tempat mereka berkumpul yaitu rumah Sayyidah Fathimah. Dan
seandainyapun ia berkeras dengan salah terjemahannya tetap saja kata
“their house” mencakup rumah Imam Ali karena mereka yang dimaksud itu
adalah Ali, Zubair dan orang-orang yang mengikuti keduanya. Jadi menurut
terjemahan situs berbahasa inggris itu maka Umar mau membakar rumah
masing-masing mereka termasuk rumah Imam Ali yang merupakan rumah
Sayyidah Fathimah juga. Itulah dari awal mengapa kami katakan kalau
bantahan mereka neonashibi itu mandul semua. Niatnya membantah tetapi
faktanya tidak ada yang mereka bantah.
(Syiahali/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar