Attack on fatimah’s a.s Home-May Allah crush them!!!!
Diupload tanggal 19 Mei 2010
This
video is based on authentic sunni ahadith for the attack and death of
Bibi Fatima Salamullah Alaiha.Plz recite surah Fatiha for all momineen
and mominaat.
*****
Diupload tanggal 2 Mei 2009
The
history knows who were those swine's child,who atacked on the Home of
Imam Ali a.s...whch resulted in Shahadat of Bibi Fatima a.s....May Allah
crush them n their generations!!!
*****
Diterbitkan tanggal 25 Mar 2012
Attack
on Fatima s.a By Umar bin Khattab. Some Sunni ulamas lies their mass,
So I have made this video .In book Musannaf , Ibn Abi saiba, Vol 13
Bab Kitab Magazi, Every narrator of this chain is siqa. ( Next two
videos will be with more proof and killing of Muhsin a.s)
*****
Diupload tanggal 11 Jul 2009
*****
Diupload tanggal 4 Jun 2008
Shortly
after the death of prophet Muhammad (pbuH) the home of imam ali(as) and
lady Fatima(as) was burned down, whilest they were inside. The heavy
tilt of the door broke the hand and ribs of the daughter of the Prophet
of islam.
The account of the last day of her life clearly shows the greatness of the daughter of the prophet (pbuH).
she told her household that she was feeling better, the pain in her ribs and broken hand was not so severe. She then started bathing the children, immediately Imam Ali (as) and bibi Fizza came to her assistance. She got the children bathed, clothed and dressed and then fed, then sent them away to her cousin. Then she called imam Ali to her side and said "Ali, my dear husband, you know very well why i did that. Please excuse my fullness, they have suffered so much with me and during my illness that i want to see them happy on the last day of my life".
This video is based on the text referenced from Nahjul Balagha, which gives an account of the final words of the Great Lady Fatima (as) before her sad passing....
The account of the last day of her life clearly shows the greatness of the daughter of the prophet (pbuH).
she told her household that she was feeling better, the pain in her ribs and broken hand was not so severe. She then started bathing the children, immediately Imam Ali (as) and bibi Fizza came to her assistance. She got the children bathed, clothed and dressed and then fed, then sent them away to her cousin. Then she called imam Ali to her side and said "Ali, my dear husband, you know very well why i did that. Please excuse my fullness, they have suffered so much with me and during my illness that i want to see them happy on the last day of my life".
This video is based on the text referenced from Nahjul Balagha, which gives an account of the final words of the Great Lady Fatima (as) before her sad passing....
*****
Diupload tanggal 12 Mar 2011
Remember me in your Prayers : Yousuf Captain
*****
Diupload tanggal 24 Mei 2011
Ahmad ibn Hanbal in his Musnad, vol. 28, p. 88, Number 16876 (Muasassat al-Risalah) records:
قال رسول الله: من مات بغير إمام مات ميتة جاهلية
Allah's Apostle said: "Whosoever dies without an Imam dies the death of Jahiliyyah (i.e. a pagan death)."
The annotator says:
هذا حديث صحيح لغيره وهذا إسناد حسن من أجل عاصم وبقية رجاله ثقات، رجال الشيخين
This Hadith is sahih via corroboration, and this chain is hasan on account of Asim, while the rest of the narrators are trustworthy, being narrators of the Two Shaykhs.
Sahih Bukhari Volume 4, Book 53, Number 325:
Narrated Ayesha(mother of the believers),'After the death of Allah's Apostle Fatima,the daughter of Allah's Apostle asked Abu Bakr As-Siddiq to give her the share of inheritance from what Allah's Apostle had left of the Fai (i.e. booty gained without fighting)which Allah had given him. Abu Bakr said to her, "the Holy Prophet (saww) had said, 'Our property will not be inherited, whatever we (i.e. prophets) leave is Sadaqah (to be used for charity)." Fatima, the daughter of Allah's Apostle got angry and stopped speaking to Abu Bakr, and continued assuming that attitude till she died. Fatima remained alive for six months after the death of the Holy prophet(saww).
*****
Remembering the attack on Fatima’s house
Diupload tanggal 21 Mar 2007
S. Hani Al-Wedaei
Commemoration event remembering the vicious attack on Fatima, the Prophet's daughter, 1400 years ago at the hands of the master terrorist and spiritual leader of today's long-bearded monsters.
The event was held in Matem Al-Imam Ali in Abuguwweh, Bahrain, on March 20, 2007 in which Husain Ahmed, S. Hani Al-Wedaei and Saleh Al-Dirazy participated.
For the full coverage (79 mins video), please see http://al-imam.net/media/1428/saf/tes...
Commemoration event remembering the vicious attack on Fatima, the Prophet's daughter, 1400 years ago at the hands of the master terrorist and spiritual leader of today's long-bearded monsters.
The event was held in Matem Al-Imam Ali in Abuguwweh, Bahrain, on March 20, 2007 in which Husain Ahmed, S. Hani Al-Wedaei and Saleh Al-Dirazy participated.
For the full coverage (79 mins video), please see http://al-imam.net/media/1428/saf/tes...
ذكرى تسقيط سيدة نساء العالمين فاطمة الزهراء على يد سيد الإرهابيين ومؤسس مدرسة العنف والترعيب في الإسلام
==============================
Penyerangan Rumah Fatimah AS Membuktikan Abubakar cs Mustahil Dijamin Surga ! Akhirnya Kutemukan Kebenaran.
syiah, mereka bukan mencaci maki sahabat tetapi lebih
kepada memberikan penjelasan secara lebih proposional antara sahabat
nabi : mana yang jujur dan mana yang tidak/kurang jujur…
Apakah Islam melarang mengkritisi orang yang bersalah?
Dalil Naqli Dan Aqli Adanya Penyerangan Rumah Fatimah AS
Abu Bakar berkata:Aku menyesal terhadap tiga perkara yang telah ku
lakukan, aku suka sekali sekiranya tidak melaksanakannya. Salah satunya
ialah serangan terhadap rumah Fathimah Az-Zahra. Aku suka sekali kalau
tidak merusak rumah Fathimah untuk membongkar apapun sekalipun aku…
لا تحزن ان الله معنا
Janganlah kamu takut karena Allah bersama kita.
Janganlah kamu takut karena Allah berada dikelompok kita.
Janganlah kamu takut karena Allah yang menjadi pendukung kita.
Janganlah kamu takut karena Allah yang menjadi penolong kita.
Janganlah kamu takut karena Allah swt yang menjadi pembela kita.
Janganlah kamu takut karena Allah swt yang menjadi penunjuk kita.
Ini bukti bahwa anda tidak memahami relasi antara tawalli (mahabbah) dan tabarri (bughd). Syiah tidak pernah menyatakan ungkapan seperti: “Sahabat sayyidina Ammar Yasir radhiyallahu anhu telah dibunuh oleh sahabat Muawiyah ”.
Karena mustahil dalam peristiwa pembunuhan itu keduanya benar. Syiah akan meneliti kasusnya dan menyatakan siapa yang benar dan siapa yang salah. Yang salah harus dilepastangani (tabarri) dan yang benar harus ditiru (tawalli). Ini berbeda dengan konsep “kebaikan (’udul) semua sahabat” yang diyakini oleh Ahlusunnah secara umum. Sehingga dari situ mereka akan terpaksa membenarkan dua sahabat dalam kasus saling caci, saling fitnah, bahkan saling bunuh.
Saya hanya ingin mengajak berpikir, agar kita kritis dalam menghadapi hal-hal semacam itu, apalagi pembohongan atas nabi.
Sebuah syubhat yang kerap ditudingkan kelompok wahabi
adalah syubhat yang berkaitan erat dengan para ahlul bait yang lima,
baik terhadap imam Ali, Fatimah sa, imam Hasan dan Husain.
Pada kesempatan ini mari kita urai terkait syubhat yang
ditujukan pada kelompok syiah atau sunni. Syubhat yang berkaitan
langsung dengan empat orang ahlul bait Nabi Muhammad saaw, syubhat kasus
penyerangan rumah Fatimah sa.
Dalam syubhat itu dipertanyakan bagaimana mungkin Ali bin
Abi Thalib sang Haidar, sang jagoan dimedan laga membiarkan non mahram
menyerang istrinya, menyerang rumahnya, padahal sebagai seorang muslim
maka Ali bin Abi Thalib harus melakukan jihad pembelaan diri?
Disini dalam syubhat ini ada beberapa poin yang perlu kita perhatikan:
Pertama, Ali as itu seorang pemberani.
Kedua, dalam syubhat ini digambarkan Ali itu tidak mau
melakukan pembelaan diri. Beliau membiarkan keluarganya diserang oleh
orang-orang yang disebut sebagai sahabat-sahabat Nabi Muhammad saaw.
Beliau diam sama sekali tanpa melakukan perlawanan apalagi mengangkat
pedang.
Ketiga, membela diri dan keluarga adalah salah satu kewajiban seorang muslim.
Keempat, hal ini menunjukkan adanya ketimpangan karena
untuk keberanian Imam Ali as tidak ada sedikitpun keraguan, karena orang
arab sendiri ketika ada keluarganya mati di medan laga dan yang
membunuh adalah Ali maka mereka akan bangga, sebab tidak ada seorang
musuh pun yang selamat ketika berperang melawan Ali as.
Kelima, jadi dengan syubhat diatas diangkat tujuan untuk
menolak bahwa sebenarnya tidak pernah terjadi penyerangan terhadap rumah
Fatimah sa.
Sesungguhnya syubhat ini tidak hanya datang dari kalangan
wahabi yang memang gemar sekali mencipta fitnah untuk menyerang syiah,
tapi juga dikalangan interen syiah sendiri. Namun ada perbedaan diantara
keduanya walau syubhat isinya sama. Ketika syubhat itu ditanyakan
interen syiah tujuannya untuk mengetahui apa hikmat dan tujuan dari Imam
Ali mengapa melakukan seperti itu jika memang itu beliau lakukan.
Mengingat prilaku seorang imam jaman jelas hal itu pasti berdasarkan
pada pemikiran dan pertimbangan yang luas. Sedang ketika syubhat ini
dilayangkan kelompok takfiri tujuannya lain, tujuan mereka tidak lain
adalah untuk mengingkari kejadian pemakaman sayidah Fatimah sa yang
dilakukan secara rahasia, sehingga manusia terutama umat Islam tidak
perlu bingung dengan pertanyaan dimanakah tempat Fatimah sa dimakamkan?
Seperti kita tahu, ketika ada yang menanyakan dimana makam
Fatimah sa maka otomatis dia akan sampai pada pertanyaan mengapa sampai
makam beliau tidak diketahui, mengapa beliau mewasiatkan untuk
dimakamkan dimalam hari, mengapa Abu Bakar bin Kuhafah dan Umar bin
Khatab tidak diberitahu untuk datang mengiring kepergian jenazah Fatimah
sa dst sampai pada pertanyaan alasan apa yang membuat sayidah Fatimah
sa melakukan tindakan tersebut.
Terkait Penyerangan rumah dan syahâdah Fatimah Zahra sa
kami akan mengutip beberapa matan dari kitab-kitab Ahlusunnah sehingga
menjadi jelas bahwa masalah penyerangan kediaman Hadhrat Fatimah Zahra
Sa merupakan sebuah peristiwa sejarah faktual serta bukan sebuah mitos
dan legenda!! Meski pada masa para khalifah terjadi sensor besar-besaran
terhadap penulisan keutamaan dan derajat (para maksum); akan tetapi
kaidah menyatakan bahwa “hakikat (kebenaran) adalah penjaga sesuatu.”
Hakikat sejarah ini tetap hidup dan terjaga dalam kitab-kitab sejarah
dan hadis. Di sini kami akan mengutip beberapa referensi dengan
memperhatikan urutan masa semenjak abad-abad pertama hingga masa kini.
1. Ibnu Abi Syaibah dan kitab “Al-Musannif”
Abu Bakar bin Abi Syaibah (159-235 H) pengarang kitab al-Mushannif dengan sanad sahih menukil demikian:
“Tatkala orang-orang memberikan baiat kepada Abu Bakar, Ali
dan Zubair berada di rumah Fatimah berbincang-bincang dan melakukan
musyawarah. Hal ini terdengar oleh Umar bin Khattab. Ia pergi ke rumah
Fatimah dan berkata, “Wahai putri Rasulullah, ayahmu merupakan orang
yang paling terkasih bagi kami dan setelah Rasulullah adalah engkau.
Namun demi Allah! Kecintaan ini tidak akan menjadi penghalang. Apabila
orang-orang berkumpul di rumahmu maka Aku akan perintahkan supaya
rumahmu dibakar. Umar bin Khattab menyampaikan ucapan ini dan keluar.
Tatkala Ali As dan Zubair kembali ke rumah, putri Rasulullah Saw
menyampaikan hal ini kepada Ali As dan Zubair: Umar datang kepadaku dan
bersumpah apabila kalian kembali berkumpul maka ia akan membakar rumah
ini. Demi Allah! Apa yang ia sumpahkan akan dilakukannya![1]
2. Baladzuri dan kitab “Ansab al-Asyrâf”
Ahmad bin Yahya Jabir Baghdadi Baladzuri (wafat 270)
penulis masyhur dan sejarawan terkemuka, mengutip peristiwa sejarah ini
dalam kitab “Ansab al-Asyrâf” sebagaimana yang telah disebutkan.
Abu Bakar mencari Ali As untuk mengambil baiat darinya,
namun Ali tidak memberikan baiat kepadanya. Kemudian Umar bergerak
disertai dengan alat untuk membakar dan kemudian bertemu dengan
Fatima di depan rumah. Fatimah berkata, “Wahai putra Khattab! Saya
melihat kau ingin membakar rumahku? Umar berkata, “Iya. Perbuatan ini
akan membantu pekerjaan yang untuknya ayahmu diutus.”[2]
3. Ibnu Qutaibah dan kitab “Al-Imâmah wa al-Siyâsah”
Sejarawan kawakan Abdullah bin Muslim bin Qutaibah
Dainawari (216-276) yang merupakan salah seorang tokoh dalam sastra dan
penulis kawakan dalam bidang sejarah Islam, penulis kitab “Ta’wil
Mukhtalaf al-Hadits” dan “Adab al-Kitab” dan sebagainya. Dalam kitab
“Al-Imamah wa al-Siyasah” ia menulis sebagai berikut:
“Abu Bakar mencari orang-orang yang menghindar untuk
memberikan baiat kepadanya dan berkumpul di rumah Ali bin Abi Thalib.
Kemudian ia mengutus Umar untuk mendatangi mereka. Ia datang ke rumah
Ali As dan tatkala ia berteriak untuk meminta mereka keluar namun
orang-orang dalam rumah tidak mau keluar. Melihat hal ini Umar meminta
supaya kayu bakar dikumpulkan dan berkata, “Demi Allah yang jiwa Umar di
tangan-Nya! Apakah kalian akan keluar atau aku akan membakar rumah
(ini).” Seseorang berkata kepada Umar, “Wahai Aba Hafs (julukan Umar)
dalam rumah ini ada Fatimah, putri Rasulullah.” Umar menjawab:
“Sekalipun.”!![3]
Ibnu Qutaibah sebagai kelanjutan kisah ini, menulis lebih
mengerikan, “Umar disertai sekelompok orang mendatangi rumah Fatimah. Ia
mengetuk rumah. Tatkala Fatimah mendengar suara mereka, berteriak
keras: “Duhai Rasulullah! Selepasmu alangkah besarnya musibah yang
ditimpakan putra Khattab dan putra Abi Quhafah kepada kami.” Tatkala
orang-orang yang menyertai Umar mendengar suara dan jerit tangis
Fatimah, maka mereka memutuskan untuk kembali namun Umar tinggal
disertai sekelompok orang dan menyeret Ali keluar rumah dan membawanya
ke hadapan Abu Bakar dan berkata kepadanya, “Berbaiatlah.” Ali berkata,
“Apabila Aku tidak memberikan baiat lantas apa yang akan terjadi?”
Orang-orang berkata, “Demi Allah yang tiada tuhan selain-Nya, kami akan
memenggal kepalamu.”[4]
Tentu saja penggalan sejarah ini sangat berat dan pahit
bagi mereka yang mencintai syaikhain (dua orang syaikh, Abu Bakar dan
Umar). Karena itu, mereka meragukan kitab ini sebagai karya Ibnu
Qutaibah. Padahal Ibnu Abil Hadid, guru sejarah ternama, memandang bahwa
kitab ini merupakan karya Ibnu Qutaibah dan senantiasa menukil hal-hal
di atas. Namun amat disayangkan kitab ini telah mengalami distorsi dan
sebagian hal telah dihapus tatkala dicetak sementara hal yang sama
disebutkan dalam Syarh Nahj al-Balâghah karya Ibnu Abil Hadid.
Zarkili menegaskan bahwa kitab “Al-Imâmah wa al-Siyâsah”
ini merupakan karya Ibnu Qutaibah dan mengimbuhkan bahwa sebagian
memiliki pendapat terkait dengan masalah ini. Artinya keraguan dan
sangsi disandarkan kepada orang lain bukan kepada mereka, sebagaimana
Ilyas Sarkis[5] memandang bahwa kitab ini merupakan salah satu karya Ibnu Qutaibah.
4. Thabari dan kitab “Târikh”
Muhammad bin Jarir Thabari (W 310 H) dalam Târikh-nya peristiwa penyerangan ke rumah wahyu menjelaskan demikian:
Umar bin Khattab mendatangi rumah Ali bin Abi Thalib
sementara sekelompok orang-orang Muhajir berkumpul di tempat itu. Umar
berkata kepada mereka: “Demi Allah! Saya akan membakar rumah ini kecuali
kalian keluar untuk memberikan baiat.” Zubair keluar dari rumah sembari
membawa pedang terhunus, tiba-tiba kakinya terjungkal dan pedangnya
terjatuh. Dalam kondisi ini, orang lain menyerangnya dan mengambil
pedang darinya.[6]
Penggalan sejarah ini merupakan sebuah indikator bahwa
pengambilan baiat dilakukan dengan intimidasi dan ancaman. Seberapa
nilai baiat semacam ini? Kami persilahkan Anda untuk menjawabnya
sendiri.
5. Ibnu Abdurabih dan kitab “Al-‘Aqd al-Farid”
Syihabuddin Ahmad yang lebih dikenal dengan Ibnu Abdurabih
Andalusi (463 H) penulis kitab al-Aqd al-Farid dalam kitabnya menulis
sebuah pembahasan rinci terkait dengan sejarah Saqifah dengan judul
“Orang-orang yang menentang baiat kepada Abu Bakar.” Berikut tulisannya,
“Ali, Abbas dan Zubair duduk di rumah Fatimah dimana Abu Bakar mengutus
Umar bin Khattab untuk mengeluarkan mereka dari rumah Fatimah. Ia
berkata kepadanya, “Apabila mereka tidak keluar, maka berperanglah
dengan mereka! Dan ketika itu, Umar bin Khattab bergerak menuju ke rumah
Fatimah dengan membawa api untuk membakar rumah tersebut. Dalam kondisi
seperti ini, ia berjumpa dengan Fatimah. Putri Rasulullah Saw berkata,
“Wahai putra Khattab! Kau datang untuk membakar (rumah) kami. Ia
menjawab: “Iya. Kecuali kalian memasuki apa yang telah dimasuki umat![7]
Kiranya kami cukupkan sampai di sini penggalan kisah
tentang adanya keinginan untuk menyerang rumah Fatimah. Sekarang mari
kita mengulas pembahasan kedua kita yang menunjukkan alasan adanya niat
untuk menyerang ini.
Apakah penyerangan itu benar-benar terjadi?
Di sini ucapan-ucapan kelompok yang hanya menyinggung niat
buruk khalifah dan para pendukungnya berakhir sampai di sini saja.
Sebuah kelompok yang tidak ingin atau tidak mampu menyuguhkan laporan
tragedi yang terjadi dengan jelas, sementara sebagian kelompok
menyinggung inti tragedi yaitu penyerangan terhadap rumah dan
sebagainya, sehingga tersingkap kedok yang sebenarnya meski pada
tingkatan tertentu. Di sini kami akan menyebutkan beberapa referensi
terkait dengan penyerangan dan penodaan kehormatan (pada bagian ini juga
dalam mengutip beberapa literatur dan referensi ghalibnya dengan
memperhatikan urutan masa penulis atau sejarawan):
1. Abu Ubaid dan kitab “Al-Amwâl”
Abu Ubaid Qasim bin Salam (W 224 H) dalam kitabnya
“Al-Amwâl” yang menjadi sandaran para juris Islam menukil: “Abdurrahman
bin Auf berkata, “Aku datang ke rumah Abu Bakar untuk membesuknya yang
tengah sakit. Setelah berbicara panjang-lebar, ia berkata: “Saya
berharap kiranya saya tidak melakukan tiga perbuatan yang telah saya
lakukan. Demikian juga saya berharap saya bertanya tiga hal kepada
Rasulullah Saw. Adapun tiga hal yang telah saya lakukan dan saya
berharap kiranya saya tidak melakukannya adalah: “Kiranya saya tidak
menodai kehormatan rumah Fatimah dan membiarkanya begitu saja meski
pintunya tertutup untuk (siap-siap) perang.”[8]
Abu Ubaid tatkala sampai pada redaksi ini, tatkala sampai
pada redaksi ini, alih-alih menulis “Lam aksyif baita Fatima wa
taraktuhu…” Ia malah menulis, “kadza..kadza..” dan menambahkan bahwa
saya tidak ingin menyebutkannya!
Namun kapan saja Abu Ubaid berdasarkan fanatisme mazhab
atau alasan lainnya menolak untuk menukil kebenaran dan hakikat ini;
namun para peneliti kitab al-Amwâl menulis pada catatan kaki: Redaksi
kalimatnya telah dihapus dan disebutkan pada kitab “Mizân al-I’tidâl”
(sebagaimana yang telah dijelaskan). Di samping itu, Thabarani dalam
“Mu’jam” dan Ibnu Abdurrabih dalam “Aqd al-Farid” dan lainnya
menyebutkan redaksi kalimat yang telah dihapus itu. (Perhatikan
baik-baik)
2. Thabarani dan kitab “Mu’jam al-Kabir”
Abu al-Qasim Sulaiman bin Ahmad Thabarani (260-360 H)
dimana Dzahabi bercerita tentangnya dalam Mizân al-I’tidâl: Ia adalah
seorang yang dapat dipercaya.[9] Dalam
kitab al-Mu’jam al-Kabir yang berulang kali telah dicetak, terkait
dengan Abu Bakar, khutbah-khutbah dan wafatnya, Thabarani menyebutkan:
“Abu Bakar sebelum wafatnya ia berharap dapat melakukan beberapa hal.
Kiranya saya tidak melakukan tiga hal. Kiranya saya melakukan tiga hal.
Kiranya saya bertanya tiga hal kepada Rasulullah. Ihwal tiga perkara
yang dilakukan dan berharap kiranya tidak dilakukannya, Abu Bakar
menuturkan, “Saya berharap saya tidak melakukan penodaan atas kehormatan
rumah Fatimah dan membiarkannya begitu saja![10] Redaksi-redaksi ini dengan baik menunjukkan bahwa ancaman Umar itu terlaksana.
3. Ibnu Abdurrabih dan “Aqd al-Farid”
Ibnu Abdurrabih Andalusi (W 463 H) penulis kitab “Aqd
al-Farid” dalam kitabnya menukil dari Abdurrahman bin Auf: ““Aku datang
ke rumah Abu Bakar untuk membesuknya yang tengah sakit. Setelah
berbicara panjang-lebar, ia berkata: “Saya berharap kiranya saya tidak
melakukan tiga perbuatan yang telah saya lakukan. Salah satu dari tiga
hal tersebut adalah. Kiranya saya tidak menodai kehormatan rumah Fatimah
dan membiarkanya begitu saja meski pintunya tertutup untuk (siap-siap)
perang.”[11] Dan juga nama-nama dan ucapan-ucapan orang-orang yang menukil ucapan khalifah ini akan disebutkan bagian mendatang.
4. Nazzham dan “Al-Wâfi bi al-Wafâyât”
Ibrahim bin Sayyar Nazzham Muktalizi (160-231) yang
lantaran keindahan tulisannya dalam puisi dan prosa sehingga ia dikenal
sebagai Nazzham. Dalam beberapa kitab menukil tragedi pasca hadirnya
beberapa orang di rumah Fatimah sa. Ia berkata, “Umar, pada hari
pengambilan baiat untuk Abu Bakar, memukul perut Fatimah dan ia
keguguran seorang putra yang diberi nama Muhsin yang ada dalam
rahimnya.”[12] (Perhatikan baik-baik)
5. Mubarrad dan kitab “Kâmil”
Muhammad bin Yazid bin Abdulakbar Baghdadi (210-285),
seorang sastrawan, penulis terkenal dan pemilik karya-karya terkemuka,
dalam kitab “Al-Kâmil”-nya, mengutip kisah harapan-harapan khalifah dari
Abdurrahman bin Auf. Ia menyebutkan, “Saya berharap kiranya saya tidak
menyerang rumah Fatimah dan membiarkannya begitu saja pintunya (meski)
tertutup untuk (siap-siap) perang.”[13]
6. Mas’udi dan “Murûj al-Dzahab”
Mas’udi (W 325 H) dalam Murûj al-Dzahab menulis: “Tatkala
Abu Bakar menjelang wafatnya berkata demikian, “Tiga hal yang saya
lakukan dan berharap kiranya saya tidak melakukannya. Salah satunya
adalah: Saya berharap kiranya saya tidak menodai kehormatan rumah
Fatimah. Hal ini banyak (kali) ia sebutkan.”[14]
Mas’udi meski ia memiliki kecendrungan yang baik kepada
Ahlulbait namun sayang ia menghindar untuk mengungkap ucapan khalifah
dan menyampaikannya dengan bahasa kiasan. Akan tetapi Tuhan mengetahui
dan hamba-hamba Tuhan juga secara global mengetahui hal ini!
7. Ibnu Abi Daram dalam Mizân al-I’tidâl
Ahmad bin Muhammad yang dikenal sebagai “Ibnu Abi Daram”
ahli hadis Kufa (W 357 H), adalah seseorang yang dikatakan oleh Muhammad
bin Ahmad bin Himad Kufah: “Ia adalah orang yang menghabiskan seluruh
hidupnya di jalan lurus.”
Dengan memperhatikan martabat ini, ia menukil bahwa di
hadapannya berita ini dibacakan, “Umar menendang Fatimah dan ia
keguguran seorang putra bernama Muhsin yang ada dalam rahimnya![15](Perhatikan baik-baik)
8. Abdulfatah Abdulmaqshud dan kitab “Al-Imâm Ali”
Ia menyebutkan dua hal terkait dengan penyerangan ke rumah
wahyu dan kita hanya menukil satu darinya: “Demi (Dzat) yang jiwa Umar
berada di tangan-Nya. Apakah kalian keluar atau aku akan membakar rumah
ini (berikut penghuninya). Sebagian orang yang takut (kepada Allah) dan
menjaga kedudukan Rasulullah Saw dari akibat perbuatan ini, mereka
berkata: “Aba Hafs, Fatimah dalam rumah ini.” Tanpa takut, Umar
berteriak: “Sekalipun!! Ia mendekat, mengetuk pintu, kemudian menggedor
pintu dengan tangan dan kaki untuk masuk ke dalam rumah secara paksa.
Ali As muncul.. pekik jeritan suara Zahra kedengaran di dekat tempat
masuk pintu rumah… suara ini adalah suara meminta pertolongan..”[16]
satu hadis lainnya dari “Maqatil Ibnu ‘Athiyyah” dalam
kitab al-Imâmah wa al-Siyâsah (Meski masih banyak yang belum diungkap di
sini!)
Ia menulis dalam kitab ini sebagai berikut:
“Tatkala Abu Bakar mengambil baiat dari orang-orang dengan ancaman, pedang dan paksaan, Umar, mengirim Qunfudz dan sekelompok orang ke rumah Ali dan Fatimah sa dan Umar mengumpulkan kayu bakar dan membakar pintu rumah…”[17]
Ibnu Zanjawaih di dalam al-Amwal, Ibnu Qutaibah Dainuri di
dalam kitab al-Imamah Was-Siyasah, Thabari di dalam kitab Tarikhnya,
Ibnu Abd Rabbah di dalam kitab al-ʽAqdul Farid, Masʽudi di dalam kitab
Muruj al-Zahab, Thabari di dalam kitab al-Muʽjam al-Kabir, Muqaddasi di
dalam kitab al-Ahadis al-Mukhtarah, Shamsuddin Zahabi di dalam kitab
Tarikh al-Islam dan banyak lagi… telah menukilkan Pengakuan Abu Bakar
dengan sedikit perbedaan teks. Kami ingin bawakan di sini matan dari
kitab al-Amwal ibnu Zanjawaih yang merupakan salah satu tokoh Ahlusunnah
kurun ke-tiga:
أنا
حميد أنا عثمان بن صالح، حدثني الليث بن سعد بن عبد الرحمن الفهمي، حدثني
علوان، عن صالح بن كيسان، عن حميد بن عبد الرحمن بن عوف، أن أباه عبد
الرحمن بن عوف، دخل على أبي بكر الصديق رحمة الله عليه في مرضه الذي قبض
فيه … فقال [أبو بكر] : « أجل إني لا آسى من الدنيا إلا على ثَلاثٍ
فَعَلْتُهُنَّ وَدِدْتُ أَنِّي تَرَكْتُهُنَّ، وثلاث تركتهن وددت أني
فعلتهن، وثلاث وددت أني سألت عنهن رسول الله (ص)، أما اللاتي وددت أني
تركتهن، فوددت أني لم أَكُنْ كَشَفْتُ بيتَ فاطِمَةَ عن شيء، وإن كانوا قد
أَغْلَقُوا على الحرب… .
Telah
menceritakan kepada kami Hamid, telah menceritakan kepada kami Usman
bin Shalih, telah menceritakan kepada kami al-Lays bin Saʽd bin Abdul
Rahman al-Fahmi, telah menceritakan kepada kami ʽUlwan, daripada shalih
bin Kaysan, daripada Hamid bin Abdul Rahman bin ʽAuf, sesungguhnya
ayahnya Abdul Rahman bin ʽAuf bertemu dengan Abu Bakar ketika sedang
sakit yang bakal membawa kematiannya…. Maka Abu Bakar berkata:
Aku
menyesal terhadap tiga perkara yang telah ku lakukan, aku suka sekali
sekiranya tidak melaksanakannya. Salah satunya ialah serangan terhadap
rumah Fathimah Az-Zahra. Aku suka sekali kalau tidak merusak rumah
Fathimah untuk membongkar apapun sekalipun aku…[18-19].
Sekarang
jelas bahwa tidak ada jalan lagi untuk mengingkari kejadian penyerangan
rumah Fatimah sa. Dan ketentuannya barangsiapa mengakui bahwa
penyerangan ini terjadi dan dilakukan khalifah waktu itu maka harus
percaya bahwa Sayidah Fatimah telah marah kepada mereka, dan ini
berlanjut hingga wafat beliau, sehingga beliau tidak mengijinkan dua
syaikh tadi untuk datang kepemakaman beliau.
Permasalahan selanjutnya, apakah benar Imam Ali as hanya berdiam diri?
keheroan seseorang tidak hanya dilihat dari perlawanan
fisik saja, dalam membela kebenaran. jika begitu, maka anda akan
terpaksa akan malas mendengar kisah para nabi yang terbunuh karena
dianiaya tanpa perlawanan, seperti nabi Yahya. Perlawanan fisik tidak
meniscayakan keberanian. Banyak kasus perlawanan fisik yang berartikan
kekonyolan, karena tanpa melihat sikon yang ada. Maslahat adalah salah
pertimbangan dari sikon tersebut. Imam Ali diam, bukan berarti tidak
berani. Tetapi beliau melihat maslahat umat Muhammad. Jika beliau
memaksakan untuk melawan fisik maka beliau tergolong melawan maslahat
dan masuk kategori konyol. Anda sudah tahu keberanian Ali di hadapan
yang jelas-jelas musuh Islam kan?
Tapi Ali bersedia mengalah ketika berhadapan dengan
orang-orang yang zahirnya saudaranya seiman dan seakidah, demi
kmaslahatan umat Muhammad secara umum. Ali mengalah untuk menang. Jika
anda ingin melihat betapa beratnya Ali menahan derita (mengalah) ketika
ia dizalimi, silahkan baca khotbah ketiga beliau di Nahjul Balaghah yang
dijkenal dengan klhutbah syiqsyiqiyah. Buku itu juga direkomendasikan
oleh para ulama sunni seperti Muhammad Abduh dan ibnu Abdul Hadid
sendiri.
sebelum menjawab pertanyaan ini mari kita Tanya, pada masa Nabi Muhammad masih hidup dimana banyak orang munafik dan musyrik yang ada disekitar beliau, banyak para pemeluk agama Islam diserang dan dibunuh namun nabi tidak datang mengangkat pedang melakukan pembelaan, apakah dengan semua kenyataan ini kita akan berkata bahwa Nabi Muhammad saw itu pengecut, nauzubillah minzalik, jelas kita tidak akan berbuat lancang mengatakan hal demikian ini.
dalam
hal ini sebenarnya Imam Ali as tidak hanya berdiam diri, beliau
melakukan perlawanan, walau perlawanan beliau tidak dengan menyabetkan
pedang sehingga para penyerang harus bergelimang darah. Perlawanan
dengan sebuah tujuan yang akan kami jelaskan nantinya.
Sebelum
menjawab pertayaan diatas mari kita telusur berbagai kemungkinan ketika
Imam Ali mengangkat pedang dan membunuh semua orang yang menyerang
rumah beliau.
Ketika
Imam Ali mengangkat pedang maka beliau dan keluarga beliau akan dicap
sebagai pemberontak yang melakukan pemeberontakan kepada khalifah yang
“sah” sesuai pemilihan sepihak di Saqifah bani Saidah. Ketika hal ini
terjadi maka dengan mudah dan tanpa arti para musuh islam itu akan
menyerang Imam Ali as dan keluarga membunuh mereka tanpa ada bekas dan
arti bagi umat Islam, umat Islam hanya akan mengenang mereka sebagai
seorang pemberontak tidak lebih. Berbeda dengan kasus pengangkatan
pedang yang dilakukan Imam Husain as.
Ketika
Imam Ali as melakukan perlawanan pedang maka islam akan musnah, tidak
akan pernah terdengar adzan sehari-hari. Waktu itu musuh Islam menunggu
titik-titik lemah Islam dan peperangan saudara peperangan interen
ditengah umat Islam jelas akan melemahkan Islam yang memang baru
berdiri. Roma dan Persia jelas akan girang mendengar berita peperangan
intern ditengah umat Islam, dan jelas mereka akan mencari waktu tepat
untuk membumi hangus islam sampai keakar-akarnya. Bagaimana dengan tugas
Imam Ali as untuk menjaga Islam, mengembangkan Islam, mendakwahkan
Islam, apakah hal itu bisa terwujud jika beliau memulai peperangan
intern dalam Islam sendiri? Selain itu apa yang akan dilakukan para
munafikin, bukankah ketika ada peperangan didalam islam ini kesempatan
emas buat mereka, bagaimana dengan para Nabi Palsu, bukankah para nabi
Palsu akan berpesta dan berkata, nih lihatlah agama islam, penuh dengan
kekacauan, maka dari itu ikutilah aku, ikuti ajaranku.
Pertama, Ketika
Imam Ali sampai meninggal dalam perlawanan maka tidak ada lagi yang
mengawasi pemerintahan Islam, dalam sejarah kita bisa membaca bahwa
walau bagaimana Imam Ali as tetap berperan dalam menjaga Islam, berulang
kali khalifah bertanya dan merujuk kepada beliau, sebuah pengakuan
secara tidak langsung bahwa mereka kalah ilmu dibanding Ali as. Ketika
Imam Ali as tidak ada maka islam yang ada adalah islam versi khulafa
yang tiga dimana dalam kasus pemilihan Imam Ali as untuk dipilih menjadi
khalifah menggantikan Umar, beliau menolak persyaratan untuk mengikuti
apa-apa yang sudah dilakukan dua khalifah pertama kedua, sebab itu tidak
sesuai dengan ajaran Nabi saw.
Kedua,
perlu diketahui bahwa waktu itu Imam Ali as tidak memiliki jumlah
pendukung yang cukup, hanya sahabat setia pada wasiat nabi saja yang
mengikuti beliau hingga akhir, dan mereka sedang berkumpul dirumah Ali
as pada saat dilakukan penyerangan dan pembakaran pintu rumah Ali as.
Mungkin ada sahabat lain yang tidak ada disana tapi jumlahnya tidaklah
seberapa.
Ketiga,
apa yang dilakukan Imam Ali as dengan tidak mengangkat pedang dan
dengan melarang para sahabat setia beliau untuk tidak melakukan
perlawanan tidak jauh beda dengan tindakan Allah yang masih membiarkan
setan tetap ada dimuka bumi padahal setan itu membuat manusia sengsara,
menipu sehingga banyak manusia tidak menyembah Allah. Padahal Allah
kuasa dan Maha segala, jika Allah berkehendak maka setan dan iblis akan
binasa tanpa tersisa namun kenyataannya Allah tidak melakukan hal ini.
Apakah masih eksisnya setan dan iblis menunjukkan bahwa Allah itu
pengecut?
Keempat,
pada jaman Nabi banyak sahabat yang disiksa dan dibunuh kaum musyrik,
namun Nabi tidak mengangkat pedang dan melakukan peperangan pada mereka,
apakah hal itu berarti Nabi saw itu pengecut tidak berani?
Kelima,
ketika Imam Ali as melakukan perlawanan maka beliau akan dibilang telah
murtad dan layak dibunuh. Sebab telah melawan khalifah yang “sah”.
Keenam,
kondisi waktu itu sungguh kacau sehingga sahabat yang membunuh sahabat
lain lalu mezinai wanita itu dihitung sebagai sebuah ijtihad yang salah
dan itu mendapat pahala satu. Khalid bin al-Walid membunuh sahabat Malik
bin Nuwairah, petugas pengumpul zakat Nabi SAW hanya karena ingin
memiliki isteri Malik yang cantik jelita bernama Ummu Tamim.
Dan
juga tercatat dalam al-Isabah bahwa Khalifah Abu Bakar tidak mengenakan
hukum hudud ke atas Khalid bin al-Walid yang telah membunuh Malik bin
Nuwairah dan kabilahnya. Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib
menuntut supaya Khalid dihukum rajam. [21]
Sebenarnya
mengapa Imam Ali as tidak melakukan perlawanan bersenjata tidak perlu
kita buktikan dengan nash dan riwayat, sesungguhnya dengan akal sehat
pun sudah bisa memahami mengapa beliau melakukan langkah itu, dari sisi
islam yang masih baru, islam yang masih rentan, jelas Imam tidak mungkin
bertindak gegabah dengan melakukan perlawanan bersenjata.
Alasan
mengapa Imam Ali as tidak melakukan perlawanan bersenjata adalah untuk
maslahat umat, untuk menjaga agar Islam tetap eksis, untuk menjaga islam
yang hakiki, sebuah tindakan yang sudah semestinya dilakukan seorang
imam umat. Dia melakukan segala hal dengan penuh pertimbangan. Tidak
hanya melihat dari satu sisi saja, yang diukur sebagai pengecut atau
penakut.
Wallahu ‘alam Bishshawwab
Referensi:
[1]. Ibnu Abi Saibah, al-Musannif, 8/572, Kitab al-Maghazi:
« انّه حین بویع لأبی بکر بعد رسول اللّه(صلى الله علیه وآله)
کان علی و الزبیر یدخلان على فاطمة بنت رسول اللّه، فیشاورونها و یرتجعون
فی أمرهم. فلما بلغ ذلک عمر بن الخطاب خرج حتى دخل على فاطمة، فقال: یا بنت
رسول اللّه(صلى الله علیه وآله) و اللّه ما أحد أحبَّ إلینا من أبیک و ما
من أحد أحب إلینا بعد أبیک منک، و أیم اللّه ما ذاک بمانعی إن اجتمع هؤلاء
النفر عندک أن امرتهم أن یحرق علیهم البیت. قال: فلما خرج عمر جاؤوها،
فقالت:تعلمون انّ عمر قد جاءَنى، و قد حلف باللّه لئن عدتم لیُحرقنّ علیکم
البیت، و أیم اللّه لَیمضین لما حلف علیه.»
[2]. Ansab al-Asyrâf, 1/582, Dar Ma’arif, Kairo:
«انّ أبابکر أرسل إلى علىّ یرید البیعة فلم یبایع، فجاء عمر و
معه فتیلة! فتلقته فاطمة على الباب. فقالت فاطمة: یابن الخطاب، أتراک
محرقاً علىّ بابى؟ قال: نعم، و ذلک أقوى فیما جاء به أبوک…»
[3]. Al-Imâmah wa al-Siyâsah, hal. 12, Maktab Tijariyah Kubra, Mesir:
« انّ أبابکر رضی اللّه عنه تفقد قوماً تخلّقوا عن بیعته عند
علی کرم اللّه وجهه فبعث إلیهم عمر فجاء فناداهم و هم فی دار على، فأبوا أن
یخرجوا فدعا بالحطب و قال: والّذی نفس عمر بیده لتخرجن أو لاحرقنها على من
فیها، فقیل له: یا أبا حفص انّ فیها فاطمة فقال، و إن!! »
[4]. Al-Imâmah wa al-Siyâsah, hal. 13, Maktab Tijariyah Kubra, Mesir:
« ثمّ قام عمر فمشى معه جماعة حتى أتوا فاطمة فدقّوا الباب
فلمّا سمعت أصواتهم نادت بأعلى صوتها یا أبتاه رسول اللّه ماذا لقینا بعدک
من ابن الخطاب، و ابن أبی قحافة فلما سمع القوم صوتها و بکائها انصرفوا. و
بقی عمر و معه قوم فأخرجوا علیاً فمضوا به إلى أبی بکر فقالوا له بایع،
فقال: إن أنا لم أفعل فمه؟ فقالوا: إذاً و اللّه الّذى لا إله إلاّ هو نضرب
عنقک…!»
[5]. Mu’jam al-Mathbu’ât al-Arabiyah, 1/212.
[6]. Târikh Thabari, 2/443:
« أتى عمر بن الخطاب منزل علی و فیه طلحة و الزبیر و رجال من
المهاجرین، فقال و اللّه لاحرقن علیکم أو لتخرجنّ إلى البیعة، فخرج علیه
الزّبیر مصلتاً بالسیف فعثر فسقط السیف من یده، فوثبوا علیه فأخذوه.»
[7]. Aqd al-Farid, 4/93, Maktabatu Hilal:
« فأمّا علی و العباس و الزبیر فقعدوا فی بیت فاطمة حتى بعثت
إلیهم أبوبکر، عمر بن الخطاب لیُخرجهم من بیت فاطمة و قال له: إن أبوا
فقاتِلهم، فاقبل بقبس من نار أن یُضرم علیهم الدار، فلقیته فاطمة فقال: یا
ابن الخطاب أجئت لتحرق دارنا؟! قال: نعم، أو تدخلوا فیما دخلت فیه
الأُمّة!»
[8]. Al-Amwâl,
Catatan Kaki 4, Nasyr Kulliyat Azhariyah, al-Amwal, hal. 144, Beirut
dan juga dinukil Ibnu Abdurrabih dalam Aqd al-Farid, 4/93:
« وددت انّی لم أکشف بیت فاطمة و ترکته و ان اغلق على الحرب»
[9]. Mizân al-I’tidâl, jil. 2, hal. 195.
[10]. Mu’jam Kabir Thabarani, 1/62, Hadis 34, Tahqiq Hamdi Abdulmajid Salafi:
« أمّا الثلاث اللائی وددت أنی لم أفعلهنّ، فوددت انّی لم أکن أکشف بیت فاطمة و ترکته. »
[11]. Aqd al-Farid, 4/93, Maktabatu al-Hilal:
« وودت انّی لم أکشف بیت فاطمة عن شی و إن کانوا اغلقوه على الحرب.»
[12]. Al-Wâfi bil Wafâyât, 6/17, No. 2444. Al-Milal wa al-Nihal, Syahrastani, 1/57, Dar al-Ma’rifah, Beirut. Dan pada terjemahan Nazzham silahkan lihat, Buhuts fi al-Milal wa al-Nihal, 3/248-255.
« انّ عمر ضرب بطن فاطمة یوم البیعة حتى ألقت المحسن من بطنها.»
[13]. Syarh Nahj al-Balâghah, 2/46-47, Mesir:
« وددت انّی لم أکن کشفت عن بیت فاطمة و ترکته ولو أغلق على الحرب.»
[14]. Muruj al-Dzahab, 2/301, Dar Andalus, Beirut:
« فوددت انّی لم أکن فتشت بیت فاطمة و ذکر فی ذلک کلاماً کثیراً! »
[15]. Mizân al-I’tidâl, 3/459:
«انّ عمر رفس فاطمة حتى أسقطت بمحسن.»
[16]. Abdulfattah Abdulmaqshud, ‘Ali bin Abi Thalib, 4/276-277:
« و الّذی نفس عمر بیده، لیَخرجنَّ أو لأحرقنّها على من
فیها…! قالت له طائفة خافت اللّه، و رعت الرسول فی عقبه: یا أبا حفص، إنّ
فیها فاطمة…! فصاح لایبالى: و إن..! و اقترب و قرع الباب، ثمّ ضربه و
اقتحمه… و بداله علىّ… و رنّ حینذاک صوت الزهراء عند مدخل الدار… فان هى
الا طنین استغاثة…»
[17]. Maqatil ibn ‘Athiyyah, Kitâb al-Imâmah wa al-Khilâfah,
hal. 160-161, diterbitkan dengan kata pengantar Dr. Hamid Daud, dosen
Universitas ‘Ain al-Syams, Kairo, Cetakan Beirut, Muassasah al-Balagh:
« ان ابابکر بعد ما اخذ البیعة لنفسه من الناس بالارهاب و
السیف و القوّة ارسل عمر، و قنفذاً و جماعة الى دار علىّ و فاطمه(علیه
السلام) و جمع عمر الحطب على دار فاطمه و احرق باب الدار..»
[18]. Jawaban ini diadaptasi dan diringkas dari makalah Ayatullah Makarim Syirazi. Demikan juga Anda dapat mengklik tebyan.net untuk telaah lebih jauh.
[19] – Al-Kurasani,
Abu Ahmad Hamid bin Makhlad bin Qutaibah bin Abdullah al-maʽruf bi Ibnu
Zanjawaih (meninggal dunia pada tahun 251 Hijarah), al-Amwal, jilid 1
halaman 387. Abna Melayu
– Al-Dainuri, Abu Muhammad Abdullah bin Muslim Ibnu
Qutaibah (meninggal dunia pada tahun 276 Hijrah), Al-Imamah Was Siyasah,
jilid 1 halaman 21, tahqiq: Khalil al-Manshur, penerbit Dar Kutub
Al-ʽIlmiyyah, Beirut 1418 Hijrah – 1997 Miladi, tahqiq Shiri, jilid 1
halaman 36, tahqiq Zaini, jilid 1 halaman 24;
– Al-Thabari, Muhammad bin Jarir (meninggal dunia 310
Hijrah), Tarikh al-Thabari, jilid 2 halaman 353, penerbit Darul Kutub
al-ʽIlmiyyah, Beirut.
– Al-Andalusi, Ahmad bin Muhammad bin Abdul Rabbah
(meninggal dunia pada tahun 328 Hijrah), al-ʽAqdul Farid, Jilid 4
halaman 254, penerbit Dar Ihya al-Turats al-ʽArabi, Lubnan, cetakan
ke-tiga, 1420 Hijrah – 1999 Miladi.
– Al-Masʽudi, Abul Hasan Ali bin al-Husain bin Ali (meninggal dunia tahun 346 Hijrah), Muruj al-Dhahab, Jilid 1 halaman 290;
– Al-Thabrani, Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Abul Qasim
(meninggal dunia pada tahun 360 Hijrah), al-Muʽjam al-Kabir, jilid 1
halaman 62 Hijrah), tahqiq Hamdi bin Abdul Majid al-Salafi, Penerbit
Maktabah al-Zahra, al-Maushul, cetakan ke-dua, 1404 Hijrah 1983 Miladi;
– al-ʽAshimi al-Makki, Abdul Malik bin Husain bin Abdul
Malik al-Shafiʽi (meninggal dunia pada tahun 1111 Hijrah), Samṭ al-nujūm
al-ʻawālī fī anbāʼ al-awāʼil wa-al-tawālī, jilid 2 halaman 465, tahqiq:
ʽAdil Ahmad Abdul Maujud – Ali Muhammad Muʽawwadh, penerbit Darul Kutub
al-ʽIlmiyyah, Beirut, 1419 Hijrah 1998 Miladi.
[20] [Al-Tabari,Tarikh ,IV, hlm.1928]
[21] [Ibn Hajr, al-Isabah , III, hlm.336]
Literatur Ahlusunnah terkait Penyerangan ke Rumah Fatimah As. Penyerangan rumah dan syahâdah Fatimah Zahra
Sa dari kitab-kitab Ahlusunnah sehingga menjadi jelas bahwa masalah
penyerangan kediaman Hadhrat Fatimah Zahra Sa merupakan sebuah peristiwa
sejarah faktual dan niscaya serta bukan sebuah mitos dan legenda!!
Penyerangan rumah dan syahâdah Fatimah Zahra Sa
Terkait dengan hal ini kami akan mengutip beberapa matan dari kitab-kitab Ahlusunnah sehingga menjadi jelas bahwa masalah penyerangan kediaman Hadhrat Fatimah Zahra Sa merupakan sebuah peristiwa sejarah faktual dan niscaya serta bukan sebuah mitos dan legenda!! Meski pada masa para khalifah terjadi sensor besar-besaran terhadap penulisan keutamaan dan derajat (para maksum); akan tetapi kaidah menyatakan bahwa “hakikat (kebenaran) adalah penjaga sesuatu.” Hakikat sejarah ini tetap hidup dan terjaga dalam kitab-kitab sejarah dan hadis. Di sini kami akan mengutip beberapa referensi dengan memperhatikan urutan masa semenjak abad-abad pertama .
Terkait dengan hal ini kami akan mengutip beberapa matan dari kitab-kitab Ahlusunnah sehingga menjadi jelas bahwa masalah penyerangan kediaman Hadhrat Fatimah Zahra Sa merupakan sebuah peristiwa sejarah faktual dan niscaya serta bukan sebuah mitos dan legenda!! Meski pada masa para khalifah terjadi sensor besar-besaran terhadap penulisan keutamaan dan derajat (para maksum); akan tetapi kaidah menyatakan bahwa “hakikat (kebenaran) adalah penjaga sesuatu.” Hakikat sejarah ini tetap hidup dan terjaga dalam kitab-kitab sejarah dan hadis. Di sini kami akan mengutip beberapa referensi dengan memperhatikan urutan masa semenjak abad-abad pertama .
1. Ibnu Abi Syaibah dan kitab “Al-Musannif”
Abu Bakar bin Abi Syaibah (159-235 H) pengarang kitab al-Mushannif dengan sanad sahih menukil demikian:
“Tatkala orang-orang memberikan baiat kepada Abu Bakar, Ali dan Zubair berada di rumah Fatimah berbincang-bincang dan melakukan musyawarah. Hal ini terdengar oleh Umar bin Khattab. Ia pergi ke rumah Fatimah dan berkata, “Wahai putri Rasulullah, ayahmu merupakan orang yang paling terkasih bagi kami dan setelah Rasulullah adalah engkau. Namun demi Allah! Kecintaan ini tidak akan menjadi penghalang. Apabila orang-orang berkumpul di rumahmu maka Aku akan perintahkan supaya rumahmu dibakar. Umar bin Khattab menyampaikan ucapan ini dan keluar. Tatkala Ali As dan Zubair kembali ke rumah, putri Rasulullah Saw menyampaikan hal ini kepada Ali As dan Zubair: Umar datang kepadaku dan bersumpah apabila kalian kembali berkumpul maka ia akan membakar rumah ini. Demi Allah! Apa yang ia sumpahkan akan dilakukannya![1]
2. Baladzuri dan kitab “Ansab al-Asyrâf”
Ahmad bin Yahya Jabir Baghdadi Baladzuri (wafat 270) penulis masyhur dan sejarawan terkemuka, mengutip peristiwa sejarah ini dalam kitab “Ansab al-Asyrâf” sebagaimaan yang telah disebutkan.
Abu Bakar mencari Ali As untuk mengambil baiat darinya, namun Ali tidak memberikan baiat kepadanya. Kemudian Umar bergerak disertai dengan alat untuk membakar dan kemudian bertemu dengan Fatima di depan rumah. Fatimah berkata, “Wahai putra Khattab! Saya melihat kau ingin membakar rumahku? Umar berkata, “Iya. Perbuatan ini akan membantu pekerjaan yang untuknya ayahmu diutus.”[2]
3. Ibnu Qutaibah dan kitab “Al-Imâmah wa al-Siyâsah”
Sejarawan kawakan Abdullah bin Muslim bin Qutaibah Dainawari (216-276) yang merupakan salah seorang tokoh dalam sastra dan penulis kawakan dalam bidang sejarah Islam, penulis kitab “Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits” dan “Adab al-Kitab” dan sebagainya. Dalam kitab “Al-Imamah wa al-Siyasah” ia menulis sebagai berikut:
“Abu Bakar mencari orang-orang yang menghindar untuk memberikan baiat kepadanya dan berkumpul di rumah Ali bin Abi Thalib. Kemudian ia mengutus Umar untuk mendatangi mereka. Ia datang ke rumah Ali As dan tatkala ia berteriak untuk meminta mereka keluar namun orang-orang dalam rumah tidak mau keluar. Melihat hal ini Umar meminta supaya kayu bakar dikumpulkan dan berkata, “Demi Allah yang jiwa Umar di tangan-Nya! Apakah kalian akan keluar atau aku akan membakar rumah (ini).” Seseorang berkata kepada Umar, “Wahai Aba Hafs (julukan Umar) dalam rumah ini ada Fatimah, putri Rasulullah.” Umar menjawab: “Sekalipun.”!![3]
Ibnu Qutaibah sebagai kelanjutan kisah ini, menulis lebih mengerikan, “Umar disertai sekelompok orang mendatangi rumah Fatimah. Ia mengetuk rumah. Tatkala Fatimah mendengar suara mereka, berteriak keras: “Duhai Rasulullah! Selepasmu alangkah besarnya musibah yang ditimpakan putra Khattab dan putra Abi Quhafah kepada kami.” Tatkala orang-orang yang menyertai Umar mendengar suara dan jerit tangis Fatimah, maka mereka memutuskan untuk kembali namun Umar tinggal disertai sekelompok orang dan menyeret Ali keluar rumah dan membawanya ke hadapan Abu Bakar dan berkata kepadanya, “Berbaiatlah.” Ali berkata, “Apabila Aku tidak memberikan baiat lantas apa yang akan terjadi?” Orang-orang berkata, “Demi Allah yang tiada tuhan selain-Nya, kami akan memenggal kepalamu.”[4]
Tentu saja penggalan sejarah ini sangat berat dan pahit bagi mereka yang mencintai syaikhain (dua orang syaikh, Abu Bakar dan Umar). Karena itu, mereka meragukan kitab ini sebagai karya Ibnu Qutaibah. Padahal Ibnu Abil Hadid, guru sejarah ternama, memandang bahwa kitab ini merupakan karya Ibnu Qutaibah dan senantiasa menukil hal-hal di atas. Namun amat disayangkan kitab ini telah mengalami distorsi dan sebagian hal telah dihapus tatkala dicetak sementara hal yang sama disebutkan dalam Syarh Nahj al-Balâghah karya Ibnu Abil Hadid.
Zarkili menegaskan bahwa kitab “Al-Imâmah wa al-Siyâsah” ini merupakan karya Ibnu Qutaibah dan mengimbuhkan bahwa sebagian memiliki pendapat terkait dengan masalah ini. Artinya keraguan dan sangsi disandarkan kepada orang lain bukan kepada mereka, sebagaimana Ilyas Sarkis[5] memandang bahwa kitab ini merupakan salah satu karya Ibnu Qutaibah.
4. Thabari dan kitab “Târikh”
Muhammad bin Jarir Thabari (W 310 H) dalam Târikh-nya peristiwa penyerangan ke rumah wahyu menjelaskan demikian:
Umar bin Khattab mendatangi rumah Ali bin Abi Thalib sementara sekelompok orang-orang Muhajir berkumpul di tempat itu. Umar berkata kepada mereka: “Demi Allah! Saya akan membakar rumah ini kecuali kalian keluar untuk memberikan baiat.” Zubair keluar dari rumah sembari membawa pedang terhunus, tiba-tiba kakinya terjungkal dan pedangnya terjatuh. Dalam kondisi ini, orang lain menyerangnya dan mengambil pedang darinya.[6]
Penggalan sejarah ini merupakan sebuah indikator bahwa pengambilan baiat dilakukan dengan intimidasi dan ancaman. Seberapa nilai baiat semacam ini? Kami persilahkan Anda untuk menjawabnya sendiri.
5. Ibnu Abdurabih dan kitab “Al-‘Aqd al-Farid”
Syihabuddin Ahmad yang lebih dikenal dengan Ibnu Abdurabih Andalusi (463 H) penulis kitab al-Aqd al-Farid dalam kitabnya menulis sebuah pembahasan rinci terkait dengan sejarah Saqifah dengan judul “Orang-orang yang menentang baiat kepada Abu Bakar.” Berikut tulisannya, “Ali, Abbas dan Zubair duduk di rumah Fatimah dimana Abu Bakar mengutus Umar bin Khattab untuk mengeluarkan mereka dari rumah Fatimah. Ia berkata kepadanya, “Apabila mereka tidak keluar, maka berperanglah dengan mereka! Dan ketika itu, Umar bin Khattab bergerak menuju ke rumah Fatimah dengan membawa api untuk membakar rumah tersebut. Dalam kondisi seperti ini, ia berjumpa dengan Fatimah. Putri Rasulullah Saw berkata, “Wahai putra Khattab! Kau datang untuk membakar (rumah) kami. Ia menjawab: “Iya. Kecuali kalian memasuki apa yang telah dimasuki umat![7]
Kiranya kami cukupkan sampai di sini penggalan kisah tentang adanya keinginan untuk menyerang rumah Fatimah. Sekarang mari kita mengulas pembahasan kedua kita yang menunjukkan alasan adanya niat untuk menyerang ini.
Apakah penyerangan itu benar-benar terjadi?
Di sini ucapan-ucapan kelompok yang hanya menyinggung niat buruk khalifah dan para pendukungnya berakhir sampai di sini saja. Sebuah kelompok yang tidak ingin atau tidak mampu menyuguhkan laporan tragedi yang terjadi dengan jelas, sementara sebagian kelompok menyinggung inti tragedi yaitu penyerangan terhadap rumah dan sebagainya, sehingga tersingkap kedok yang sebenarnya meski pada tingkatan tertentu. Di sini kami akan menyebutkan beberapa referensi terkait dengan penyerangan dan penodaan kehormatan (pada bagian ini juga dalam mengutip beberapa literatur dan referensi ghalibnya dengan memperhatikan urutan masa penulis atau sejarawan):
1. Abu Ubaid dan kitab “Al-Amwâl”
Abu Ubaid Qasim bin Salam (W 224 H) dalam kitabnya “Al-Amwâl” yang menjadi sandaran para juris Islam menukil: “Abdurrahman bin Auf berkata, “Aku datang ke rumah Abu Bakar untuk membesuknya yang tengah sakit. Setelah berbicara panjang-lebar, ia berkata: “Saya berharap kiranya saya tidak melakukan tiga perbuatan yang telah saya lakukan. Demikian juga saya berharap saya bertanya tiga hal kepada Rasulullah Saw. Adapun tiga hal yang telah saya lakukan dan saya berharap kiranya saya tidak melakukannya adalah: “Kiranya saya tidak menodai kehormatan rumah Fatimah dan membiarkanya begitu saja meski pintunya tertutup untuk (siap-siap) perang.”[8]
Abu Ubaid tatkala sampai pada redaksi ini, tatkala sampai pada redaksi ini, alih-alih menulis “Lam aksyif baita Fatima wa taraktuhu…” Ia malah menulis, “kadza..kadza..” dan menambahkan bahwa saya tidak ingin menyebutkannya!
Namun kapan saja Abu Ubaid berdasarkan fanatisme mazhab atau alasan lainnya menolak untuk menukil kebenaran dan hakikat ini; namun para peneliti kitab al-Amwâl menulis pada catatan kaki: Redaksi kalimatnya telah dihapus dan disebutkan pada kitab “Mizân al-I’tidâl” (sebagaimana yang telah dijelaskan). Di samping itu, Thabarani dalam “Mu’jam” dan Ibnu Abdurrabih dalam “Aqd al-Farid” dan lainnya menyebutkan redaksi kalimat yang telah dihapus itu. (Perhatikan baik-baik)
2. Thabarani dan kitab “Mu’jam al-Kabir”
Abu al-Qasim Sulaiman bin Ahmad Thabarani (260-360 H) dimana Dzahabi bercerita tentangnya dalam Mizân al-I’tidâl: Ia adalah seorang yang dapat dipercaya.[9] Dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir yang berulang kali telah dicetak, terkait dengan Abu Bakar, khutbah-khutbah dan wafatnya, Thabarani menyebutkan: “Abu Bakar sebelum wafatnya ia berharap dapat melakukan beberapa hal. Kiranya saya tidak melakukan tiga hal. Kiranya saya melakukan tiga hal. Kiranya saya bertanya tiga hal kepada Rasulullah. Ihwal tiga perkara yang dilakukan dan berharap kiranya tidak dilakukannya, Abu Bakar menuturkan, “Saya berharap saya tidak melakukan penodaan atas kehormatan rumah Fatimah dan membiarkannya begitu saja![10] Redaksi-redaksi ini dengan baik menunjukkan bahwa ancaman Umar itu terlaksana.
3. Ibnu Abdurrabih dan “Aqd al-Farid”
Ibnu Abdurrabih Andalusi (W 463 H) penulis kitab “Aqd al-Farid” dalam kitabnya menukil dari Abdurrahman bin Auf: ““Aku datang ke rumah Abu Bakar untuk membesuknya yang tengah sakit. Setelah berbicara panjang-lebar, ia berkata: “Saya berharap kiranya saya tidak melakukan tiga perbuatan yang telah saya lakukan. Salah satu dari tiga hal tersebut adalah. Kiranya saya tidak menodai kehormatan rumah Fatimah dan membiarkanya begitu saja meski pintunya tertutup untuk (siap-siap) perang.”[11] Dan juga nama-nama dan ucapan-ucapan orang-orang yang menukil ucapan khalifah ini akan disebutkan bagian mendatang.
4. Nazzham dan “Al-Wâfi bi al-Wafâyât”
Ibrahim bin Sayyar Nazzham Muktalizi (160-231) yang lantaran keindahan tulisannya dalam puisi dan prosa sehingga ia dikenal sebagai Nazzham. Dalam beberapa kitab menukil tragedi pasca hadirnya beberapa orang di rumah Fatimah As. Ia berkata, “Umar, pada hari pengambilan baiat untuk Abu Bakar, memukul perut Fatimah dan ia keguguran seorang putra yang diberi nama Muhsin yang ada dalam rahimnya.”[12] (Perhatikan baik-baik)
5. Mubarrad dan kitab “Kâmil”
Muhammad bin Yazid bin Abdulakbar Baghdadi (210-285), seorang sastrawan, penulis terkenal dan pemilik karya-karya terkemuka, dalam kitab “Al-Kâmil”-nya, mengutip kisah harapan-harapan khalifah dari Abdurrahman bin Auf. Ia menyebutkan, “Saya berharap kiranya saya tidak menyerang rumah Fatimah dan membiarkannya begitu saja pintunya (meski) tertutup untuk (siap-siap) perang.”[13]
6. Mas’udi dan “Murûj al-Dzahab”
Mas’udi (W 325 H) dalam Murûj al-Dzahab menulis: “Tatkala Abu Bakar menjelang wafatnya berkata demikian, “Tiga hal yang saya lakukan dan berharap kiranya saya tidak melakukannya. Salah satunya adalah: Saya berharap kiranya saya tidak menodai kehormatan rumah Fatimah. Hal ini banyak (kali) ia sebutkan.”[14]
Mas’udi meski ia memiliki kecendrungan yang baik kepada Ahlulbait namun sayang ia menghindar untuk mengungkap ucapan khalifah dan menyampaikannya dengan bahasa kiasan. Akan tetapi Tuhan mengetahui dan hamba-hamba Tuhan juga secara global mengetahui hal ini!
7. Ibnu Abi Daram dalam Mizân al-I’tidâl
Ahmad bin Muhammad yang dikenal sebagai “Ibnu Abi Daram” ahli hadis Kufa (W 357 H), adalah seseorang yang dikatakan oleh Muhammad bin Ahmad bin Himad Kufah: “Ia adalah orang yang menghabiskan seluruh hidupnya di jalan lurus.”
Dengan memperhatikan martabat ini, ia menukil bahwa di hadapannya berita ini dibacakan, “Umar menendang Fatimah dan ia keguguran seorang putra bernama Muhsin yang ada dalam rahimnya![15] (Perhatikan baik-baik)
8. Abdulfatah Abdulmaqshud dan kitab “Al-Imâm Ali”
Ia menyebutkan dua hal terkait dengan penyerangan ke rumah wahyu dan kita hanya menukil satu darinya: “Demi (Dzat) yang jiwa Umar berada di tangan-Nya. Apakah kalian keluar atau aku akan membakar rumah ini (berikut penghuninya). Sebagian orang yang takut (kepada Allah) dan menjaga kedudukan Rasulullah Saw dari akibat perbuatan ini, mereka berkata: “Aba Hafs, Fatimah dalam rumah ini.” Tanpa takut, Umar berteriak: “Sekalipun!! Ia mendekat, mengetuk pintu, kemudian menggedor pintu dengan tangan dan kaki untuk masuk ke dalam rumah secara paksa. Ali As muncul.. pekik jeritan suara Zahra kedengaran di dekat tempat masuk pintu rumah… suara ini adalah suara meminta pertolongan..”[16]
Kami ingin mengakhiri pembahasan ini dengan satu hadis lainnya dari “Maqatil Ibnu ‘Athiyyah” dalam kitab al-Imâmah wa al-Siyâsah (Meski masih banyak yang belum diungkap di sini!)
Ia menulis dalam kitab ini sebagai berikut:
“Tatkala Abu Bakar mengambil baiat dari orang-orang dengan ancaman, pedang dan paksaan, Umar, mengirim Qunfudz dan sekelompok orang ke rumah Ali dan Fatimah As dan Umar mengumpulkan kayu bakar dan membakar pintu rumah…”[17]
Untuk diketahui bahwa di bawah riwayat ini terdapat beberapa ungkapan yang tidak dapat dituliskan di sini.
Kesimpulan
Apakah dengan seluruh referensi dan literatur jelas yang umumnya dari literatur-literatur Ahlusunnah mereka masih berkata-kata bahwa syahâdah Hadhrat Fatimah itu sebagai mitos dan legenda..” Dimana sikap fair Anda? Pasti setiap orang yang membaca pembahasan pendek ini dengan bersandar pada beberapa referensi jelas memahami prahara yang terjadi pasca wafatnya Rasulullah Saw. Untuk sampai pada kekuasaan dan khilafah apa yang telah mereka lakukan. Hal ini merupakan penuntasan hujjah Ilahi (itmâm al-hujjah) bagi seluruh pemikir bebas yang jauh dari sikap fanatik. Lantaran kami tidak menulis sesuatu dari kami sendiri, apa pun yang kami tulis semuanya dari literatur-literatur yang mereka terima sendiri.[18]
________________________________________
Referensi:
[1]. Ibnu Abi Saibah, al-Musannif, 8/572, Kitab al-Maghazi:
«
انّه حین بویع لأبی بكر بعد رسول اللّه(صلى الله علیه وآله) كان علی و
الزبیر یدخلان على فاطمة بنت رسول اللّه، فیشاورونها و یرتجعون فی أمرهم.
فلما بلغ ذلك عمر بن الخطاب خرج حتى دخل على فاطمة، فقال: یا بنت رسول
اللّه(صلى الله علیه وآله) و اللّه ما أحد أحبَّ إلینا من أبیك و ما من أحد
أحب إلینا بعد أبیك منك، و أیم اللّه ما ذاك بمانعی إن اجتمع هؤلاء النفر
عندك أن امرتهم أن یحرق علیهم البیت. قال: فلما خرج عمر جاؤوها، فقالت:
تعلمون انّ عمر قد جاءَنى، و قد حلف باللّه لئن عدتم لیُحرقنّ علیكم البیت،
و أیم اللّه لَیمضین لما حلف علیه.»
[2]. Ansab al-Asyrâf, 1/582, Dar Ma’arif, Kairo:
«انّ
أبابكر أرسل إلى علىّ یرید البیعة فلم یبایع، فجاء عمر و معه فتیلة!
فتلقته فاطمة على الباب. فقالت فاطمة: یابن الخطاب، أتراك محرقاً علىّ
بابى؟ قال: نعم، و ذلك أقوى فیما جاء به أبوك…»
[3]. Al-Imâmah wa al-Siyâsah, hal. 12, Maktab Tijariyah Kubra, Mesir:
«
انّ أبابكر رضي اللّه عنه تفقد قوماً تخلّقوا عن بيعته عند علي كرم اللّه
وجهه فبعث إليهم عمر فجاء فناداهم و هم في دار على، فأبوا أن یخرجوا فدعا
بالحطب و قال: والّذی نفس عمر بیده لتخرجن أو لاحرقنها على من فیها، فقیل
له: یا أبا حفص انّ فیها فاطمة فقال، و إن!! »
[4]. Al-Imâmah wa al-Siyâsah, hal. 13, Maktab Tijariyah Kubra, Mesir:
«
ثمّ قام عمر فمشى معه جماعة حتى أتوا فاطمة فدقّوا الباب فلمّا سمعت
أصواتهم نادت بأعلى صوتها یا أبتاه رسول اللّه ماذا لقینا بعدك من ابن
الخطاب، و ابن أبی قحافة فلما سمع القوم صوتها و بكائها انصرفوا. و بقی عمر
و معه قوم فأخرجوا علیاً فمضوا به إلى أبی بكر فقالوا له بایع، فقال: إن
أنا لم أفعل فمه؟ فقالوا: إذاً و اللّه الّذى لا إله إلاّ هو نضرب عنقك…!»
[5]. Mu’jam al-Mathbu’ât al-Arabiyah, 1/212.
[6]. Târikh Thabari, 2/443:
[6]. Târikh Thabari, 2/443:
«
أتى عمر بن الخطاب منزل علی و فیه طلحة و الزبیر و رجال من المهاجرین،
فقال و اللّه لاحرقن علیكم أو لتخرجنّ إلى البیعة، فخرج علیه الزّبیر
مصلتاً بالسیف فعثر فسقط السیف من یده، فوثبوا علیه فأخذوه.»
[7]. Aqd al-Farid, 4/93, Maktabatu Hilal:
«
فأمّا علی و العباس و الزبیر فقعدوا فی بیت فاطمة حتى بعثت إلیهم أبوبكر،
عمر بن الخطاب لیُخرجهم من بیت فاطمة و قال له: إن أبوا فقاتِلهم، فاقبل
بقبس من نار أن یُضرم علیهم الدار، فلقیته فاطمة فقال: یا ابن الخطاب أجئت
لتحرق دارنا؟! قال: نعم، أو تدخلوا فیما دخلت فیه الأُمّة!»
[8].
Al-Amwâl, Catatan Kaki 4, Nasyr Kulliyat Azhariyah, al-Amwal, hal. 144,
Beirut dan juga dinukil Ibnu Abdurrabih dalam Aqd al-Farid, 4/93:
« وددت انّی لم أكشف بیت فاطمة و تركته و ان اغلق على الحرب»
[9]. Mizân al-I’tidâl, jil. 2, hal. 195.
[10]. Mu’jam Kabir Thabarani, 1/62, Hadis 34, Tahqiq Hamdi Abdulmajid Salafi:
[10]. Mu’jam Kabir Thabarani, 1/62, Hadis 34, Tahqiq Hamdi Abdulmajid Salafi:
« أمّا الثلاث اللائی وددت أنی لم أفعلهنّ، فوددت انّی لم أكن أكشف بیت فاطمة و تركته. »
[11]. Aqd al-Farid, 4/93, Maktabatu al-Hilal:
« وودت انّی لم أكشف بیت فاطمة عن شی و إن كانوا اغلقوه على الحرب.»
[12].
Al-Wâfi bil Wafâyât, 6/17, No. 2444. Al-Milal wa al-Nihal, Syahrastani,
1/57, Dar al-Ma’rifah, Beirut. Dan pada terjemahan Nazzham silahkan
lihat, Buhuts fi al-Milal wa al-Nihal, 3/248-255.
« انّ عمر ضرب بطن فاطمة یوم البیعة حتى ألقت المحسن من بطنها.»
[13]. Syarh Nahj al-Balâghah, 2/46-47, Mesir:
« وددت انّی لم أكن كشفت عن بیت فاطمة و تركته ولو أغلق على الحرب.»
[14]. Muruj al-Dzahab, 2/301, Dar Andalus, Beirut:
« فوددت انّی لم أكن فتشت بیت فاطمة و ذكر فی ذلك كلاماً كثیراً! »
[15]. Mizân al-I’tidâl, 3/459:
«انّ عمر رفس فاطمة حتى أسقطت بمحسن.»
[16]. Abdulfattah Abdulmaqshud, ‘Ali bin Abi Thalib, 4/276-277:
«
و الّذی نفس عمر بیده، لیَخرجنَّ أو لأحرقنّها على من فیها…! قالت له
طائفة خافت اللّه، و رعت الرسول فی عقبه: یا أبا حفص، إنّ فیها فاطمة…!
فصاح لايبالى: و إن..! و اقترب و قرع الباب، ثمّ ضربه و اقتحمه… و بداله
علىّ… و رنّ حینذاك صوت الزهراء عند مدخل الدار… فان هى الا طنین استغاثة…»
[17].
Maqatil ibn ‘Athiyyah, Kitâb al-Imâmah wa al-Khilâfah, hal. 160-161,
diterbitkan dengan kata pengantar Dr. Hamid Daud, dosen Universitas ‘Ain
al-Syams, Kairo, Cetakan Beirut, Muassasah al-Balagh:
« ان ابابكر
بعد ما اخذ البیعة لنفسه من الناس بالارهاب و السیف و القوّة ارسل عمر، و
قنفذاً و جماعة الى دار علىّ و فاطمه(علیه السلام) و جمع عمر الحطب على دار
فاطمه و احرق باب الدار!..»
Abubakar dan Umar mengancam untuk membakar
rumah Fatimah apabila penghuni yang berada di dalamnya enggan memberikan
baiat. Nah, bagaimana dapat kita katakan bahwa pemilihan Abubakar
secara musyawarah dan ijma’?
Hal ini dapat kita rasakan dari cara mereka mengancam untuk membakar rumah Fatimah apabila penghuni yang berada di dalamnya enggan memberikan baiat. Nah, bagaimana dapat kita katakan bahwa pemilihan sang khalifah tersebut terjadi secara musyawarah dan ijma’?
GHADiR KUM DAN HAJi WADA’
Pada tanggal 18 H tahun 10 H peristiwa Ghadir Kum terjadi yang dihadiri setidaknya 100 ribu orang ketika prosesi perjalanan haji..Pada tanggal 12 rabiul awal tahun ke 11 H Rasulullah SAW wafat.
SAAT JENAZAH NABi MASiH HANGAT
Suku Aus membai’at Abubakar karena khawatir atas kepemimpinan suku Khazraj..
Suku Khazraj batal membai’at Sa’ad bin Ubadah lalu memilih Abubakar sebagai solusi..
Kesepakatan ini karena panggilan jahiliyah..Muncul lagi ‘Ashabiyah setelah Rasul wafat..
Umar bin Khattab berkata : ”Demi Allah, saya tahu bahwa Ali adalah yang paling pantas dari semua orang untuk menjadi khalifah, tetapi karena tiga alasan maka kami singkirkan Ali, pertama ia terlalu muda, kedua ia terikat dengan keturunan Abdul Muthalib dan ketiga orang tidak ingin kenabian dan kekhalifahan berkumpul dalam satu keluarga” (Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj Al Balaghah, Dar Al Kutub Al ‘Arabiyah, 1959 halaman 134. Lihat juga Tarikh Al Yakubi halaman 103-106, Tarikh Abil Fidai halaman 156-166 dan Murujudz Dzahab halaman 307 dan 352).
Nama-Nama Yang menolak kepemimpinan Abu bakar antara lain :
DARi PiHAK KERABAT :
Imam Ali AS dan keluarganya.
Sahabat Nabi SAW yang menolak kepemimpinan Abu bakar antara lain :
DARi PiHAK KAUM MUHAJiRiN:
- Salman Al Farisi.
- Abu Dzar Al Ghifari.
- Miqdad bin Aswad.
- Ammar bin Yasir.
- Khalid bin Sa’id bin Abil Ash.
- Buraidah Al Aslami.
DARi PiHAK KAUM ANSHAR:
- Abul Haitsam bin Taihan.
- Usman bin Hunaif.
- Khuzaimah bin Tsabit Dzusy Syahadatain.
- Ubay bin Ka’ab.
- Abu Ayub Anshari.
Orang orang yang mengikuti kebenaran dan mengikuti para Rasul dan mempelajari dengan seksama pengajaran ilahiah lebih sedikit daripada MEREKA YANG MENENTANG KEBENARAN
Allah berfirman :
“Tapi kebanyakan mereka tidak bersyukur” (Qs. An Naml ayat 73).
“Dan hanya sedikit dari hamba Ku yang bersyukur” (Qs.Saba ayat 13).
“Sesungguhnya kebanyakan dari manusia dalam kefasikan” (Qs.Al Maidah ayat 49).
“Dan kebanyakan mereka benci kepada kebenaran itu” (Qs.Al Mu’minun ayat 70).
“Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya” (Qs. Yusuf ayat 103).
Ini mengisyaratkan batilnya berpegang pada suara mayoritas guna menegaskan benarnya tujuan yang hendak dicapai dan betulnya sisi pandang dalam masalah masalah seperti ini.
Penjagaan Nabi SAW dan Imam Ali AS atas keberlanjutan AGAMA iSLAM adalah lebih penting daripada beliau menjaga para sahabat nya. Lagipula proyek pengkaderan telah menghasilkan tokoh tokoh revolusioner yang tangguh seperti Salman Al Farisi, Abu Dzar Al Ghifari, Ammar bin Yasir, Miqdad dll.
Pengikut pengikut imam Ali AS membentuk kelompok minoritas yang disebut Mazhab Syi’ah Imamiyah.
Baiat Ali as kepada para khalifah sebelumnya
Penjagaan Nabi SAW dan Imam Ali AS atas keberlanjutan AGAMA iSLAM adalah lebih penting daripada beliau menjaga para sahabat nya. Lagipula proyek pengkaderan telah menghasilkan tokoh tokoh revolusioner yang tangguh seperti Salman Al Farisi, Abu Dzar Al Ghifari, Ammar bin Yasir, Miqdad dll
Pertama: Imam Ali As, sejumlah sahabatnya dan sebagian sahabat Rasulullah Saw pada mulanya tidak memberikan baiat kepada Abu Bakar dan tatkala memberikan baiat hal itu dilakukan semata-mata untuk menjaga Islam dan kemaslahatan pemerintahan Islam.
Kedua, seluruh problema yang ada tidak dapat diselesaikan dengan pedang dan keberanian. Tidak setiap saat otot dan kekuatan fisik harus digunakan. Manusia bijak dan cendekia memecahkan setiap persoalan dengan perantara media-media tertentu.
Ketiga, apabila Imam Ali As memberikan baiat kepada beberapa orang tertentu lantaran kemaslahatan yang bernilai seperti menjaga agama Tuhan dan segala jerih payah Rasulullah Saw maka hal itu tidak bermakna bahwa beliau lebih menguatirkan kekuasaan mereka ketimbang jiwanya atau mereka lebih memiliki kemampuan dan kekuasaan dalam masalah kepemimpinan dan leadership umat Islam.
Keempat, yang dapat disimpulkan dari sejarah dan tuturan Imam Ali bahwa beliau berulang kali menyampaikan protes terhadap situasi dan kondisi di masa tiga khalifah namun upaya maksimal beliau dikerahkan untuk menjaga dan menguatkan pemerintahan Islam di hadapan musuh-musuhnya.
Dengan menyimak sejarah masa awal-awal kemunculan Islam maka menjadi jelas bahwa:
Pertama, Rasulullah Saw belum lagi dikebumikan orang-orang berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah dan sebagian orang memberikan baiat kepada orang selain Ali As sementara Ali As sedang sibuk mengurus pemakaman Rasulullah Saw, mengafani dan mengebumikan Rasulullah Saw.[1]
Sebagaian kecil sahabat beserta pemuka kabilah seperti Abbas bin Abdul Muththalib, Fadhl bin Abbas, Zubair bin Awwam, Khalid bin Sa’id, Miqdad bin Amr, Salman Parsi, Abu Dzar Ghiffari, Ammar bin Yasir, Bara’a bin ‘Azib, Ubay bin Ka’ab tidak memberikan baiat kepada segelintir orang yang berkumpul di Saqifah dan berpihak pada Imam Ali As.[2]
Sesuai dengan nukilan lugas dari Ahmad bin Hanbal dalam Musnad 1/55 dan Thabari 2/466 sebagian orang ini berkumpul di rumah Fatimah Zahra As dan menolak memberikan baiat kepada Abu Bakar.[3]
Disebutkan dalam kitab sejarah bahwa Baginda Ali As dalam menjawab mereka yang berkumpul di rumahnya dan permintaan mereka untuk memberikan baiat kepadanya, “Besok pagi datanglah (kemari) dan cukurlah rambut kalian!” Akan tetapi keesokan harinya hanya sedikit orang yang datang.[4]
Demikian juga dalam sejarah diriwayatkan bahwa Ali As tidak memberikan baiat selama Fatimah Zahra masih hidup namun tatkala melihat orang-orang mengabaikannya maka beliau terpaksa berdamai dengan Abu Bakar.[5]
Karena itu, Imam Ali As dan sebagian sahabatnya demikian juga sebagian sahabat Rasulullah Saw mula-mula dan hingga masa tertentu pasca wafatnya Rasulullah Saw tidak memberikan baiat kepada Abu Bakar dan tatkala mereka memberikan baiat hal itu dilakukan untuk kemaslahatan dan keselamatan pemerintahan Islam.
Beladzuri dalam menjelaskan sebab mengapa Imam Ali memberikan baiat berkata, “Pasca wafatnya Rasulullah Saw dimana sebagian suku Arab telah murtad, Usman datang ke hadapan Ali dan berkata, “Wahai Putra Paman! Selama Anda tidak memberikan baiat tiada seorang pun yang akan pergi berperang melawan musuh.” Usman senantiasa membicarakan hal ini dengan Ali hingga pada akhirnya Baginda Ali As memberikan baiat kepada Abu Bakar.”[6]
Akan tetapi Baginda Ali As sendiri senantiasa menyampaikan keluhan dan protes (terhadap proses perampasan khilafah ini) pada masa Abu Bakar dan setelahnya.
Terkait dengan hal ini, Imam Ali As bersabda, “Ketahuilah! Demi Allah putra Abu Quhafah (Abu Bakar) membusanai dirinya dengan (kekhalifahan) itu, padahal ia tahu pasti bahwa kedudukanku sehubungan dengan itu adalah sama dengan kedudukan poros pada penggiling. Air bah mengalir (menjauh) dariku dan burung tak dapat terbang sampai kepadaku. Aku memasang tabir terhadap kekhalifahan dan melepaskan diri darinya. Kemudian aku mulai berpikir, apakah aku harus menyerang ataukah menanggung dengan tenang kegelapan membutakan dan azab, dimana orang dewasa menjadi lemah dan orang muda menjadi tua, dan orang mukmin yang sesungguhnya hidup di bawah tekanan sampai ia menemui Allah (saat matinya). Aku dapati bahwa kesabaran atasnya lebih bijaksana. Maka aku mengambil kesabaran, walaupun ia menusuk di mata dan mencekik di kerongkongan.”[7]
Adapun terkait mengapa Imam Ali As dengan keberanian yang dimilikinya namun tidak angkat senjata? Maka jawabannya adalah bahwa seluruh problema yang terjadi tidak dapat diselesaikan dengan pedang dan perang. Tidak setiap saat otot dan kekerasan fisik harus digunakan. Manusia bijak dan cendekia memecahkan setiap persoalan dengan media-media tertentu. Memiliki kekuasaan dan kemampuan serta keberaninan di medan perang sekali-kali tidak dapat menjadi dalih untuk melakukan pelbagai perbuatan yang tidak mendatangkan kemasalahatan.
Sebagaimana Nabi Harun As tatkala melihat kaum Musa berpaling menjadi penyembah sapi meski beliau adalah seorang elokuen (fasih) dan merupakan washi (penyampai wasiat) Nabi Musa As akan tetapi beliau tidak melakukan apa pun kecuali menyampaikan kebenaran dan peringatan kepada mereka. Al-Qur’an menandaskan tuturan Harun sebagai jawaban dari protes keras Nabi Musa As atas sikapnya yang berdiam diri tidak mencegah penyembahan sapi Bani Israil,
“Harun menjawab, “Hai putra ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku), “Kamu telah memecah antara Bani Isra’il dan kamu tidak memelihara amanahku.” (Qs. Thaha [20]:94).
Ihwal Nabi Ibrahim, al-Qur’an memberitakan bahwa Nabi Ibrahim menjauhkan diri dari penyembah berhala,
“Maka ketika Ibrahim sudah menjauhkan diri dari mereka” (Qs. Maryam [19]:49).
Demikian juga terkait dengan tindakan para pemuda Ashabul Kahf yang menarik diri dari kaum zalim,
“(Kami berkata kepada mereka), “Apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan rahmat-Nya kepadamu dan menghamparkan ketenangan bagimu dalam urusan kamu ini.” (Qs. Al-Kahf [18]:16).
Apakah benar kita memandang mereka dalam proses toleransi dan menahan diri ini atau takut atau pengkhianat?
Padahal dalam kondisi seperti ini jalan toleransi dan menahan diri merupakan jalan terbaik.
Apabila Imam Ali As memberikan baiat kepada sebagian orang karena kemaslahatan seperti menjaga agama Tuhan dan hasil kerja keras Rasulullah Saw hal ini tidak bermakna bahwa beliau takut dari kekuatan dan kekuasaan mereka atau lebih kurang kekuasaan dan kekuatannya dalam masalah kepemimpinan umat Islam dimana apabila kepemimpinan diserahkan kepadanya maka pada masa-masa tersebut kekuasaan kepemimpinannya dapat dibuktikan.
Baginda Ali As menjelaskan mengapa dirinya tidak angkat senjata. Hal itu disebabkan karena beliau sendiri, sebagaimana yang dijelaskan, “Saya melihat dan mendapatkan bahwa tidak ada pendukung bagi aku kecuali keluarga saya; maka aku hindarkan mereka dari terjerumus ke dalam kematian. Aku terus menutup mata saya walaupun kelilipan. Aku minum walaupun kerongkongan terteguk. Aku bersabar walaupun susah bernapas dan walaupun harus menelan jadam sebagai makanan.”[8]
Penjagaan Nabi SAW dan Imam Ali AS atas keberlanjutan AGAMA iSLAM adalah lebih penting daripada beliau menjaga para sahabat nya. Lagipula proyek pengkaderan telah menghasilkan tokoh tokoh revolusioner yang tangguh seperti Salman Al Farisi, Abu Dzar Al Ghifari, Ammar bin Yasir, Miqdad dll.
Pada kesempatan lain, Baginda Ali menjelaskan alasannya mengapa tidak angkat senjata sedemikian, “Apabila aku katakan maka mereka akan menyebut aku serakah akan kekuasaan, tetapi apabila aku berdiam diri mereka akan mengatakan bahwa aku takut mati. Sungguh sayang, setelah segala pasang surut (yang saya alami)! Demi Allah, putra Abu Thalib lebih akrab dengan kematian daripada seorang bayi dengan dada ibunya. “[9]
Kesimpulannya bahwa alasan mengapa Baginda Ali As memberikan baiat kepada para khalifah hal itu bukan lantaran takut (karena semua orang, kawan dan lawan tahu tentang keberaniaan tiada tara yang dimiliki Baginda Ali As) melainkan kurangnya pendukung di jalan kebenaran dan juga didorong oleh kemaslahatan untuk menjaga kesatuan, keutuhan dan kemaslahatan Islam.
Sebuah tindakan yang dilakukan oleh setiap pemimpin sejati bahkan Rasulullah Saw sendiri, dimana lantaran kurangnya pendukung dan untuk menjaga pendukung yang sedikit itu dan menjaga kemaslahatan Islam, terpaksa menarik diri dari kaumnya dan berhijrah ke Madinah hingga beliau mendapatkan banyak pengikut yang berujung pada peristiwa Fathu Makkah. Atau pada masa lainnya, Rasulullah Saw terpaksa memilih berdamai dengan orang-orang Musyrik. Apakah tindakan seperti ini dapat disebut sebagai tindakan pengecut bahwa apabila Rasulullah Saw memandang dirinya sebagai Rasululullah lantas mengapa berdamai dengan orang-orang musyrik? Dimana apabila beliau tidak memiliki kekuataan yang dapat menandingi lantas ia tidak memiliki kelayakan untuk menjabat sebagai seorang nabi dan pemimpin?!
Karena itu, Baginda Ali As, meski beliau adalah khalifah Rasulullah Saw, lebih memilih bersabar dan menahan diri. Hal itu didorong oleh keinginan yang luhur untuk menjaga kemaslahatan masyarakat Islam. Karena beliau dengan baik memahami bahwa bukan tempatnya untuk angkat senjata, menghunus pedang dan memamerkan keberanian dan adu otot di jalan Allah. Akan tetapi kondisi masyarakat Islam pasca wafatnya Rasulullah menuntut kesabaran lebih tinggi nilainya ketimbang keberanian. Beliau mengetahui bahwa dalam kondisi seperti ini bahwa menghunus pedang akan lebih banyak dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam untuk melenyapkan dan mencerabut Islam hingga ke akar-akarnya. Karena itu, kemaslahatan pribadi dikorbankan untuk kemaslahatan yang lebih penting yaitu asas Islam.
Referensi:
[1]. Kanz al-‘Ummâl, 5/652.
[2]. Suyuthi, Târikh al-Khulâfah, hal. 62, Dar al-Fikr, Libanon. Târikh Ya’qubi, 124/125-2. Thabari, Târikh al-Umam wa al-Muluk, jil. 2, hal. 443, Istiqamat, Kairo. Musnad Ahmad, jil. 3, hal. 165, Dar al-Shadir.
[3]. Ibid.
[4]. Ma’âlim al-Madrasatain, Allamah ‘Askari, jil. 1, hal. 162.
[5]. Thabari, Târikh al-Umam wa al-Muluk, 2/448, Istiqamat, Kairo.
[6]. Ansab al-Asyrâf, 1/587.
[7]. Nahj al-Balâgha, Khutbah 3, hal. 45.
[8]. Nahj al-Balâgha, Khutbah 36, hal. 73.
[9]. Nahj al-Balâgha, Khutbah 5, hal. 51.
Mayoritas sahabat Nabi SAW yang wafat ketika Muhammad SAW masih hidup insya Allah akan masuk surga menurut syi’ah.
Perang yang terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW terbagi atas ghazwah (gazwah) dan sariyah (sariyyah). Ghazwah adalah perang yang dipimpin oleh Nabi SAW, sedangkan sariyah adalah perang yang dipimpin oleh sahabat atas penunjukan Nabi SAW. Para
ahli sejarah Islam berbeda pendapat tentang jumlah ghazwah dan sariyah.
Ada beberapa ghazwah dan sariyah dalam sejarah Islam, antara lain
sebagai berikut :
Ghazwah | Sariyah | |||
al-Asyirah | 2 H | Abdullah bin Jahsy | 2 H | |
Badar | 2 H | Abdullah bin Unais | 3 H | |
Bahran | 3 H | Abdurrahman bin Auf | 6 H | |
Bani Lihyan | 6 H | Abu Auja’ | 7 H | |
Bani Mustaliq | 6 H | Abu Bakar | 7 H | |
Bani Qainuqa | 2 H | Abu Salam | 3 H | |
Banu Quraizah | 5 H | Abu Ubaidah bin Jarrah | 6 H | |
Bani Sulaim | 3 H | Ali bin Abi Thalib | 10 H | |
Buwat | 2 H | Bani Asad | 4 H | |
Daumat al-Jandal | 4 H | Basyir bin Sa’ad al-Ansari | 7 H | |
Fath al-Makkah | 6 H | Bi’ru Ma’unah | 6 H | |
al-Gabah | 6 H | Ghalib bin Abdullah al-Laisi | 7 H | |
Hamra’ al-Asad | 3 H | Hamzah bin Abdul Muthalib | 1 H | |
Hunain | 8 H | Hasma | 6 H | |
Khaibar | 7 H | Ijla’ Bani Nadir | 4 H | |
Khandaq | 5 H | Ka’b bin Umair al-Gifari | 8 H | |
al-Kidr | 3 H | Muhammad bin Maslamah | 6 H | |
Mu’tah | 8 H | Qirdah | 3 H | |
Safwan | 2 H | Raji’ | 4 H | |
Sawiq | 2 H | Sa’d bin Abi Waqqas | 1 H | |
Tabuk | 9 H | Ubaidah bin Haris | 1 H | |
Ta’if | 8 H | Ukasyah | 6 H | |
Uhud | 3 H | Umar Bin Khattab | 7 H | |
Widan | 2 H | Zaid bin Haritsah | 6 H | |
Zat ar-Riqa’ | 3 H | Zat ar-Riqa’ | 4 H | |
Zi Amr | 3 H |
Perang Badar (17 Ramadan 2 H)
Perang Badar terjadi di Lembah Badar, 125 km selatan Madinah. Perang
Badar merupakan puncak pertikaian antara kaum muslim Madinah dan
musyrikin Quraisy Mekah. Peperangan ini disebabkan oleh tindakan
pengusiran dan perampasan harta kaum muslim yang dilakukan oleh
musyrikin Quraisy. Selanjutnya kaum Quraisy terus menerus berupaya
menghancurkan kaum muslim agar perniagaan dan sesembahan mereka
terjamin. Dalam peperangan ini kaum muslim memenangkan pertempuran
dengan gemilang. Tiga tokoh Quraisy yang terlibat dalam Perang Badar
adalah Utbah bin Rabi’ah, al-Walid dan Syaibah. Ketiganya tewas di
tangan tokoh muslim seperti Ali bin Abi Thalib. Ubaidah bin Haris dan
Hamzah bin Abdul Muthalib. adapun di pihak muslim Ubaidah bin Haris
meninggal karena terluka.
Perang Uhud (Syakban 3 H)
Perang Uhud terjadi di Bukit Uhud. Perang Uhud dilatarbelakangi
kekalahan kaum Quraisy pada Perang Badar sehingga timbul keinginan untuk
membalas dendam kepada kaum muslim. Pasukan Quraisy yang dipimpin
Khalid bin Walid mendapat bantuan dari kabilah Saqib, Tihamah, dan
Kinanah. Nabi Muhammad SAW segera mengadakan musyawarah untuk mencari
strategi perang yang tepat dalam menghadapi musuh. Kaum Quraisy akan
disongsong di luar Madinah. Akan tetapi, Abdullah bin Ubay membelot dan
membawa 300 orang Yahudi kembali pulang. Dengan membawa 700 orang yang
tersisa, Nabi SAW melanjutkan perjalanan sampai ke Bukit Uhud. Perang
Uhud dimulai dengan perang tanding yang dimenangkan tentara Islam tetapi
kemenangan tersebut digagalkan oleh godaan harta, yakni prajurit Islam
sibut memungut harta rampasan. Pasukan Khalid bin Walid memanfaatkan
keadaan ini dan menyerang balik tentara Islam. Tentara Islam menjadi
terjepit dan porak-poranda, sedangkan Nabi SAW sendiri terkena serangan
musuh. Pasukan Quraisy kemudian mengakhiri pertempuran setelah mengira
Nabi SAW terbunuh. Dalam perang ini, Hamzah bin Abdul Muthalib (paman
Nabi SAW) meninggal terbunuh.
Perang Khandaq (Syawal 5 H)
Lokasi Perang Khandaq adalah di sekitar kota Madinah bagian utara.
Perang ini juga dikenal sebagai Perang Ahzab (Perang Gabungan). Perang
Khandaq melibatkan kabilah Arab dan Yahudi yang tidak senang kepada Nabi
Muhammad SAW. Mereka bekerjasama melawan Nabi SAW. Di samping itu,
orang Yahudi juga mencari dukungan kabilah Gatafan yang terdiri dari
Qais Ailan, Bani Fazara, Asyja’, Bani Sulaim, Bani Sa’ad dan Ka’ab bin
Asad. Usaha pemimpin Yahudi, Huyay bin Akhtab, membuahkan hasil.
Pasukannya berangkat ke Madinah untuk menyerang kaum muslim. Berita
penyerangan itu didengar oleh Nabi Muhammad SAW. Kaum muslim segera
menyiapkan strategi perang yang tepat untuk menghasapo pasukan musuh.
Salman al-Farisi, sahabat Nabi SAW yang mempunyai banyak pengalaman
tentang seluk beluk perang, mengusulkan untuk membangun sistem
pertahanan parit (Khandaq). Ia menyarankan agar menggali parit di
perbatasan kota Madinah, dengan demikian gerakan pasukman musuh akan
terhambat oleh parit tersebut. Usaha ini ternyata berhasil menghambat
pasukan musuh.
Perang Khaibar (7 H)
Lokasi perang ini adalah di daerah Khaibar. Perang Khaibar merupakan
perang untuk menaklukkan Yahudi. Masyarakat Yahudi Khaibar paling sering
mengancam pihak Madinah melalui persekutuan Quraisy atau Gatafan.
Pasukan muslimin yang dipimpin Nabi Muhammad SAW menyerang benteng
pertahanan Yahudi di Khaibar. Pasukan muslim mengepung dan memutuskan
aliran air ke benteng Yahudi. Taktik itu ternyata berhasil dan akhirnya
pasukan muslim memenangkan pertempuran serta menguasai daerah Khaibar.
Pihak Yahudi meminta Nabi SAW untuk tidak mengusir mereka dari Khaibar.
Sebagai imbalannya, mereka berjanji tidak lagi memusuhi Madinah dan
menyerahkan hasil panen kepada kaum muslim.
Perang Mu’tah (8 H)
Perang ini terjadi karena Haris al-Ghassani raja Hirah, menolak
penyampaian wahyu dan ajakan masuk Islam yang dilakukan Nabi Muhammad
SAW. Penolakan ini disampaikan dengan cara membunuh utusan Nabi SAW.
Nabi SAW kemudian mengirimkan pasukan perang di bawah pimpinan Zaid bin
Harisah. Perang ini dinamakan Perang Mu’tah karena terjadi di desa
Mu’tah, bagian utara Semenanjung Arabia. Pihak pasukan muslim mendapat
kesulitan menghadapi pasukan al-Ghassani yang dibantu pasukan Kekaisaran
Romawi. Beberapa sahabat gugur dalam pertempuran tersebut, antara lain
Zaid bin Harisah sendiri. Akhirnya Khalid bin Walid mengambil alih
komando dan menarik pasukan muslim kembali ke Madinah. Kemampuan Khalin
bin Walid menarik pasukan muslimin dari kepungan musuh membuat kagum
masyarakat wilayah tersebut. Banyak kabilah Nejd, Sulaim, Asyja’,
Gatafan, Abs, Zubyan dan Fazara masuk Islam karena melihat keberhasilan
dakwah Islam.
Penaklukan Kota Mekah/Fath al-Makkah (8 H)
Fath al-Makkah terjadi di sekitar kota Mekah. Latar belakang
peristiwa ini adalah adanya anggapan kaum Quraisy bahwa kekuatan kaum
muslim telah hancur akibat kalah perang di Mu’tah. Kaum Quraisy
beranggapan Perjanjian Hudaibiyah (6 H) tidak penting lagi, maka mereka
mengingkarinya dan menyerang Bani Khuza’ah yang berada dibawa
perlindungan kaum muslim. Nabi Muhammad SAW segera memerintahkan pasukan
muslimin untuk menghukum kaum Quraisy. Pasukan muslimin tidak mendapat
perlawanan yang berarti, kecuali dari kaum Quraisy yang dipimpin Ikrimah
dan Safwan. Berhala di kota Mekah dihancurkan dan akhirnya banyak kaum
Quraisy masuk Islam.
Perang Hunain ( 8 Safar 8 H)
Perang Hunain berlangsung antara kaum muslim melawan kaum Quraisy
yang terdiri dari Bani Hawazin, Bani Saqif, Bani Nasr dan Bani Jusyam.
Perang ini terjadi di Lembah Hunain, sekitar 70 km dari Mekah. Perang
Hunain merupakan balas dendam kaum Quraisy karena peristiwa Fath
al-Makkah. Pada awalnya pasukan musuh berhasil mengacaubalaukan pasukan
Islam sehingga banyak pasukan Islam yang gugur. Nabi SAW kemudian
menyemangati pasukannya dan memimpin langsung peperangan. Pasukan muslim
akhirnya dapat memenangkan pertempuran tersebut.
Perang Ta’if (8 H)
Pasukan muslim mengejar sisa pasukan Quraisy, yang melarikan diri
dari Hunain, sampai di kota Ta’if. Pasukan Quraisy bersembunyi dalam
benteng kota yang kokoh sehingga pasukan muslimin tidak dapat menembus
benteng. Nabi Muhammad SAW mengubah taktik perangnya dengan memblokade
seluruh wilayah Ta’if. Pasukan muslimin kemudian membakar ladang anggur
yang merupakan sumber daya alam utama penduduk Ta’if. Penduduk Ta’if
pada akhirnya menyerah dan menyatakan bergabung dengan pasukan Islam.
Perang Tabuk (9 H)
Lokasi perang ini adalah kota Tabuk, perbatasan antara Semenanjung
Arabia dan Syam (Suriah). Adanya peristiwa penaklukan kota Mekah membuat
seluruh Semenanjung Arabia berada di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad
SAW. Melihat kenyataan itu, Heraklius, penguasa Romawi Timur, menyusun
pasukan besar untuk menyerang kaum muslim. Pasukan muslimin kemudian
menyiapkan diri dengan menghimpun kekuatan yang besar karena pada masa
itu banyak pahlawan Islam yang menyediakan diri untuk berperang bersama
Nabi SAW. Pasukan Romawi mundur menarik diri setelah melihat besarnya
jumlah pasukan Islam. Nabi SAW tidak melakukan pengejaran tetapi
berkemah di Tabuk. Di sini Nabi SAW membuat perjanjian dengan penduduk
setempat sehingga daerah perbatasan tersebut dapat dirangkul dalam
barisan Islam.
Perang Widan (12 Rabiulawal 2 H)
Perang ini terjadi di Widan, sebuah desa antara Mekah dan Madinah.
Rasulullah SAW memimpin pasukan muslimin menghadang kafilah Quraisy.
Pertempuran fisik tidak terjadi karena kafilah Quraisy lewat di daerah
tersebut. Rasulullah SAW selanjutnya mengadakan perjanjian kerjasama
dengan Bani Damrah yang tinggal di rute perdagangan kafilah Quraisy di
Widan. Kesepakatan tersebut berisi kesanggupan Bani Damrah untuk
membantu kaum muslim apabila dibutuhkan.
Sariyah Hamzah bin Abdul Muthalib (Ramadhan 1 H)
Perang ini merupakan sariyah pertama yang terjadi dalam sejarah
Islam. Sariyah ini berlangsung di dataran rendah al-Bahr, tidak jauh
dari kota Madinah. Perang ini melibatkan 30 orang muslimin dan 300 orang
Quraisy. Pasukan muslimin dipimpin Hamzah bin Abdul Muthalib, sedangkan
pasukan Quraisy dipimpin Abu Jahal bin Hisyam. Perang ini tidak
menimbulkan korban karena segera dilerai Majdi bin Amr.
Sariyah Ubaidah bin Haris (Syawal 1 H)
Sariyah ini berlangsung di al-Abwa’, desa antara Mekah dan Madinah.
Kaum muslim berjumlah 80 orang, sedangkan kaum Quraisy berjumlah sekiyat
200 orang. Kaum muslim (semuanya Muhajirin) dipimpin Ubaidah bin Haris,
sedangkan kaum Quraisy dipimpin Abu Sa’ad bin Abi Waqqas sempat
melepaskan anak panahnya. Peristiwa tersebut menandai lepasnya anak
panah pertama dalam sejarah perang Islam.
Sariyah Abdullah bin Jahsy (Rajab 2 H)
Perang ini dipimpin Abdullah bin Jahsy, sedangkan kaum Quraisy
dipimpin Amr bin Hazrami. Perang ini terjadi di Nakhlah, antara Ta’if
dan Mekah. Kaum muslim berhasil membunuh Amr bin Hazrami dan menahan dua
orang Quraisy sebagai tawanan perang. Kaum muslim juga memperoleh harta
rampasan perang dan membawanya ke hadapan Nabi Muhammad SAW. Nabi SAW
menyatakan bahwa beliau tidak pernah menyuruh mereka berperang karena
pada bulan Rajab diharamkan untuk membunuh atau melakukan peperangan.
Peristiwa tersebut kemudian digunakan oleh kaum Quraist untuk memfitnah
dengan mengatakan kaum muslim melanggar bulan suci. Pada saat itu turun
firman Allah SWT surah al-Baqarah (2) ayat 217 yang menjelaskan tentang
ketentuan berperang pada bulan Haram (bulan Rajab).
Sariyah Qirdah (Jumadilakhir 3 H)
Sariyah Qirdah berlangsung di sumur Qirdah, suatu tempat di Nejd
(Arab Saudi). Kaum muslim berjumlah 100 orang penunggang kuda, dipimpin
oleh Zaid bin Harisah. Sariyah Qirdah bertujuan untuk menghadang kafilah
Quraisy dari Mekah. Perang ini berhasil dimenangkan kaum muslim dengan
menyita harta kaum Quraisy. Harta tersebut kemudian dijadikan ganimah
(harta rampasan perang), yang merupakan ganimah pertama dalam sejarah
perang Islam. Sebagian orang musyrik yang tidak melarikan diri
selanjutnya dibawa ke Madinah dan akhirnya menyatakan diri masuk Islam.
Sariyah Bani Asad (4 H)
Sariyah ini berlangsung di Gunung Bani Asad, di sebelah timur
Madinah. Nabi Muhammad SAW memerintahkan kaum muslim untuk menghadang
Bani Asad yang berencana untuk menyerang Madinah. Nabi SAW menganjurkan
agar pasukan muslim berjalan pada malam hari dengan menempuh jalan yang
tidak biasa dilalui orang. Pasukan muslim yang dipimpin Abu Salam
al-Makhzum dan terdiri dari 150 orang berhasil menyergap musuh. Mereka
juga mendapatkan ganimah (harta rampasan perang) dari pihak Bani Asad.
Sariyah Raji (Safar 4 H)
Sariyah ini berlangsung di Raji’, yakni suatu daerah yang terletak di
antara Mekah dan ‘Asfan dan melibatkan pasukan muslimin melawan pasukan
Bani Huzail. Perang ini dilatarbelakangi oleh rencana pemimpin Bani
Huzail, Khalid bin Sufyan bin Nubaih al-Huzali,untuk menyerang Madinah.
Nabi Muhammad SAW memerintahkan Abdullah bin Unais meneliti kebenaran
rencana tersebut. Abdullah kemudian membunuh Khalid dan melaporkan
kejadian itu kepada Nabi Muhammad SAW. Bani Lihyan, cabang Bani Huzail
merencanakan balas dendam atas terbunuhnya Khalid. Mereka meminta agar
Nabi Muhammad SAW mengirimkan beberapa sahabat untuk memberi pelajaran
agama Islam kepada mereka.Nabi Muhammad SAW mengabulkan permintaan itu
dan mengirimkan enam orang sahabat beserta rombongan utusan Bani Lihyan.
Keenam sahabat disergap oleh pasukan Bani Huzail di Raji’. Para sahabat
itu sempat mengadakan perlawanan, namun tiga orang terbunuh dan tiga
lainnya ditawan oleh musuh. Tiga orang sahabat yang ditawan selanjutnya
dibawah ke kaum musyrikin Mekah dan akhirnya dibunuh.
Sariyah Biru Ma’unah (Safar 4 H)
Sariyah Bi’ru Ma’unah berlangsung di wilayah timur Madinah antara
kaum muslim dan Bani Amir. Nabi Muhammad SAW mengutus Amir bin Malik
(Abu Barra’), seorang pemimpin dari Bani Amir yang sebelumnya menolak
untuk memeluk agama Islam, beserta al-Munzir bin Amar dari Bani Sa’idah
untuk memimpin 40 orang tentara yang terdiri dari para penghafal
Al-Qur’an. Rombingan tersebut berjalan sampai di Bi’ru Ma’unah, yakni
suatu daerah antara Bani Amir dan Bani Salim. Mereka mengirimkan surat
kepada Amir bin Tufail, pemimpin Bani Amir, melalui seorang anggota
pasukan yang bernama Haram bin Malhan. Amir bin Tufail membunuh Haram
bin Malhan, sehingga memicu peperangan antara kedua belah pihak. Kaum
muslim mengalami kekalahan dalam sariyah ini karena semua pasukan gugur,
kecualil Ka’b bin Zaid al-Ansari. Rabi’ah, anak Abu Barra’, membunuh
Amir bin Tufail dengan sebilah tombak sebagai balas dendam atas kematian
ayahnya.
Sariyah Ijla’ Bani Nadir
Sariyah Ijla’ Bani Nazir merupakan sariyah yang dilakukan sahabat
Nabi SAW untuk mengusir Bani Nadir dari tempat tinggal mereka.Latar
belakang tindakan ini adalah niat Bani Nadir untuk membunuh utusan Nabi
Muhammad SAW. Utusan Nabi SAW tersebut ingin menyelesaikan maslaah
pembunuhan yang dilakukan Amr bin Umayyah, kabilah Bani Amir dan sekutu
Bani Nadir, terhadap dua orang muslimin. Tindakan pengusiran ini semula
tidak mendapat tanggapan dari Huyay bin Akhtab, epmimpin Bani Nadir,
tetapi karena diancam akan diserang oleh kaum muslim akhirnya mereka mau
pindah daerahnya. Nabi SAW memberi jaminan keselamatan atas harta benda
dan anak-anak mereka sampai keluar dari Madinah. Sebagian dari Bani
Nadir menetap di Khaibar dan di Syam (Suriah).
Sariyah Zi al-Qissah
Sariyah berlangsung di Zi al-Qissah, sekitar 24 mil dari Madinah,
antara kaum muslim dan Bani Sa’labah. Bani Sa’labah berencana menyerang
peternakan kaum muslim di Haifa’, suatu tempat yang jauh dari Madinah.
Setelah mengetahui rencana tersebutm pasukan muslimin segera menyerang
Bani Sa’labah dengan mengirim 10 orang yang dipimpin oleh Muhammad bin
Maslamah. Pasukan pertama itu gagal menjalankan tugas karena mereka
dibunuh ketika beristirahat di pinggiran desa. Muhammad bin Maslamah
melaporkan kejadian tersebut kepada Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya Nabi
SAW mengirimkan pasukan kedua di bawah pimpinan Abu Ubaidah bin Jarrah.
Bani Sa’labah melarikan diri ketika Abu Ubaidah sampai di tempat itu.
Sariyah Ka’b bin Umair al-Gifari (8 H)
Latar belakang sariyah ini adalah penolakan kaum musyrikin di Zat
Atlah, suatu tempat di Syam (Suriah),terhadap ajakan beberapa utusan
Nabi Muhammad SAW untuk memeluk agama Islam. Nabi SAW mengirimkan 15
tentara untuk menyerang mereka. Pertempuran tersebut berlangsung sengit,
dan akhirnya semua pasukan muslim menjadi syuhada, kecuali Ka’b bin
Umair al-Gifari (pemimpin perang) yang dapat menyelamatkan diri.
Referensi:
- Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, Prof. Dr. Nurcholish Madjid, etc. Ensiklopedi Islam, Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2005.
- Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy, MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr. Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja, MA.
- Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, Atlas Sejarah Para Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para Utusan Allah, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
- Dr. Syauqi Abu Khalil, Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur’an secara Akurat disertai Peta dan Foto, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
- Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs. A. Faruq Nasution), Al-Quran Terjemah Indonesia, Penerbit PT. Sari Agung, Jakarta, 2004
- Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Quran, Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata, Syaamil International, 2007.
- alquran.bahagia.us, al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, Al-Quran web, PT. Gilland Ganesha, 2008.
- Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Mutiara Hadist Shahih Bukhari Muslim, PT. Bina Ilmu, 1979.
- Al-Hafizh Zaki Al-Din ‘Abd Al-’Azhum Al Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka, Bandung, 2008.
- M. Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 2008.
- Al-Bayan, Shahih Bukhari Muslim, Jabal, Bandung, 2008.
- Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah al-Ma’arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 1999.
Seorang pembaca bertanya : “berapa Jumlah Sahabat Nabi SAW yang SALEH yang mati syahid dalam Perang dan wafat secara alamiah Sepanjang Kehidupan Nabi SAW sebelum meletusnya kudeta di Saqifah Bani Sa’idah ????”
Jawaban :
Soal jumlah yang SALEH kami tidak tau pasti.
Jumlah Muslimin di Madinah pada saat Rasul SAW datang (ketika Hijrah) paling banter ratusan orang saja, buktinya Pada Perang BADAR jumlah prajurit muslimin sekitar 313 orang. Ini membuktikan ayat yang memuji Muhajirin dan Anshar hanyalah mencakup segelintir umat Muhammad. Beberapa bulan setelah Rasul hijrah ke Madinah, sahabat Nabi bernama Kultsum bin Hadam, As’ad bin Zurarah dan Abu ‘Amamah As’ad bin Zurarah wafat secara alamiah. Semoga kubur para sahabat ini dilapangkan oleh Allah SWT.
PERANG BADAR
Pada Perang BADAR jumlah prajurit muslimin sekitar 313 orang, yang mana 14 orang prajurit muslimin gugur pasca perang.
PERANG UHUD
Pada Perang UHUD jumlah pasukan muslimin hanya 700 orang, yang mana 70 orang diantaranya gugur. Dalam perang ini hanya sekitar 8 orang yang tidak melarikan diri karena bertekad mati membela Rasul dari kalangan Muhajirin dan Anshar.
Allah SWT mengabadikan orang orang yang lari dari perang ini,
Firman Allah SWT: “Ingatlah ketika kamu (lari) naik keatas (bukit), tanpa menoleh kepada siapapun dan Rasul memanggil kamu dari belakang” (Qs.Ali Imran ayat 153)
Saat itu pula turun ayat yang mengingatkan mereka yang kabur karena mendengar Rasul terbunuh : “Muhammad hanyalah seorang Rasul. Sebelumnya telah berlalu Rasul rasul. Apabila ia wafat atau terbunuh, apakah kamu berbalik menjadi murtad ? Tetapi barangsiapa berbalik murtad, sedikitpun ia tidak merugikan Allah” (Qs. )
Abubakar, Umar dan Usman bukanlah sosok penempur sehingga lari dari Perang. Usman bin Affan melarikan diri sampai tiga hari baru pulang karena ketakutan. Umar lari dengan mendaki bukit uhud. Abubakar sempat lari juga.
PERANG KHANDAQ
Pada PERANG KHANDAQ melawan Yahudi pada bulan Syawal 5 H atau Januari 627 M jumlah pasukan muslimin meningkat menjadi sekitar 3000 orang.
BAi’AT DiBAWAH POHON
Pada bulan Zulhijjah tahun 6 H atau bulan april tahun 628 M terjadi proses Bai’at dibawah pohon atau bai’at yang diridhai ( menjadi asbabun nuzul Qs.ayat 18) maka tercatat pengikut Nabi SAW yang membai’at tidak lebih dari 1500 orang saja.
PERANG KHAiBAR
Pada perang melawan Yahudi di Khaibar bulan Muharram 7 H atau juni 628 M ada 19 orang prajurit muslimin yang terbunuh. Abu Hurairah masuk Islam pada perang ini. Nabi SAW mendapat kebun Fadak pada moment ini.
FATHUL MEKKAH
Madinah pada tanggal 10 ramadhan 8 H (1 januari 630 M). Hari kesepuluh bulan puasa musim dingin, serombongan kafilah yang terdiri dari 4.700 orang, spesifikasi : 700 muhajirin dengan 300 kuda ditambah 4000 anshar dengan 500 kuda serta ribuan unta tunggangan dan unta beban yang membawa perkemahan, bekal serta kantong kantong kulit berisi air minum bertolak dari Madinah kearah selatan. Beliau telah menyurati kabilah kabilah Muslim yang berada di alur perjalanan agar nantinya bergabung nanti, sehingga kemudian jumlah total pasukan menjadi 10 ribu orang.
Fathul Makkah pada 18 ramadhan 8 H (8 januari 630M) : Orang orang yang masuk Islam (thulaqa) melalui grasi (pengampunan) setelah penaklukan Mekkah merupakan mayoritas muslim yang ditinggal wafat Rasulullah SAW. Mereka memeluk Islam setelah penaklukan Mekkah sedangkan mereka tidak mendapat kesempatan yang cukup untuk lebih lama bergaul dengan Rasulullah SAW alias hanya mendapat kesempatan yang sangat singkat. Mereka menganggap Rasulullah SAW tidak lebih dari seorang pemimpin, misalnya : Abu Sufyan dan Mu’awiyah.
PERANG HUNAiN
Pada tanggal 6 Syawal 8 H atau 30 Januari 630 M Pasukan Nabi SAW bertambah jumlahnya sekitar 2000 an dari 10 ribu prajurit terdahulu, penambahan ini berasal dari orang orang yang baru masuk Islam selama 15 hari beliau berdakwah di Mekkah, ini menandakan masih ada kaum musyrik setelah fathul Mekkah. Perang Hunain menghadapi klan Huwazin. Yang mana Klan Huwazin merupakan klan Arab terkuat setelah klan Quraisy. Ketika menuruni LEMBAH mereka dijebak oleh 2000 PASUKAN KHUSUS MUSUH yang ahli menombak dan memanah. Kepanikan terjadi sehingga hanya 7 orang tetap bersikukuh melindungi Nabi SAW, sehingga turunlah ayat :
“Allah telah menolong kamu dalam banyak medan pertempuran, dan pada perang Hunain, ketika kamu bangga dengan jumlahmu, tapi itu tiada berguna bagimu suatu apapun, meskipun luas bumi menjadi sempit bagimu, kemudian kamu pun berbalik mundur” (Qs. At Taubah ayat 25).
Abubakar, Umar dan Usman juga lari..Lari meninggalkan Rasul yang sedang dikerubuti musuh bukanlah mekanisme pertahanan diri, melainkan aib.. Umar hanya punya kebiasaan menggertak, bukan membunuh musuh.
Namun Rasulullah SAW berteriak memanggil manggil mereka yang berlarian mendaki bukit sebagaimana dulu kejadian “lari mendaki bukit uhud (Qs.Ali imran 153)”. Betapa bodohnya melarikan diri meninggalkan Nabi ditengah tengah musuh. Untunglah suara Abbas mampu bergema keseluruh lembah, sehingga kaum muslimin kembali menuju medan laga.
Yang gugur dalam perang ini banyak antara lain : Putera Ummu Aiman, Yazid bin Sam’ah, Suraqah bin Harits dan Abu Amir Asy’ari. Pada perang Hunain, banyak klan Hawazin masuk Islam.
PERANG THA’iF
Pada bulan Syawal tahun 8 H (Februari 630 M) terjadi Perang Tha’if menghadapi klan tsaqif yang berlindung dibalik benteng kokoh. Disinilah Mughirah bin Syu’bah dan semua penduduk diluar benteng yang terkepung masuk Islam. Pasukan Muslim terbunuh 12 orang yakni 4 orang anshar, 7 orang Quraisy dan seorang dari klan Laits. Beberapa hari kemudian tokoh klan Tsaqif yang telah masuk Islam bernama ‘Urwah bin Mas’ud dibunuh MUSUH.
Pada bulan rajab 9 H (oktober 630 M) jumlah pasukan Nabi SAW menuju Perang TABUK berjumlah 30 ribu prajurit yakni 10 ribu kavaleri dan 20 ribu infantri.
(islamquest/hauzahmaya/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar